Oleh: Vito Prasetyo
Dengan pesatnya kemajuan teknologi, maka makin banyaknya tantangan yang dihadapi oleh anak. Baik itu yang berwujud maupun yang tak berwujud. Dunia digital, tidak lagi menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi orang dewasa, tetapi sekaligus menjadi sumber wawasan ilmu bagi anak, tanpa mengenal batasan usia. Sementara tayangan, baik gambar, visual dan video dalam media dapat dilihat oleh siapa pun.
Kondisi yang dialami oleh seluruh lapisan masyarakat akibat terus merebaknya pandemi virus, tentu memaksa lingkungan untuk tetap bertahan dalam fase pembelajaran yang banyak mengandalkan peran teknologi. Dinamika sosial begitu cepat mengalami perubahan yang berimbas pada pola pembelajaran dan perilaku anak. Di sini sangat penting adanya pendampingan psikologis untuk menerjemahkan literasi-literasi yang terakses dari media digital (teknologi).
Munculnya persoalan pro-kontra, yang menyudutkan peran guru dan sekolah, tentunya harus dilihat dari pelbagai aspek secara utuh. Artinya, keterbatasan peran guru dan sekolah untuk memaksimalkan interaksi sosial anak (siswa), karena adanya pemberlakuan regulasi pemerintah yang harus dilihat sebagai bentuk perlindungan kesehatan kepada masyarakat.
- Iklan -
Merujuk pada terminologi bahasa, penguasaan pemahaman informasi adalah salah satu bagian penting dalam literasi dan linguistik. Sayangnya, arus perubahan teknologi tidak selamanya berbanding lurus dengan kemajuan literasi bahasa. Konsep akhir dari tujuan teknologi jauh lebih penting dari penggunaan bahasa yang benar dan sesuai kaidah gramatikal (tata bahasa).
Bahasa teknologi, yang esensinya menggunakan media digital sebagai alat untuk menyampaikan pesan merupakan bahasa virtual (realitas maya), tanpa harus mendalami konsep bahasa secara detil dan sempurna. Dengan konsep ini, ada kekurangan yang tidak mampu dijangkau pemahaman secara utuh, terutama dalam pembelajaran literasi agama yang dapat menimbulkan pemahaman berbeda, atau bahkan menyimpang dari konsep konstitusi fikih. Maka sangat dibutuhkan pendampingan yang memahami tentang ini.
Sebagaimana yang kita ketahui, dalam penyampaian informasi berupa kata-kata, gambar atau media lain, pembaca atau penonton akan bisa mengekspresikan lebih dari satu penafsiran (ambigu).Dengan penggunaan media yang berbasis jaringan internet, berita tentang apa pun dapat terjangkau di seluruh pelosok mana pun. Jika kita amati dalam fonem bahasa, maka aksara ini merupakan istilah yang menyampaikan peran dan fungsi, agar terbaca oleh semua orang.
Karena fungsi penggunaan teknologi digital yang simpel, maka bisa diakses oleh segala usia, tanpa pandang bulu. Tetapi akan menjadi masalah dalam memersepsikannya (menerjemahkan), apakah perannya menjadi antagonis (berlawanan) atau protagonis (peran baik/lawan dari antagonis). Ini yang menjadikan dilematis, karena pemahaman literasi agama bagi anak tidak boleh dilepas secara otodidak. Frasa kata dalam kitab agama tidak boleh diartikan secara utuh. Apalagi dalam membaca Al-Qur’an.
Akses kecepatan teknologi yang melatar-belakangi penyampaian informasi, membuat penerima informasi tidak dengan mudah menangkap informasi itu dengan dasar kemampuannya, karena masing-masing orang memiliki tingkat penalaran yang berbeda. Ini sangat jauh berbeda dengan penyampaian informasi secara formal dalam edukasi pembelajaran yang dilakukan secara tatap muka.
Metoda pembelajaran apa pun, pada prinsipnya tentu bertujuan baik dan mempertimbangkan aspek efektivitas dan efesiensi. Ini tidak dapat disangkal, apalagi perubahan sosial sangat besar perannya dalam membentuk karakter atau perilaku seseorang. Hal ini tidak terlepas dari pergeseran masa atau era, yang kini disebut sebagai era digitalisasi.
