Oleh : Efen Nurfiana
Pada kasus yang sering ditemukan, cinta dimaknai sebagai sensasi nyaman, sebagian lainnya beranggapan lahirnya cinta karena adanya kesempatan dan oleh orang yang beruntung. Sejalan dengan itu, kita tidak asing dengan pepatah yang mengungkapkan, “Tidak selalu ada hubungan antara pernikahan dengan cinta. Hanya orang beruntung jika bisa saling mencintai lalu menikah.” Frasa ini menyoroti bahwa cinta berurusan dengan nasib. Namun berbeda dengan ini, Erich Fromm dalam buku Seni Mencintai (Fromm, 2018) mengungkapkan bahwa cinta adalah seni, seperti halnya melukis, cinta adalah seni yang perlu kita pelajari. Maka dalam pembahasan ini, saya hendak mengadopsi pemikiran Fromm perihal memaknai cinta.
Sejauh perkembangan zaman, orientasi cinta mengalami perubahan. Orang-orang kini terlalu mendambakan cinta romantis hingga beranggapan bahwa yang terpenting adalah dicintai bukan mencintai. Fromm menyampaikan bahwa hal yang biasa dipakai laki-laki untuk merasa dicintai adalah menjadi sukses, mapan, memiliki pengaruh di kelas sosial. Sementara, hal yang biasa dipakai perempuan untuk merasa dicintai adalah membuat dirinya terlihat menarik.
- Iklan -
Mengulas Teori Cinta Erich Fromm
Dalam pembahasan mengenai teori cinta, kita harus lebih dulu mengawalinya dengan teori manusia. Sebagaimana Fromm yang melibatkan eksistensi manusia pada aspek kepribadian, pikiran, dan tubuh. Manusia memiliki nalar atau dapat kita sebut dengan kesadaran atas dirinya sendiri. Manusia mengalami pertemuan, perpisahan, kelahiran, dan kematian. Misal saja, kisah Biblikal tentang Adam dan Hawa. Kesadaran akan keterpisahan manusia pada kisah Adam dan Hawa menumbuhkan rasa malu dan bersalah. Perasaan inilah yang mendorong manusia untuk mengatasi kesendirian dengan mencintai seseorang.
Dalam teorinya, Fromm menyebutkan bahwa cinta adalah sebuah aktivitas, bukan afek pasif. Karakter aktif cinta adalah memberi. Oleh karenanya, mencintai bermakna memberi, mengabdi, menyumbangkan apa yang hidup di dalam diri. Sebut saja, kita senantiasa berkeinginan untuk memberikan kegembiraan, perhatian, pengertian, pengetahuan, dan lain sebagainya kepada orang yang kita cintai.
Pada keyakinan Fromm, kita akan menemukan karakter aktif cinta dengan menyoroti dasar bentuk cinta, yakni perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Bentuk perhatian dipersepsi sebagai sikap kepedulian, seperti kepedulian ibu kepada anaknya. Ibu memberi perhatian melalui kepedulian yang ia berikan, merawat, memberi makan, dan lainnya. Bentuk perhatian ini akan melahirkan tanggung jawab. Pada konteks ini, tanggung jawab adalah sanggup dan siap untuk tanggap pada keberadaan “manusia lain” atau “hal yang dicinta.” Misal saja, seseorang yang berkata mencintai bunga, namun tidak memberinya air saat melihat bunga itu layu. Maka kita perlu mempertanyakan perasaan cintanya karena tindakan itu jauh dari tanggung jawab.
Namun, perlu ditekankan bahwa sikap aktif tanggung jawab tidak diturunkan melalui sikap dominasi dan posesif. Kenapa demikian? Karena akan menyalahi bentuk yang ketiga yakni rasa hormat. Bentuk rasa hormat tidak juga diturunkan dari rasa takut atau kagum tapi kemampuan memandang seseorang sebagaimana dirinya, menyadari kekhasannya sebagai individu, membiarkannya tumbuh untuk dirinya.
Kemudian, pengetahuan. Konteks pengetahuan pada pandangan Fromm adalah memahami “rahasia manusia.” Sebut saja melalui pengetahuan kita dapat mengetahui kegelisahan, kemarahan, dan kesepian orang yang kita cintai sekalipun tidak ditunjukkan secara fisik. Baiklah, saya akan mencoba memberikan keterkaitan bentuk aktif cinta ini dengan bahasa yang lebih sederhana. Cinta berarti secara aktif menumbuhkan perhatian dan kepedulian, yang kemudian melahirkan rasa tanggung jawab kepada yang dicinta. Tanggung jawab akan berujung pada rasa hormat dan pengetahuan.
