Cerpen Mochamad Bayu Ari Sasmita
Cak Kusen—murid-muridnya yang bisa dihitung dengan jari menyebutnya Ustaz Kusen—menoleh ke samping kanan sambil beruluk salam, kemudian melakukan hal yang sama tapi di sisi sebaliknya.
Setelah itu, dia mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya yang sudah berkeriput itu—usianya masih pertengahan empat puluhan. Dia pun memimpin wirid bersama selepas sembahyang di langgar di tepi sungai yang diramaikan oleh para pemancing itu.
Enam-tujuh jemaahnya mengikuti setiap lantunan wirid yang dilantangkan oleh Cak Kusen dengan khidmat. Barangkali—dan memang benar—sembahyang isya berjemaah itu merupakan yang terakhir baginya di langgar di tepi sungai itu. Dia telah diberhentikan oleh pengurus langgar setelah para pengurus langgar itu melakukan musyawarah internal tanpa melibatkan Cak Kusen.
- Iklan -
“Kami sangat menyesal harus mengatakan ini,” kata perwakilan pengurus langgar itu sebelum magrib hari itu juga.
“Saya mengerti,” kata Cak Kusen sambil tersenyum. Dari wajahnya itu, tidak sedikit pun rasa duka muncul setelah mendengar kabar itu. Seolah-olah dia sudah siap—bahkan menunggu—kabar semacam itu datang. Baginya, dia mustahil untuk bertahan lebih lama lagi di langgar itu. Murid-muridnya yang bisa dihitung dengan jari itu satu per satu memutuskan untuk berhenti mengaji dan pergi keluar kota untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Baginya, hal itu kabar bagus. Cak Kusen pun turut mendoakan kesuksesan mereka.
“Kalau begitu, ini ada sekadar bisyaroh dari kami,” perwakilan pengurus langgar itu menyalami Cak Kusen dengan sebuah amplop putih.
“Terima kasih banyak.”
“Sepertinya magrib sudah tiba. Biar saya yang azan.”
“Silakan.”
Selepas isya, dia berpamitan kepada jemaah yang kebetulan hadir di sana. Satu per satu disalaminya dan dimintainya maaf. Cak Kusen yakin, meskipun dia telah berusaha untuk bersikap sebaik mungkin, pasti ada celah di sana. Tidak semua orang suka dengan kebaikan dari seseorang tertentu. Cak Kusen pun menyadari, suatu kali, sikap baiknya itu bisa menimbulkan luka bagi orang lain. Jika suatu kali ketika dia berbuat baik dan ada seseorang yang menunjukkan respons yang tidak biasa, Cak Kusen bisa semalaman tidak tidur karena terus kepikiran tentang hal itu.
“Cak Kusen,” kata salah seorang jemaah, “terima kasih untuk segala-galanya.”
“Tidak, Cak. Tidak. Saya yang berterima kasih kepada kalian karena menganggap saya yang orang luar ini seperti keluarga sendiri.”
“Orang luar apanya, Cak? Jangan berpikir seperti itu. Kami tidak pernah menganggapmu sebagai orang luar.”
“Baik. Saya mohon maaf atas ucapan saya barusan.”
Mereka semua berdiam diri sejenak. Beberapa dari mereka sebenarnya sangat bersyukur bisa dekat dengan Cak Kusen. Kedatangan Cak Kusen di langgar itu membuatnya bisa belajar lebih banyak lagi tentang agama. Semenjak kedatangan Cak Kusen di langgar itu, dia meningkatkan terus kualitas ibadahnya. Dia senantiasa hadir ketika ada salat berjemaah di langgar itu. Tidak lupa, atas nasihat Cak Kusen juga, dia melakukan sembahyang sunah seperti sembahyang qabliyah dan bakdiyah. Selepas sembahyang dia juga tidak lekas pulang seperti sebelum-sebelumnya. Dia turut mengikuti bacaan-bacaan wirid Cak Kusen.
“Jika ada waktu,” kata jemaah itu, “main-mainlah kemari.”
“Baik. Jika Allah menghendaki.”
Tapi, jawaban itu sekadar jawaban yang enak didengar saja. Cak Kusen tidak mungkin kembali ke langgar itu lagi. Mulai besok, orang baru akan menggantikannya. Jika dia datang, bisa saja menimbulkan ketersinggungan. Si jemaah itu juga tahu, pernyataannya juga sekadar basa-basi. Dia pun juga sudah tahu, mustahil bagi Cak Kusen untuk kembali lagi.
Orang-orang berjalan ke luar dari langgar. Usai sudah acara perpisahan yang spontan itu.
Si jemaah yang bercakap-cakap dengan Cak Kusen tadi pulang paling akhir. Dia memadamkan lampu langgar itu dan membiarkan lampu teras menyala. Dia pastikan bahwa jendela-jendela sudah terkunci. Terakhir, dia mengunci langgar itu. Cak Kusen dengan sepeda motornya masih ada di parkiran. Si jemaah terburu-buru menghampirinya.
