Judul Buku : Fakta Diurai Waktu
Jenis : Novel
Penulis : Rudi Agus Hartanto
Penerbit : Sirus Media
Cetakan : Pertama, Desember 2021
Jumlah Halaman : viii + 266 halaman
Ukuran : 13 x 19 cm
ISBN : 978-623-7721-86-4
Dalam keadaan normal, orangtua diartikan sebagai anugerah bagi kita. Tanpa mereka, kita tidak pernah ada. Dalam pengertian yang semestinya sebagai anak, kita memang harus menyayangi, dan menghormati mereka. Bahkan kita ingin membahagiakan, dan mengangkat derajat mereka. Salah satu contoh harapan anak yang sering kita dengar yaitu: ingin membawa orangtuanya naik haji.
Lantas apa yang kita lakukan? Kita bekerja keras untuk mewujudkan harapan tersebut. Meski begitu, di sisi lain ada pengertian bahwa sebesar apa pun pengorbanan anak sesungguhnya tidak bisa mengganti pengorbanan dan kasih sayang orangtua. Pengertian-pengertian di atas adalah arti dari sebuah keadaan yang semestinya.
Dalam kenyataan, manusia adalah makhluk ringkih, makhluk tidak sempurna, makhluk penuh dosa. Kabenaran dari pernyataan ini cukup dibuktikan dengan satu pertanyaan menantang: Siapa di antara kita yang berani mengaku bahwa kita adalah makhluk suci? Adakah di antara kita yang tidak berdosa?
- Iklan -
Kesimpulan singkat atas cerita novel Fakta Diurai Waktu dapat dikatakan dalam satu kalimat berikut: Harta, tokoh pemuda tangguh, baik hati, pemerhati lingkungan, menyayangi teman-temannya, mengasihi saudaranya, dan menghormati kedua orangtuanya. Ketika muncul masalah yang dirasa janggal di antara mereka, selalu terselesaikan dengan baik adanya.
Ketika membaca novel ini, rasa-rasanya seperti jauh dari kenyataan. Hampir seluruh kisah di dalamnya adalah kebaikan, seperti sebuah idea. Meski begitu bukan berarti kita tidak boleh berharap sesuatu yang baik. Masalahnya ketika kita ingin memberi gambaran yang benar, seharusnya jujur. Jujur di sini dalam arti menyajikan kisah yang lengkap, baik sisi baik dan buruknya..
Di novel ini tidak ada tokoh yang bisa memberi gambaran perihal sisi gelap dari manusia. Sesuatu yang setidaknya bisa memberi ilustrasi dari kemanusiaan yang sewajarnya. Atau mampu membawa makna yang ada pada lambang Yin Yang, di mana, dalam lingkaran putih besar ada satu titik warna hitam, dan di lingkaran besar warna hitam ada satu titik warna putih.
Namun begitu, membaca novel ini mungkin akan membuat hati kita penuh kedamaian, karena di sini tidak ada huru-hara, baik di lingkup tokoh Harta sendiri, di lingkup teman-teman Harta, di lingkup orangtua Harta, dan di lingkup orang “terkasih” Harta. Bisa jadi, jika ada anak yang merasa tidak mengerti bagaimana seharusnya bersikap terhadap orangtua, atau ada orangtua yang merasa tidak bisa menghadapi anaknya, dengan membaca novel ini akan mendapatkan pencerahan, setidaknya perihal bagaimana caranya bicara sopan dan tidak menyinggung perasaan.
Unsur rasa damai itu muncul karena semua tokohnya baik, dan patut kita jadikan panutan. Jika di kenyataan ada tokoh seperti ini, pantaslah kita pilih mereka untuk mewakili harkat kita sebagai manusia yang luhur. Bahkan saya menganggap tokoh Harta di novel ini patut ditunjuk menjadi menteri lingkungan hidup, karena pengetahuannya atas lingkungan sangat mumpuni, dan didukung perilaku yang baik. Sementara, tokoh orangtuanya layak dijadikan menteri sosial, karena penerapan atas jiwa sosialnya sangat bagus.
Gambaran orang-orang baik dari tokoh tersebut, terasa tidak membumi. Bahkan di kenyataan saja, tokoh-tokoh penting di negeri ini, bukan juga dari orang-orang suci. Hal itulah yang perlu menjadi perhatian pada novel ini, bahwa perihal penokohannya bermasalah.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah model teks. Pilihan teks panjang dalam dialog antar tokoh hampir semuanya bersifat agung. Hal inilah yang menciptakan kesan bahwa tokoh-tokohnya tampak keren semua. Hal seperti ini semakin menjauhkan dari realita.
Selain dalam keadaan berdiskusi dengan tema tertentu, tentu saja jarang kita temui orang bisa menerangkan sesuatu panjang dengan bagus dan runtut. Teks seperti itu semakin terasa lemah jika pernyataan panjang tersebut dibuat dalam bentuk percakapan. Tentu sangat akan berbeda kesan jika dibuat dalam bentuk narasi, setidaknya cara itu akan mengurangi kesan serba agung tersebut. Selain itu saya hampir tidak menemukan pernyataan yang bersifat negatif dari ucapan tokoh. Hal yang terkesan agung seperti itu sebenarnya bisa disamarkan dengan membuat narasi penyeimbang tentang hal-hal buruk yang sempat dipikirkan tokoh.
Hal lain lagi yang perlu menjadi perhatian adalah unsur plot yang bersifat kebetulan kurang digarap dengan cermat. Perempuan yang kemudian bertemu dengan Harta ternyata adalah saudara kandung (adiknya) sangat mengganggu ketika pembangunan plot atas cerita itu tidak didukung kelogikaan yang pantas. Bisa saja kebetulan diciptakan tetapi perlu narasi pendukung yang pas, dengan membuat peristiwa pembanding. Menciptakan kebetulan bukan pantangan, bila perlu kebetulan itu justru dibuat kesan bahwa hal itu memang harus terjadi. Salah satu tugas penulis adalah bagaimana menyiasati peristiwa-peristiwa yang diciptakan. Karenanya penulis sesungguhnya bisa menaruh apa pun, selagi hal itu didukung kelogikaan yang pantas.
Di sisi lain, tentu saja ada banyak apresiasi yang patut diberikan, baik untuk novel ini maupun kepada penulisnya. Pertama, novel ini karya prosa pertama yang rasanya seperti lahir dengan bebas hambatan. Kedua, penulis dapat menyelesaikan tulisan panjang dengan unsur teknis yang baik sungguh bukan kerja main-main. Ketiga, novel ini hasil reduksi kisah hidup penulis yang bisa diwujudkan menjadi cerita apik, meski dalam praktiknya agak lalai memasukkan sesuatu yang bersifat berantakan. Keempat, novel ini salah satu bukti bahwa seorang anak yang baik selalu punya cara untuk memuliakan orangtuanya. Kelima penulis yang masih muda ini sudah memikirkan banyak hal krusial yang sesungguhnya merupakan komponen hidup yang bernilai tinggi. Keenam, jika penulis masih terus menulis, dan tetap berproses, tidak perlu waktu lama, dia akan melahirkan karya yang keren.
Terakhir, saya mengucapkan selamat kepada penulis atas terbitnya jabang rohani ini. Sekarang, usai menyelesaikan pembacaan ini hati saya menjadi lega, bahkan merasa damai sedamai-damainya. Salam sastra.***
*Yuditeha, penulis tinggal di Karanganyar. Pendiri Komunitas Kamar Kata.