Oleh: Maldini Faqih
Dalam kehidupan sosial, manusia akan berkelompok membentuk apa yang dinamakan dengan “masyarakat”. Masyarakat akan hidup dan tumbuh dalam periode waktu tertentu dengan apa yang dinamakan dengan “zaman”. Seiring dengan berjalannya waktu, maka proses kehidupan sosial dalam masyarakat akan terus berubah dan berkembang. Oleh karenanya, manusia dituntut untuk senantiasa mengikuti perubahan dan perkembangan tersebut.
Perubahan serta perkembangan sosial tersebut selain dipengaruhi oleh waktu, dipengaruhi pula oleh tempat. Namun, acapkali dengan hadirnya era globalisasi yang serba terbuka, maka sekat-sekat atau batas-batas teritorial kadang kala tidak mampu untuk membendung perubahan yang ada, sehingga hampir seluruh dunia akan merasakan perubahan global tersebut.
Dalam tataran praktisnya, acapkali proses transformasi sosial seperti sekarang ini mengalami berbagai masalah dan kendala yang cukup berarti bagi umat Islam. Pasalnya, paham-paham sekuler terus merambah dalam segala lini kehidupan sosial kita, sehingga nilai-nilai transedental terus terkikis. Padahal, sebagai seorang muslim dituntut untuk senantiasa menjaga nilai-nilai keislaman yang sangat begitu bagusnya.
- Iklan -
Dari sekelumit permasalahan yang telah diulas sebelumnya, maka diperlukan eksistensi fiqih dalam upaya untuk merespon adanya transformasi sosial tersebut. Namun, konsepsi fiqih yang sudah banyak berkembang di Indonesia tak jarang dirasa belum mampu untuk sepenuhnya menjawab berbagai persoalan maupun perubahan sosial yang ada. Dari masalah tersebutlah lahir istilah “Fiqih Sosial” yang dikembangkan oleh KH. MA. Sahal Mahfudh.
Kalau dalam ilmu hukum terkait fungsinya di bidang sosial, ilmu hukum mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai social control dan social engineering. Bahkan, ada ungkapan populer yang diutarakan oleh Roscou Pound, yakni “law as tool of social engineering”, yang berarti bahwa hukum merupakan alat untuk memperbarui ataupun untuk merekayasa masyarakat (Munir Fuadi, 2013: 248). Begitu pun juga dengan fiqih, ia juga memiliki fungsi ganda, yakni sebagai alat untuk mengukur realitas sosial dan juga sebagai alat rekayasa sosial (Mahfudh, 2011: iii).
Penulis menyebut fiqih sosial sebagai “alat” untuk menghadapi transformasi sosial dalam gejolak zaman, “alat” di sini berarti sesuatu yang dipakai untuk mengerjakan atau untuk mencapai maksud tertentu. Artinya, fiqih sosial sebagai “alat” tersebut dapat dilihat dari peranan atau fungsinya, baik untuk mengukur realitas sosial maupun untuk melakukan rekayasa sosial. Jadi, “alat” yang bernama fiqih sosial tersebut disebut dapat menjalankan peranan maupun fungsinya manakala ia diimplementasikan atau diamalkan.
Maka dari itu, penulis akan membahas lebih lanjut mengenai beberapa peranan ataupun fungsi fiqih sosial sebagai alat untuk menghadapi transformasi sosial. Pertama, merespon permasalahan secara tanggap, sigap, dan progresif. Dengan paradigma pemikiran fiqih secara tekstual saja, maka akan menyebabkan kejumudan fiqih dalam merespon permasalahan-permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Padahal, menurut KH. MA. Sahal Mahfudh (dalam Jamal Ma’mur Asmani, 2014: 33), beliau tidak terima kalau fiqih dituduh sebagai ilmu yang statis, pangkal kejumudan serta dekadensi umat.
Oleh karenanya, dibutuhkanlah paradigma pemikiran fiqih secara kontekstual. Misalnya saja respons terhadap persoalan KB (Keluarga Berencana) yang amat sulit dicari legalitasnya jika hanya menggunakan pemahaman fiqih secara tekstual saja, maka pada saat itu KH. MA. Sahal Mahfudh merespons persoalan tersebut dengan fiqih sosialnya. Dengan pemahaman kontekstual tersebut, maka problematika yang dihadapi oleh masyarakat akan dapat dengan mudah direspons oleh fiqih secara tanggap, sigap, dan progresif.
Selanjutnya, jika dilihat dari salah satu ciri lain dari fiqih sosial, yakni fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara (Mahfudh, 2011: xxxvi). Artinya manakala fiqih harus diwujudkan ke dalam hukum positif negara, maka prosesnya akan teramat panjang, memakan waktu yang tak sedikit, serta akan bersifat mengikat dan kaku. Sehingga kadang kala jika sudah disahkan, maka persoalannya akan berganti lagi, berbeda konteksnya lagi, masalah terus berkembang, jadi hukum positif tersebut dianggap ketinggalan zaman.
Selain itu, produk-produk fiqih sangat plural, maka umat berhak untuk memilihnya. Oleh karenanya, dengan hadirnya fiqih sebagai etika sosial, maka fiqih akan terkesan fleksibel dan progresif dalam menangani persoalan yang kian plural.
Kedua, mengembangkan fiqih sesuai dengan transformasi sosial yang ada dalam masyarakat. Kalau dalam ilmu hukum terdapat mazhab sociological jurisprudence, yang dalam pahamnya berintikan bahwa hukum yang baik, yakni hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Sejalan dengan mazhab sociological jurisprudence, dalam paradigma fiqih sosial pun, fiqih harus dapat berkembang sesuai dengan perubahan sosial masyarakat. Jadi, dengan adanya perkembangan fiqih tersebut, maka fiqih bisa dianggap sebagai alat rekayasa sosial. Artinya perubahan-perubahan sosial yang ada bisa diselaraskan dan tetap pada jalur syariat.
Selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Mahfudh (2011: xxv), bahwa teks dalam Al Quran dan Hadis telah berhenti, sementara masyarakat makin berkembang dan berubah dengan segala permasalahannya, maka lazim jika fiqih memanggul tanggung jawab untuk menyumbangkan solusi supaya perkembangan serta perubahan tersebut tetap berada dalam jalur atau koridor syariat.
Hal tesebut tentunya akan membuat transformasi sosial tersebut tetap bernuansa transedental. Maka tidak berlebih jika dikatakan bahwa fiqih sosial ini berpandangan ke arah pemecahan serta penyelesaian masalah yang sedang dijumpai oleh masyarakat.
Dengan terealisasikannya beberapa peranan ataupun fungsi fiqih sosial tersebut, maka tidak berlebih jika fiqih sosial dikatakan sebagai alat untuk menghadapi transformasi sosial dalam gejolak zaman. Namun, Mahfudh (2011: 25), menggarisbawahi bahwa fiqih tidak harus senantiasa diselaraskan dengan kondisi zaman saja, tetapi juga harus dipikirkan bagaimana mengamalkan fiqih secara baik dan juga benar, serta gampang untuk diterima oleh masyarakat awam tanpa kecemasan yang berarti.
– Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, Anggota IPNU dan CBP