Oleh : Yuditeha
Aku sedang mengantar Lina ke Pasar Lama untuk membeli pisau. Katanya, pisau di rumahnya sering hilang. “Kemarin dipinjam tetangga buat ‘ngeleti’ daging kambing,” gerutunya, “Tadi pagi kuambil ke rumahnya kok banyak alasan. Wislah, males aku.”
Aku hanya mendengarkan. Begitu sampai di pasar, Lina langsung menuju kios perabot tanpa basa-basi. Aku memilih duduk di kursi kayu dekat tumpukan ember. Mataku memandang sekeliling. Pasar ini penuh dengan hiruk-pikuk orang tawar-menawar, aroma bawang, dan debu beterbangan. Kepalaku mendadak pusing.
Suasana tiba-tiba berubah. Dalam hitungan detik, pasar menjadi ajang demonstrasi besar-besaran. Orang-orang berteriak, membawa spanduk, dan berorasi. Lina berdiri di atas sebuah meja, mengayun-ayunkan pisau yang baru dibeli. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi semangatku tersulut melihatnya. Rasa solidaritas melambung ketika seorang polisi memukul seorang demonstran dengan tongkat. Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan pisau lipat dari jaketku dan menghunuskannya ke pantat polisi itu. Lalu aku lari.
- Iklan -
Kerumunan menjadi kacau. Suara tembakan menggelegar di udara. Aku terus berlari, menembus massa yang berteriak. Sebuah tangan menarikku ke dalam dekapan. Aku dilempar ke atas truk yang sedang bergerak.
“Dasar bodoh! Pantat itu nggak ada apa-apanya, cuma lemak. Masih ada perut, jantung, atau leher. Itu lebih keren saat ditusuk,” omel Lina.
Aku hanya menyeringai tanpa berkata apa-apa. Hujan turun tanpa peringatan. Lina melepas jaketnya dan menutupi kepala kami berdua. “Wah, siap-siap masuk angin,” keluhnya.
“Itu bagus. Aku senang melihatmu manja dan berisik saat sakit. Seorang pemberani menghadapi senjata dan perkelahian, tiba-tiba jadi bayi saat flu,” ejekku.
Lina tertawa keras. Aku heran bagaimana ia bisa tertawa dalam situasi seperti ini. Truk berhenti mendadak. Lina menyuruhku turun lebih dulu.
“Ayo pulang,” tiba-tiba suara berubah. Aku terkejut, itu suara suamiku. Ia berdiri di bawah, menungguku. Hujan telah benar-benar berhenti. Aku turun lalu menoleh ke belakang, Lina dan truk tadi sudah lenyap.
Kami pulang, tetapi semua terasa aneh. Ketika masuk rumah, tidak ada siapa pun. Bahkan suamiku juga menghilang. Aku hanya sendirian, ditemani suara berisik ayam di kandang sebelah. Aku masuk ke dapur, menemukan Lina sedang memasak dengan pisau barunya.
“Ngapain kamu di rumahku?” tanyaku
“Aku pinjam rumahmu ya. Nanti kukembalikan,” jawabnya, tanpa menoleh
Aku bingung. Suara langkah mendekat. Dari kamar tidurku, keluar suami Lina dan ketiga anaknya. Anak-anak itu bermain dengan mainan anakku, seolah-olah rumah ini memang milik mereka. Saat aku hendak protes, tubuhku tiba-tiba terasa ringan. Aku melayang, seperti asap. Wujudku menghilang. Hantu-hantu mulai bermunculan, bergentayangan di sekitarku. Mereka menatapku dengan tatapan kosong.
Aku ketakutan, lalu berlari keluar rumah. Di sana suasana lebih menyeramkan. Makhluk-makhluk aneh berwajah rusak berkeliaran di mana-mana. Aku hampir pingsan. Aku kembali ke dalam rumah, mengambil pisau dari Lina, lalu mengayunkannya ke segala arah. Pisau itu memercikkan bunga api terang, mengusir makhluk-makhluk itu. Hantu-hantu berlarian, lenyap dalam gelap.
Aku terduduk di bawah pohon asem di halaman belakang. Suara demonstrasi terdengar lagi. Aku melihat Lina berdiri, menyemangati para demonstran yang sedang baku hantam dengan aparat.
“Kamu nggak setia kawan,” katanya, tiba-tiba muncul di sampingku
“Aku capek,” jawabku pendek. “Lagipula kamu juga kenapa nggak ikut lanjut berperang? Malah di sini juga.”
“Perjuangan di sini lebih menantang daripada di sana,” balasnya sembari merangkul pundakku.
Aku tersenyum kecil, tapi aku tidak tahu maksudnya. Perasaan di dalam diriku campur aduk, antara lelah, bingung, dan marah. Aku memeluk Lina erat, seolah ingin memastikan dia nyata. Di tengah semua kekacauan, hanya Lina yang terasa tetap sama. Tapi aku merasa ada sesuatu lebih besar sedang menunggu.
Aku terbangun dengan keringat dingin mengucur deras. Rumahku gelap dan sunyi. Suara ayam dari kandang sudah tak ada lagi. Aku berjalan ke dapur, hanya menemukan pisau Lina tergeletak di meja, berlumuran darah. Di sudut ruangan, tubuh Lina terkapar. Di tangannya ada secarik kertas dengan tulisan nyaris tak terbaca: Pisau itu bukan untuk perang, tapi untuk keadilan. Kau gagal memahami.
Tubuhku gemetar. Semua fragmen kejadian kembali berputar dalam benakku: pasar, demo, pisau, makhluk aneh. Aku menyadari sesuatu, ini bukan pertama kalinya aku kehilangan kendali. Ingatan samar muncul, tentang Lina dulu menyelamatkanku dari upaya bunuh diri setelah kematian anakku. Ia selalu ada di saat-saat tergelapku, tapi aku tidak pernah bisa membalas kebaikannya. Justru, aku selalu mencurigai niat baiknya, merasa ia ingin mengambil alih hidupku.
Ingatanku menajam, kami bertengkar hebat. Aku menuduhnya mencuri suamiku, rumahku, hidupku. Lina tertawa getir, menyebutku paranoid. Tapi aku tahu, ia tidak akan pergi sebelum aku memaksanya. Dalam amarah, aku merebut pisaunya dan menodongkan ke arahnya. Setelah itu aku tidak ingat kejadiannya, hanya ada kilatan api dan jeritan.
Kini, melihat tubuhnya tak bernyawa, aku tahu, aku telah melukai Lina. Fragmen kertas, darah di pisau, dan sesuatu yang menghantuiku adalah bukti tak terbantahkan. Aku telah kehilangan satu-satunya orang yang mengerti aku, dan aku tidak yakin apa yang tersisa dari diriku. Aku menjerit tanpa suara, berlutut di lantai dapur.***
Yuditeha Penulis yang tinggal di Karanganyar. IG: @yuditeha2