Lalu, bagaimana dengan fungsi linguistik dan literasi bahasa yang kedudukannya menjadi ujung tombak dalam komunikasi? Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak boleh meninggalkan peran linguistik dan literasi. Sebab pada titik tertentu, bahasa menjadi sangat penting dalam menjunjung martabat bangsa dan agama. Maka sangat penting, literasi agama tetap terjaga sesuai dengan kaidah dan fikih (qur’an dan hadis).
Pandangan skeptisisme (keraguan) yang melatar-belakangi opini publik secara luas, karena masalah literasi teknologi, atau yang lebih populer dinamai literasi digital ditempatkan pada satu sisi yang dianggap berbanding lurus dengan pengertian-pengertian dasar dari kasus penyebaran. Entah itu dilakukan dengan sengaja atau tidak. Antara satu dengan yang lain, letak pentingnya bisa menimbulkan persepsi yang tidak sama. Dalam terminologi (asal usul kata) yang berbeda, sering kita mendengar dengan paradoks (ambigu)
Membaca beberapa teori tentang literasi digital, dikemukakan oleh beberapa ilmuwan di antaranya Paul Gilster dalam Riel, et. al. 2012:3, yang berpendapat bahwa seolah-olah menyederhanakan media digital yang sebenarnya terdiri dari berbagai bentuk informasi sekaligus seperti suara, tulisan dan gambar. Sementara Bawden (2001) menawarkan pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi komputer dan literasi informasi.
Sejauh mana opini ini berkembang, tentunya piranti teknologi berfungsi sebagai alat dari pengontrolan ide atau gagasan manusia. Karena piranti teknologi pada dasarnya hanya sebagai objek dalam pengoperasian sesuatu. Maka kemudian muncul ide-ide dari sumber yang berbeda, mengatasnamakan teknologi untuk memanfaatkan literasi dalam menyampaikan informasi, baik suara, tulisan dan gambar. Tetapi apakah ini penting untuk diperdebatkan?
Dalam termin bahasa, tentunya yang paling penting adalah bagaimana sistem edukasi pembelajaran (pendidikan formal dan nonformal) hasilnya harus berbanding lurus dengan tujuan pendidikan. Maka perlu sebuah metoda (cara), bagaimana memberikan pengenalan literasi agama pada anak dimulai sejak usia berapa. Karena pertumbuhan kemampuan pikir terakumulasi lebih besar pada anak-anak di fase sekolah. Tetapi faktanya, dengan kondisi seperti saat ini, banyak orang tua yang salah dalam metoda pembelajaran anak.
Situasi yang membuat ketakutan orang tua terhadap dunia luar, melakukan cara sederhana dengan mendidik anak secara mandiri tanpa pengawasan yang sifatnya preventif. Kita bisa lihat dimana-mana, bagaimana anak pada usia balita sudah sangat mengenal dengan apa yang dinamakan teknologi seperti android dan sejenisnya. Secara tidak sadar kita telah mengajarkan generasi muda kepada hal-hal yang dihubungkan dengan kemajuan teknologi, karena zamannya sudah demikian.
Kita sering terjebak dengan pemahaman literasi dalam membaca perubahan sosial akibat dampak pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahwa harus ada fase yang dilalui untuk mengenalkan kepada anak, terutama pada anak usia dini, maka di era industri teknologi perlu adanya tenaga konseling yang mendampingi proses pengenalan kepada anak, yang mana orang tua harus menghilangkan stigma edukasi nonformal, bahwa alat bantu audio visual kepada anak bukanlah sebuah solusi yang efektif.
Memang sangat dilematis ketika gerakan literasi dimana-mana hanya menjadi retorika pemikiran, karena ketersediaan prasaran dan sarana yang masih terbatas. Tetapi sebetulnya bisa dilakukan dengan cara sederhana, yakni pengenalan buku-buku bacaan (cetak) yang di dalamnya banyak sumber literasi sebagai bahan dasar pembelajaran anak. Maka, desain konsep teknis harus disiapkan dalam bentuk program dasar, yakni prinsip pembelajaran literasi agama harus diajarkan oleh guru yang telah memiliki kemampuan literasi agama secara komprehensif.
*) Penulis adalah pegiat sastra dan peminat budaya, tinggal di Malang.