Oleh: Saiful Bari
Satu tahun lebih kita hidup berdampingan dengan wabah covid-19 ini. Akhirnya, berbagai upaya pun dikerahkan guna kita merdeka dari wabah ini, misalnya dikeluarkan kebijakan mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat namun tetap saja, pandemi ini belum menunjukkan tanda-tanda melandai di era new normal.
- Iklan -
Era new normal atau kenormalan baru, meminjam bahasanya Hamengku Buwono X (2020), adalah sebuah terapi psikis dan kultural healing, berefek kejut untuk merefleksi dan mengintropeksi betapa rapuhnya kehidupan kita kemarin, untuk itu kembalilah ke jati diri dan fungsi diri kita yang nyata.
Sayangnya, sekalipun kita terseok-seok keluar dari tekanan pandemi ini, juga kita dihadapkan dengan banjir bandang hoax dan gelombang fitnah yang tanpa henti di media sosial. Tentu peristiwa ini berbahaya bagi kebhinekaan bangsa ini. Sebab, Indonesia merupakan negeri yang memiliki potensi konflik nomor wahid di dunia. Hal ini karena masyarakat Indonesia dikenal sebagai negara yang plural baik suku, agama dan budaya.
Meskipun Indonesia memiliki potensi besar terjadinya konflik, namun sejarah mencatat, tak ada konflik berkepanjangan. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia tak terjadi konflik yang berkepanjangan? Atau, mengapa integrasi bangsa masih kokoh di tengah pandemi dan menguatnya siar kebencian dan intoleransi?
Dalam konteks ini, jawabannya ada dua yaitu, pertama karena Indonesia memiliki Pancasila. Pancasila merupakan ideologi yang mengikat tali persaudaraan antar anak bangsa. Fakta membuktikan, Indonesia bersatu dan berdiri di atas beribu pulau dan beribu suku dan budaya, kata Dirjen Ahmad Nur Wakhid (2020).
Kedua, karena Indonesia memiliki dua jangkar kebhinekaan atau pilar moderatisme yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah telah menyemai benih perdamaian di Indonesia dan bahkan dunia, kata Muhammad Najib Azca dan Hairus Salim, dkk (2019).
Di kancah nasional, dalam catatan Muhammad Najib Azca dan Hairus Salim, dkk (2019), NU dan Muhammadiyah ini berhasil membawa Indonesia menuju demokrasi yang damai dan berkeadaban, mengingat di banyak negara seringkali transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi diwarnai konflik kolektif, perang saudara hingga kekerasan sektarian berkepanjangan. Kontribusi besar ini dapat dibuktikan dengan munculnya dua tokoh terkemuka reformasi yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari NU dan Amien Rais dari Muhammadiyah.
Kedua, NU dan Muhammadiyah baik melalui kekuatan struktur maupun barisan kulturnya telah dan terus memainkan peran penting dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Misalnya, Muhammadiyah konsisten dalam menghadirkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat, antara lain melalui aktivitas filantropi dan pelayanan sosial di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan kebencanaan. Sedangkan, NU konsisten dalam mempromosikan dan mengarusutamakan ajaran Islam yang penuh kedamaian dan toleransi, juga dalam upayanya membendung arus ekstrimisme dan intoleransi keagamaan.
Sementara itu, di kancah internasional, menurut Munawir Aziz (2021), NU dan Muhammadiyah terlibat dalam kerja-kerja perdamaian serta resolusi konflik. Bahkan, para kiai NU dan beberapa tokoh kunci dari Muhammadiyah tidak lelah menyuarakan perdamaian dengan kerja nyata, baik dalam mediasi, koordinasi, dan membangun ukhuwah.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kontribusi Muhammadiyah dalam proses perdamaian di Mindanao, Filipina Selatan, dan juga dalam proses resolusi konflik di Thailand selatan. Muhammadiyah sangat aktif dalam proses perdamaian terkait dengan kasus separatis Abu Sayyaf di Mindanao. Dalam konflik Thailand, pendekatan soft power digunakan untuk proses perdamaian.
Sementara itu, NU sejak lama punya upaya concern dalam perdamaian Timur Tengah dan di level global. Para kiai NU sejak lama memimpikan situasi damai antara Israel dan Palestina, yang itu bisa dimulai dengan dialog antaragama; Yahudi, Nasrani, dan Islam dalam konteks global.
Berdasarkan pada pandangan di atas maka, relasi NU dan Muhammadiyah di atas tidak selalu diametral atau tidak selalu pada posisi yang saling berhadapan dan berseberangan. Hal itu terbukti karena keduanya saling mengafirmasi Pancasila sebagai ideologi organisasi dan menganggap Pancasila sudah final. Hal ini dapat ditelisik dengan adanya dua dokumen penting yaitu, piagam “Deklarasi Pancasila” bagi NU dan piagam “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah” bagi Muhammadiyah.
Dalam konteks pandemi, NU dan Muhammadiyah yang aktif mengampanyekan pentingnya mematuhi protokol kesehatan dan menyarankan ibadah di rumah — bagi zona merah atau hitam. Sementara, ormas keagamaan lainnya justru alpa dan abai terhadap prokes.
Akhirnya, semoga NU dan Muhammadiyah senantiasa menyemai damai di tengah pandemi yang pada gilirannya keduanya menjadi oase bagi kita dalam berbangsa dan bernegara.