Apabila kita memahami cinta sebagai sesuatu yang mendominasi atau sikap posesif terhadap yang dicinta, maka cinta itu perlu untuk dipertanyakan lagi. Manusia memiliki nafsu yang kerap memanipulasi tindakan aktif mencintai, bahwa mencintai haruslah mengikuti aturan. Padahal, mencintai itulah kita membiarkan yang dicintai tumbuh untuk dirinya dan sebagai dirinya, bukan menuntut ia tumbuh untuk diri kita.
Perubahan Nilai Cinta pada Era Digital
Beberapa dekade terakhir, perkembangan teknologi digital melahirkan dinamika baru dalam memaknai cinta. Kita dapat menemukan banyak contohnya di internet, media sosial, dan aplikasi kencan daring yang dapat mengubah cara manusia berinteraksi, banyak di antaranya yang juga membangun kedekatan atau memelihara hubungan.
Perubahan ini semakin terlihat seiring cinta yang tumbuh dan berkembang melalui percakapan singkat di ruang digital. Jelas, hal ini berpotensi menggeser proses tradisional cinta yang berlandaskan interaksi fisik, kebersamaan, dan komitmen. Perubahan ini memproyeksi perubahan nilai dari hubungan yang berorientasi pada keintiman emosional menuju relasi yang lebih cepat, visual, dan terukur. Misalkan, terjadinya interaksi melalui chat, emoji, atau foto yang dikurasi.
Meskipun, ritme cinta yang demikian mempercepat proses kedekatan, tetapi kita tahu bahwa hal tersebut berpotensi mengurangi kedalaman emosional. Sebab hubungan yang dibangun secara daring memiliki kecenderungan mudah dimulai dan mudah berakhir. Jika demikian, seiring meningkatnya konektivitas, kita justru menghadapi krisis makna cinta yang autentik.
Dalam konteks sebab-sebab cinta menurut Al-Ghazali yang ditulis Binyamin Abrahamov dalam buku Teori Cinta Al-Ghazali (Abrahamov, 2023), menurut Al-Ghazali salah satu sebab timbulnya cinta adalah cinta kepada sesuatu karena sesuatu itu sendiri dan bukan karena pertimbangan bahwa ia merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Misalkan, cinta kepada keindahan. Tampaknya, Al-Ghazali memandang konteks “melihat” dan “rasa senang” sebagai fenomena, maka menjadi mungkin untuk mengatakan bahwa melihat hal-hal yang indah merupakan penyebab rasa senang. Hal ini menegaskan bahwa persepsi keindahan identik dengan kesenangan.
Meskipun Al-Ghazali tidak membatasi makna keindahan sebagai bentuk penginderaan saja, namun konsep dari keindahan menimbulkan rasa senang tidak terlepas dari sebab timbulnya cinta. Konsep ini mengingatkan saya pada pepatah populer yang berbunyi “dari mata turun ke hati.” Apabila hal ini dikaitkan dengan konteks keterhubungan seseorang melalui interaksi fisik. Maka, hubungan gaya visual mengurangi nilai keintiman dan kebersamaan.
Budaya Pamer dan Komoditas Digital
Faktanya, media sosial telah memposisikan cinta sebagai konsumsi publik. Banyak kita temui ekspresi kasih sayang yang seharusnya bersifat personal, ditampilkan dalam bentuk unggahan di media sosial seperti TikTok, Instagram, Youtube dan lainnya.
Uniknya, banyak pasangan yang “merasa” perlu menunjukkan kebahagiaan agar diakui orang lain. Barangkali saya akan menyebutnya sebagai tekanan sosial yang banyak dialami Generasi Milenial dan Generasi Z. Tekanan ini dapat memicu paradoks, seperti hubungan yang tampak romantis di media sosial, tetapi cenderung “asing” di dunia nyata. Jika demikian, pemaknaan nilai cinta berubah dari pengalaman batin seperti yang disebutkan Fromm dalam Teori Cinta menjadi pencitraan dan komoditas digital.
