Oleh Hamidulloh Ibda
Salah satu tantangan era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini adalah adanya generasi yang “mangkir”, apatis, atau tidak mau tahu tentang pajak. “Pajak kan urusan pengusaha”. Mental seperti ini sering saya dengar dari beberapa pemuda. Padahal, peduli, mau tahu, dan taat membayar pajak merupakan wujud nasionalisme dan menjadi spirit Sumpah Pemuda.
Mengapa demikian? Sebab, pajak tidak sekadar utak-utek (berkutat) urusan ekonomi, bisnis, jual beli, melainkan pajak adalah masalah ideologi. Maka sudah saatnya reformasi perpajakan didentumkan melalui pendidikan sebagai tempat penggodokan ideologi yang strategis.
Tantangan perpajakan kita saat ini tidak sekadar aspek pengelolaannya. Namun juga literasi, edukasi, dan pemerataan pengetahuan tentang pajak dalam membangun kemandirian bangsa. Kita dapat membayangkan, bagaimana jika jutaan pemuda di negeri ini apatis terhadap pajak. Dalam jangka panjang, negara akan paceklik pendapatan dan “puso pembangunan”.
- Iklan -
Paradigma ini harus diputus mata rantainya. Artinya, jangan sampai pemuda justru “khianat” pada negara dengan indikator apatis terhadap pajak. Sebab, bangsa besar adalah yang melek literasi perpajakan dengan wujud taat pajak karena membayar pajak menjadi salah satu wujud bela bangsa, negara, dan menjadi upaya mewujudkan kemandirian ekonomi. Namun, ketika generasi muda sudah tidak mau tahu, bagaimana mereka akan taat pajak? Tentu negara ini akan “ambyar”.
Reformasi perpajakan di sini tidak sekadar urusan sistem perpajakan. Namun harus menyeluruh, salah satunya melalui edukasi atau literasi perpajakan yang dapat dikuatkan melalui lembaga pendidikan. Seperti pendapat Satya (2017: 14-15), bahwa reformasi perpajakan merupakan sebuah perubahan sistem perpajakan secara signifikan dan komprehensif. Cakupannya meliputi pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi perpajakan, dan peningkatan basis pajak. Apakah sekadar itu? Tentu tidak. Jika ingin komprehensif, maka perpajakan harus menyasar pada generasi muda melalui pendidikan.
Pendidikan sebagai Kunci
Untuk membangun spirit kebangsaan yang di dalamnya dibuktikan dengan melek literasi perpajakan perlu sebuah usaha sadar, sistematis, terencana dalam rangka melakukan reformasi perpajakan. Pendidikan menjadi tempat strategis secara teoretis dan praktis untuk mewujudkan reformasi perpajakan sekaligus menjawab tantangannya.
Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebut dari total penduduk 265 juta orang, yang terdaftar sampai November 2018 hanya 35,5 juta orang. Sedangkan yang lapor 11,1 juta orang, kemudian yang membayar pajak 1,3 juta orang (Liputan6.com, 9/11/2018). Data ini tentu ironis, karena ternyata, kesadaran akan pajak masih minim. Maka reformasi perpajakan urgen dilakukan secepatnya sebagai rencana masa depan untuk memajukan Indonesia.
Hukum membayar pajak adalah wajib bagi semua warga negara yang sudah menjadi wajib pajak. Akan tetapi, tidak semua masyarakat bahkan pemuda memahami hal itu. Akibatnya, mereka “buta perpajakan” karena kurangnya literasi perpajakan dari aspek konseptual sampai implementasinya.
Dalam menjawab tantangan bangsa khususnya dalam bidang perpajakan, kita dapat merujuk pada tiga pilar kemajuan bangsa. World Economic Forum (2016) menyebut tiga pilar itu meliputi “kompetensi, karakter, dan literasi”. Literasi di sini tak sekadar masalah baca tulis saja, namun harus dikuatkan dengan literasi sains, literasi teknologi informasi, dan literasi finansial (Widiyanto, 2016). Literasi finansial salah satunya kemampuan mendapatkan pengetahuan dan melakukan kegiatan perpajakan.
Dari konsep ini semakin jelas, bahwa untuk menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0, literasi perpajakan dalam pendidikan urgen dikuatkan. Sebab, diakui atau tidak, pendidikan menjadi jembatan emas untuk melakukan reformasi perpajakan yang sifatnya jangka panjang, tidak sekadar tahunan atau bulanan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menetapkan sembilan agenda prioritas atau Nawacita berlandaskan ideologi Trisakti yang mencakup berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan (Effendy, 2016:vi). Hal itu selaras dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) sebagai upaya membangun jiwa dan raga bangsa ini karena tantangan era Revolusi Industri 4.0 yang makin kompleks ini. Salah satu agendanya menguatkan mental bangsa untuk sadar dan membayar pajak sebagai wujud bela negara.
