Debu-Debu Wanci
sesekali aku ingin mengecup
debu-debu yang bersemayam di wanci
katanya ia sahabat ikan
laut biru kadang menyapa
rumah sedang kosong melompong
masuk saja bila ingin mencium dinding
toh kau terbang sesuai perintah tuhan
tapi aku juga ingin mengecupmu
menakar dalam gelas puisi
yang sering kuhabisi kala malam
menjelang tidur
saat-saat kepergian sedang berdetak
tak lupa makan mengisi tenaga
ikan itu berbumbu kuning
kalah terasa asing menyengat lidah
mendorongku untuk lagi-lagi merasai apa yang kuracik
ah, sesekali aku ingin mengecup
debu-debu yang bersemayam di wanci
yang menamainya pemilik laut
(Wanci, November 2021)
- Iklan -
Tumbang
hari ini pohon tumbang
di persimpangan lampu merah
matamata diam sejenak
rumah burung berpindah tempat
sampai angin tidak menumbangkan yang lain
kemarin tiang tumbang
di kaki laut, samping jalan raya
robohkan rumah, robohkan tubuh
lalu nenek itu tak sempat lagi melihat birunya langit
tuhan punya rencana lain
berita di tivi dan gawai
penuh dengan musibah
siapakah yang sedang berdosa?
siapakah yang harusnya menggali liang kuburnya sendiri?
agar tak bertambah bibit dosa
agar tak bertambah murka tuhan
besok, akankah ada berita ketumbangan
dan kematian lagi?
semoga tidak. cukuplah hujan halus
sebagai peringatan
sesudahnya kita mengambil sajadah
lalu sujud hingga tenggelam pada malam
semoga tak ada lagi yang tumbang
amin!
(Baubau, Desember 2021)
Kaki Ustaz
:Encep Abdullah
barangkali kita bisa mengobati dosa
dengan kaki para ustaz
tidak perlu banyak-banyak
jempolannya saja
jadikan sup bila jijik berdatangan
bukankah mereka makhluk paling suci?
desa ini telah kotor
kita perlu membangun ulang rahim-rahimnya
kita menyusun rencana
menentukan target-target
bertantang kemudian
bagaimana aku bisa kehilangan rasa macam ini
malam makin pekat
semakin diam tak berdetak
aku resah memikirkan bapak
yang memasukan tubuhnya dalam tubuhku
bagaimana ia bisa berjalan tanpa jempol kaki kesayangannya
amanat itu perlahan membuatku durhaka
keringatku deras bak tsunami
tiada lahan kering di tubuhku lagi
dan suara azan subuh menyadarkanku
(Baubau, September 2021)
Kantor Polisi
orang-orang berdatangan di kantor polisi
melaporkan segala masalah untuk di tindaklanjuti
aku datang tanpa baju
tanpa uang, tanpa nama
tapi mereka bertanya
soal identitas, pendidikan, soal perkerjaan
dan berapa banyak uang kau punya
mereka merogoh setiap huruf dalam KTP
tapi tidak. mereka tidak bisa menolong
mereka bertanya hanya karena penasaran akan masalah
bukan karena ingin menolong
besok-besok, nak.
jika kau ingin mengadu ke kantor polisi
pastikan kau punya seseorang yang dikenal
pastikan kau punya cukup uang agar mereka bisa bekerja atas aduanmu
pastikan kau punya nama terkenal
pastikan kau memakai pakaian yang bagus
tak perlu mahal
karena gembel dilarang masuk ke kantor polisi
apalagi untuk melapor kasus
semuanya, apa mungkin?
(Baubau, Oktober 2021)
Maut
bukankah pintu maut itu akan selalu mengejar
ini bukan kompetisi
tapi akan selalu ada giliran untuk sampai di garis finish
dan kita hanya berbekal doa dan amal
pagi ini kabar itu menakuti lain
seberapa lambat kita berlari
:berangan memang lebih mudah
tiada jeda yang terpaut
ikuti alur sesuai agenda
kemana kita kan pulang nanti
rumah akhir tiada sesiapa
mahkluk gaib mengikuti
baiknya diajak kenalan sejak kini
agar berbuah dan mengenal akar
maut yang diam
sejajar berjalan
menghitung amal di kaki suara
berapa kali membentak
berapa banyak sudah curian tersimpan dalam darah yang mengalir
berapa kali bertasbih
biji-biji sholawat membangun atap
tetap rapuh oleh dosa
lalu maut datang mengetuk kelopak mata
tak lupa mengucap salam
dan pergi bersama
(Baubau, April 2021)
*Joe Hasan, lahir di Ambon pada 22 Februari. Cerpen dan puisinya pernah dimuat di media cetak dan online.