Oleh Nanang Qosim, M.Pd
Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju, membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikan merupakan penggerak utama (prime mover) bagi pembangunan. Secara fisik pendidikan di negara maju telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala strata dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan.
Negara-negara berkembang memandang pembangunan yang telah terjadi di negara maju seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Maka, pendidikan modern ala negara maju Barat pun diimpor ke negara-negara sedang berkembang. Biaya dan tenaga diarahkan untuk mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor pendidikan terus meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dan mengirim tenaga domestik ke negara maju mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil angka buta huruf menurun secara drastis, gross atau net enrollment ratio naik, education achievement penduduk semakin tinggi.
Namun, di balik keberhasilan menaikkan pendidikan di kalangan masyarakat, pada 1970-1980-an, para ahli mulai melihat tanda-tanda “lampu-kuning” pada sistem pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ini menimbulkan problema: meninggalkan generasi muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan memberikan tekanan yang berat pada anggaran belanja.
- Iklan -
Hal ini disebabkan oleh perkembangan di luar pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan teknologi, apalagi di masa pandemi Covid-19 yang berlangsung cepat sehingga perkembangan sektor pendidikan tertinggal di belakang. Akibatnya, pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pendorong proses kemajuan, melainkan menjadi “pengikut proses kemajuan atau keadaan”.
Persoalan-persoalan pendidikan dan pembangunan yang terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, secara mendasar berbeda dengan problema yang ada di negara-negara maju. Teori-teori Barat tentang pendidikan dan pembangunan tidaklah senantiasa bersifat universal. Jiwa dan watak bangsa harus menjiwai sistem pendidikan itu sendiri.
Semenjak Orde Baru, khususnya mulai Pelita I, perkembangan sektor pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat. Pemerintah memberikan prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa dengan pendidikanlah, pembangunan ekonomi Indonesia akan berhasil dengan baik.
Namun, dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi problema berat, meliputi problem internal in-efficiency, external in-efficiency, dan ketidakmerataan kesempatan pendidikan. Internal in-efficiency dalam sektor pendidikan berbentuk tingginya angka drop-out dan repeaters (ulang kelas yang sama). External in-efficiency berujud lulusan pendidikan tidak dapat diserap oleh pasar tenaga kerja ataupun dapat dipakai tetapi antara pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan pendidikan yang diperoleh.
Pembaharuan pendidikan sering tidak dapat dipraktikkan karena keterbatasan pengetahuan pada tingkat pelaksana. Tidak jarang suatu pembaharuan pendidikan mengakibatkan perbedaan semakin tajam antara pendidikan di urban dan di rural. Hal ini bisa dimaklumi, sebab guru-guru di kota lebih siap untuk menerima pembaharuan yang dilaksanakan. Di samping itu, di banyak hal, pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia tidak mempunyai strategi monitoring dan prosedur evaluasi yang mantap.
Guru harus mempunyai pengetahuan yang relatif luas. Pada diri murid sudah terpatri kecintaan dan kesadaran pada hakikat ilmu, sikap ingin tahu, menghargai pikiran-pikiran dan bukti-bukti kebenaran, objektif dan bersifat toleransi. Patut kita pertanyakan, sudahkah syarat-syarat tersebut ada pada kelas-kelas dan siswa-siswa di tanah air kita?
Apa yang diketemukan di kelas-kelas di Indonesia jauh dari yang diperlukan. Kelas-kelas masih sangat kaku dan formal. Pengetahuan para guru relatif terbatas. Oleh karena itu, mereka tidak berani membicarakan apa yang di luar silabi karena membicarakan di luar silabi memang di luar kemampuannya. Di fihak lain, murid cenderung mendengarkan, menerima dan mencatat apa yang diterangkan oleh guru. Apa yang diterangkan oleh guru sudah dianggap merupakan kebenaran, oleh karena itu tidak perlu dipertanyakan dan diuji lagi.
Dalam setiap pembaharuan pendidikan, guru memegang peran strategis. Sebab, merekalah yang merupakan pelaksana pembaharuan pada level kelas. Namun, pengalaman di Indonesia menunjukkan guru lebih banyak dilihat sebagai objek dalam pembaharuan pendidikan. Sehingga, setiap kebijakan lebih banyak bersifat instruksi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru untuk berimprovisiasi.
Perencanaan dan kebijakan nasional memang perlu. Namun, pelaksanaan pembaharuan pendidikan sangat tergantung pada semangat, rasa keterlibatan, dan kesadaran para guru. Guru akan memberikan respon positif pada setiap usaha pembaharuan yang dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam proses pembaharuan.
-Dosen Agama Islam Poltekkes Kemenkes Semarang