“Cak Kusen,” katanya.
“Ah, sekali lagi, saya ucapkan terima kasih. Sampai akhir, Andalah orang yang selalu ramah kepada saya.”
“Mengapa Cak Kusen berhenti?”
“Tugas saya di sini sebenarnya adalah untuk mengajari anak-anak mengaji. Tapi, sekarang, anak-anak itu sudah tumbuh besar dan pergi mencari peruntungannya di kota lain. Boleh dikatakan, tugas saya sudah selesai.”
“Tapi, daripada mencari orang baru, bukankah Cak Kusen bisa tetap di sini. Cak Kusen masih bisa memimpin sembahyang dan istigasah atau kenduri-kenduri lainnya.”
“Bukan saya yang memutuskan hal itu.”
Cak Kusen diam sejenak. Dia mengenakan jaketnya dan menaikkan ritsleting jaket itu. Sekitar Juni—Juli hawa dingin selalu menyerang daerah itu setiap malam sampai pagi. Bahkan, ketika siang pun, sisa-sisa hawa dingin itu seringkali masih membekas.
“Tetap rawat langgar ini baik-baik, ya,” kata Cak Kusen lagi.
Cak Kusen datang ke langgar itu sepuluh tahun silam. Waktu yang lebih dari cukup untuk membuat seseorang merasa terikat kepada sesuatu. Cak Kusen merasa bahwa dia menghabiskan sepuluh tahunnya dengan tidak sia-sia. Begitu langgar itu selesai dibangun, seseorang menghubunginya untuk mengajari anak-anak kecil di sekitar sana untuk mengaji. Karena saat itu Cak Kusen sedang luang, dia pun menyanggupinya. Pertama, dia mengajari anak-anak itu di waktu sore, selepas asar. Setelah itu, secara perlahan, jam mengaji dipindahkan ke masa selepas magrib. Saat itu, satu per satu murid-muridnya memutuskan untuk berhenti mengaji. Sedikit pun Cak Kusen tidak merasa risau. Baginya, tugasnya hanyalah mengajak, mengajar, dan mendidik. Memaksa tidak ada dalam tugasnya. Dia tidak pernah ambil pusing dengan berhentinya salah seorang muridnya. Sebaliknya, dia selalu mendoakan yang terbaik atas pilihan murid-muridnya itu.
Sepuluh tahun juga merupakan sebuah waktu yang lebih dari cukup untuk terlibat konflik dengan orang-orang di sana. Tidak jarang, kata-kata Cak Kusen yang telah dipilih sehalus mungkin tetap dinilai menyakitkan bagi orang-orang di sana. Terkadang, mereka pun mogok pergi berjemaah di langgar sehingga di sana hanya ada dua sampai tiga orang saja selain murid-muridnya yang bisa dihitung dengan jari itu. Setelah beberapa hari, mereka biasanya akan kembali lagi. Tapi, terkadang, ada juga yang membutuhkan kedatangan hari raya idulfitri agar semuanya kembali seperti semula.
“Nah, Cak, sekarang saya harus pulang.”
“Hati-hati di jalan, Cak Kusen.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Mesin motor menyala. Lampu sepeda motor itu menyorot tepat ke depan, ke sebuah pekarangan kosong. Cak Kusen memasukkan gigi sepeda motor itu ke angka satu. Setelah itu, dia tarik gas di tangan kanannya sehingga motor itu melaju menuju tepi jalan sebelum akhirnya menjauh dari langgar itu untuk selama-lamanya.
Dalam perjalanan pulangnya, air mata hendak menetes dari kedua mata Cak Kusen. Sekeras mungkin, dia menahan hal itu terjadi. Akan menjadi pemandangan yang memalukan jika seseorang sepertinya menangis di jalan.
“Kau hanya boleh menangis di sepertiga akhir malam. Kau tidak boleh menangis di depan manusia, Kusen,” perintahnya kepada dirinya sendiri dari dalam hati.
Dia sudah menganggap langgar itu sebagai bagian dari dirinya. Dia ingin mengabdi kepada Yang Mahakuasa di langgar itu lebih lama lagi.
“Tabahkan hatimu, Kusen,” gumamnya kepada dirinya sendiri.
Roda-roda sepeda motornya semakin lama semakin menjauhkannya dari langgar itu. Sebuah langgar kecil di tepi sungai yang hawanya sejuk dalam beberapa kesempatan. Sekarang, jodoh antara dirinya dengan langgar kecil di tepi sungai itu telah berakhir. Dia tidak ingin mengatakan bahwa hal itu adalah perbuatan manusia. Bahwa ada seseorang atau lebih yang ingin menjauhkannya dari langgar itu.
“Ini sudah ketetapan Allah. Ini sudah ketetapan-Nya,” batinnya. “Terimalah! Terimalah!” gumamnya berkali-kali. ***
22 Agustus 2021
*MOCHAMAD BAYU ARI SASMITA, lahir di Mojokerto pada HUT RI ke-53. Dapat dihubungi di Instagram @sasmita.1926.