Dalam masyarakat kapitalistik, kita tahu bahwa cinta tidak lagi sepenuhnya memiliki komitmen dan tidak terlepas dari praktik komodifikasi. Misalkan, narasi media sosial yang menjual perasaan. Dalam Platform digital, banyak kita temui pihak yang memonetisasi interaksi romantis melalui fitur premium atau personalisasi algoritma. Ambilah contoh hubungan publik figur, netizen sebagai istilah seseorang yang aktif terlibat dalam komunitas daring kerap memandang bahwa keberhasilan cinta diukur dari banyaknya interaksi digital yang terlihat. Posisi cinta seolah menjadi alat konsumsi publik.
Tidak heran, banyak netizen yang menyoroti isu perceraian atau retaknya hubungan publik figur. Batas yang tidak lagi personal ini pada akhirnya mampu dilampaui, terlebih pada pihak-pihak yang mengambil keuntungan atas isu tersebut. Merujuk data statistik dalam Kompas.id, jumlah perceraian di Indonesia mencapai hampir 400.000 kasus sepanjang 2024. Angka tersebut meningkat 13,1% dibandingkan satu dekade lalu. Apabila dibandingkan dengan jumlah pernikahan di tahun yang sama, kasus perceraian mengambil proporsi 27%. Kasus perceraian didominasi oleh pertengkaran yang terjadi secara terus menerus. (Nugraheni, 2025).
Dengan ini, angka tersebut bukan sekedar data statistik, namun cermin perubahan sosial dan makna cinta. Manusia modern bisa jadi memproyeksi cinta dan komitmen tidak lagi soal sehidup semati. Pada konteks ini, konflik dalam cinta bukan lagi sekedar ego, melainkan tentang ketimpangan komunikasi dan tekanan sosial.
Krisis Komitmen dan Keterasingan Emosional
Mirisnya, pernikahan seolah bukan lagi didasarkan sebagai ikatan sakral, tetapi menjadi kontrak sosial yang dapat diakhiri kapan saja. Perceraian kini dipandang sebagai hal wajar akibat perubahan nilai cinta dan meningkatnya individualisme. Kembali pada Platform Digital yang menawarkan efisiensi dalam menemukan pasangan melalui aplikasi daring seperti Tinder, Bumble, atau Tantan. Aplikasi ini memanfaatkan algoritma untuk mencocokkan individu berdasarkan preferensi. Hal baiknya, kemajuan teknologi ini melahirkan efisiensi dalam menemukan pasangan. Namun juga menimbulkan ilusi.
Semakin manusia memiliki banyak pilihan, kita juga memiliki kecenderungan sulit berkomitmen. Krisis komitmen ini menghilangkan stabilitas cinta yang didorong logika instan dan visual. Kemudahan yang ditawarkan teknologi soal mengakses interaksi atau menciptakan hubungan lebih cepat justru memicu timbulnya keterasingan emosional pada manusia modern. Jika sudah demikian, cinta berubah menjadi sumber kecemasan seperti kecemasan tidak direspon, kecemasan kehilangan validasi, kecemasan tidak diperhatikan, dan kecemasan ditinggalkan. Paradoks yang timbul kemudian yakni manusia mudah terhubung, tetapi juga semakin merasa kesepian.
Saya tidak ingin menyebut perubahan nilai cinta ini sebagai kemerosotan moral, saya lebih sepakat menyebutnya sebagai proses adaptasi terhadap perubahan sosial. Faktanya, teknologi justru dapat difungsikan untuk memperkuat hubungan. Namun untuk mencapai hal tersebut, kita perlu mengutamakan kesadaran dan empati. Menjaga etika mencintai pada era digital perlu keseimbangan antara interaksi (perhatian), tanggung jawab, kebebasan atau rasa hormat, dan pengetahuan.
Sebagaimana Fromm yang menyebutkan cinta adalah seni yang perlu untuk terus dipelajari dan diupayakan. Transformasi nilai cinta pada era digital memproyeksi transformasi sosial yang kompleks. Bisa jadi cinta kini hidup di antara dua dunia, dunia nyata yang lebih menyoroti nilai cinta pada keintiman dan dunia digital yang menonjolkan citra. Meski begitu, kebutuhan dasar cinta adalah cinta yang aktif, yang darinya lahir perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Kita hanya perlu menata ulang cara kita memandang komitmen, emosional, kebutuhan, penerimaan, pemahaman, dan kasih sayang yang autentik.
Efen Nurfiana. Karyanya terdokumentasi dalam kumpulan sajak Dadamu Serumpun Pohon (Wadas Kelir Publisher, 2023), Gus Mus dan Simbolisme Feminin (Wadas Kelir Publisher, 2023). Instagram Efennu.