Membangun kepatuhan perpajakan pada pemuda menjadi proyek strategis. Hal itu diperkuat Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan menjadi undang-undang. Berdasarkan hal itu, edukasi perpajakan sangat strategis diterapkan di era Revolusi Industri 4.0 ini sebagai wahana mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Masyarakat adil dan makmur sangat ditopang dari pajak. Ketaatan pajak yang merata sangat ditentukan literasi perpajakan. Salah satu objek sasaran literasi perpajakan adalah pelajar atau mahasiswa yang selama ini belum tersentuh dengan maksimal dalam implementasi literasi perpajakan. Jadi, sudah saatnya reformasi perpajakan dikuatkan dalam membangun generasi taat pajak yang tentunya menjadi spirit Sumpah Pemuda.
Dari substansi Sumpah Pemuda, cita-cita akan tegak dan kuatnya Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia tak sebatas dihafal dan dibaca saja. Namun, bagaimana mungkin dapat berjiwa raga Indonesia ketika pemuda tidak taat pajak? Apalagi, pajak menjadi sumber vital dalam memajukan bangsa Indonesia.
Reformasi Perpajakan
Reformasi perpajakan dalam pendidikan dapat dilakukan dengan spirit menguatkan karakter kebangsaan. Sebab, kita tahu, pajak tidak sekadar urusan materi, namun juga ideologi yang itu digerakkan melalui spirit nasionalisme. Dalam sejarahnya, bangsa-bangsa besar seperti Arab Saudi, Amerika, Eropa, Jepang, New Zealand, dan lainnya dapat maju karena mereka melakukan reformasi perpajakan. Tidak hanya melalui regulasi, namun juga doktrin perpajakan melalui edukasi.
Oleh karena itu, ada beberapa konsep reformasi perpajakan yang dapat dikuatkan di dalam pendidikan. Pertama, penguatan kurikulum perpajakan di jenjang SD/MI sampai SMA/SMK/MA dan perguruan tinggi. Kurikulum di sini harus menguatkan karakter kebangsaan sesuai printip Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang menanamkan karakter taat pajak.
Kedua, implementasi edukasi sadar pajak melalui program Dirjen Pajak yang bersinergi dengan pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Metodenya dengan menanamkan kesadaran pajak dengan integrasi nilai kesadaran pajak dalam sistem pendidikan nasional lewat kurikulum, pembelajaran, perbukuan dan kesiswaan/ kemahasiswaan. Tujuannnya untuk menumbuhkan budaya sadar pajak sejak usia dini, sebagai bagian dari membangun masa depan perpajakan Indonesia, menciptakan generasi penerus bangsa berkarakter bela negara dan cinta Tanah Air.
Ketiga, perlu regulasi dari pemerintah untuk memasukkan mata pelajaran khusus perpajakan, baik di jenjang perguruan tinggi atau pendidikan dasar dan menengah. Selama ini, materi perpajakan masih parsial dan hanya dimasukkan ke dalam beberapa mata pelajaran atau mata kuliah. Sehingga, pemahaman perpajakan pada pelajar atau mahasiswa lemah yang menyebabkan mereka “acuh” dan “apatis” terhadap pajak. Ironisnya, banyak yang “mangkir” ketika mereka sudah menjadi wajib pajak.
Keempat, program pendidikan ekstrakurikuler seperti kunjungan ke kantor pajak, festival perpajakan, dengan tujuan memutus mata rantai perilaku “mangkir” terhadap pajak. Pengenalan perpajakan sangat penting, karena selama ini pemuda hanya dikenalkan sanksinya, namun absen diedukasi tentang pengertian, jenis, macam, dan manfaat membayar pajak. Kelima, perlu program literasi perpajakan yang integral dengan kegiatan mahasiswa seperti KKL, PPL, maupun KKN yang terintegrasi dengan Dirjen Pajak. Tujuannya, mereka sadar bahwa pajak adalah bagian dari kunci majunya Indonesia.
Keenam, pembuatan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi pelajar atau mahasiswa yang sudah memiliki KTP atau memenuhi syarat. Pembuatan kartu NPWP menjadi jalan alternatif untuk membangun kesadaran bahkan kewajiban pajak bagi pemuda. Artinya, dalam berbangsa dan bernegara yang baik dibuktikan dengan taat pajak. Ketaatan pajak itu tentu tidak sekadar “omong doang”, melainkan harus dibuktikan dengan kepemilikan kartu NPWP.
Reformasi perpajakan di atas merupakan bagian dari ikhtiar membangun spirit pemuda untuk mencintai bangsa. Wujud cinta itu tentu tidak sekadar kata-kata, namun harus terwujud dalam perbuatan dengan bukti ketaatan pada pajak. Jika sudah taat pajak, otomatis pemuda taat pada konstitusi dan negara. Jika sudah cinta dan taat pada bangsa, apa saja akan dilakukan. Sebab, pajak memang bukan segalanya, namun kemajuan bangsa sangat ditentukan dengan pajak. Lalu, kapan reformasi perpajakan melalui pendidikan akan dilakukan?
-Penulis adalah dosen mata kuliah Teacherpreneurship STAINU Temanggung