Oleh: Muhammad Nur Faizi
Sebuah video yang mengklaim Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut guru sebagai “beban negara” sempat viral pada awal 2025. Potongan video itu menimbulkan kontroversi luas. Komentar masyarakat beragam, mulai dari kemarahan hingga kekhawatiran atas masa depan profesi guru. Padahal, jika dilihat lebih cermat, video tersebut adalah hoaks.
Kementerian Keuangan menegaskan bahwa ucapan Sri Mulyani dipotong di luar konteks, dan menteri sejatinya membahas tantangan pembiayaan pendidikan dan pentingnya dukungan bagi guru, bukan menghina mereka. Kasus ini menegaskan pentingnya literasi digital dan pemahaman publik tentang konteks pernyataan publik, terutama terkait pendidikan, yang menjadi fondasi bangsa.
Fenomena hoaks ini bukan sekadar soal potongan video; ia mencerminkan dinamika sosial dan politik yang kompleks. Guru, sebagai garda terdepan pendidikan, kerap menjadi sasaran narasi kontroversial, padahal data menunjukkan mereka adalah pilar krusial dalam pembangunan sumber daya manusia. Menurut laporan Kemendikbudristek 2024/2025, Indonesia memiliki lebih dari 4,2 juta guru yang tersebar dari tingkat TK hingga SMA, dengan sekitar 70% berada di jenjang pendidikan dasar. Anggaran pendidikan nasional pada RAPBN 2026 mencapai Rp757,8 triliun, termasuk Rp178,7 triliun untuk gaji, tunjangan, dan pelatihan guru. Fakta ini menegaskan bahwa guru bukan beban negara, melainkan investasi sosial yang sangat strategis bagi masa depan bangsa.
- Iklan -
Guru Sebagai Pilar Pendidikan dan Martabat Sosial
Guru bukan sekadar pengajar materi akademik; mereka adalah pendidik karakter, fasilitator kreatifitas, dan pembentuk identitas generasi. Hoaks yang menyebut guru sebagai “beban negara” dapat menurunkan moral profesi, melemahkan motivasi, dan menciptakan ketidakpercayaan publik. Padahal, penelitian UNESCO menegaskan bahwa kualitas guru adalah faktor paling menentukan hasil belajar siswa, bahkan lebih signifikan daripada fasilitas sekolah atau teknologi yang tersedia. Dengan kata lain, guru adalah fondasi keberhasilan pendidikan nasional.
Lebih dari itu, guru memainkan peran sosial dan kultural yang sangat penting. Di banyak daerah, guru tidak hanya mengajarkan pelajaran formal, tetapi membimbing siswa memahami budaya lokal, bahasa daerah, dan tradisi masyarakat. Kegiatan ekstrakurikuler, bimbingan karakter, dan pendampingan personal membentuk modal sosial yang tak ternilai harganya. Hoaks yang menurunkan martabat guru berpotensi melemahkan fondasi sosial ini. Di titik ini, masyarakat harus memahami bahwa guru adalah penjaga masa depan bangsa, bukan sekadar pegawai pemerintah.
Selain itu, guru berperan sebagai mediator antara kebijakan pendidikan dan implementasi di lapangan. Mereka menghadapi berbagai tantangan, termasuk kesenjangan fasilitas antarwilayah, keterbatasan sarana belajar, hingga beban administratif. Menurut data Kemendikbudristek, sekitar 30% guru di wilayah terpencil masih menghadapi kesulitan akses internet, buku, dan alat pembelajaran digital. Dengan segala tantangan tersebut, menyebut guru sebagai “beban” adalah distorsi fakta yang merugikan citra profesi dan meremehkan kontribusi mereka yang nyata bagi pembangunan manusia Indonesia.
Literasi Digital sebagai Senjata Melawan Hoaks
Kasus hoaks Sri Mulyani menegaskan perlunya literasi digital yang lebih luas dan mendalam. Masyarakat perlu mampu membedakan antara fakta, opini, dan manipulasi media. Video hoaks tersebut menggunakan potongan kalimat, musik dramatis, dan framing visual untuk menimbulkan kesan provokatif, meskipun konteks asli sama sekali berbeda. Literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis, tetapi kemampuan kritis dalam menilai sumber informasi, memverifikasi fakta, dan memahami konteks.
Sekolah dan lembaga pendidikan seperti Maarif NU memegang peran strategis. Mereka tidak hanya mendidik siswa dalam literasi digital, tetapi juga memberikan pendampingan bagi guru dan masyarakat luas. Pelatihan verifikasi informasi, diskusi kritis, dan edukasi tentang manipulasi konten dapat membantu menumbuhkan budaya saring sebelum sharing, sehingga masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh konten yang menyesatkan. Literasi digital digunakan untuk membangun ketahanan sosial. Ketika publik lebih kritis, hoaks tidak mudah menyebar, guru kembali dipandang sebagai pahlawan pendidikan, dan narasi pendidikan tetap positif.
Penting untuk menekankan bahwa guru sendiri bisa menjadi agen literasi digital. Mereka membimbing siswa memverifikasi informasi, mendorong kesadaran kritis, dan menanamkan etika berbagi konten. Dalam jangka panjang, guru yang kuat dalam literasi digital tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi memperkuat kohesi sosial dan mencegah disinformasi merusak tatanan masyarakat.
Kolaborasi, Penghargaan, dan Masa Depan Pendidikan Indonesia
Memperkuat martabat guru dan pendidikan tidak cukup hanya dengan klarifikasi fakta. Dibutuhkan strategi sistemik, kolaborasi, penghargaan, dan dukungan berkelanjutan. Lembaga seperti Maarif NU dapat menjembatani pemerintah, sekolah, dan masyarakat dalam rangka membangun ekosistem pendidikan yang sehat. Pelatihan guru, lokakarya kreatif, dan kolaborasi dengan komunitas pendidikan lokal dapat menjadi langkah konkret. Misalnya, proyek literasi, pembuatan media pembelajaran digital, dan program mentoring bisa meningkatkan kompetensi guru sekaligus memberikan ruang bagi inovasi siswa.
Penghargaan terhadap guru harus terlihat dalam kebijakan dan praktik nyata. Kesejahteraan guru, dukungan profesional, dan pengakuan atas kerja keras mereka adalah fondasi yang membuat profesi ini tetap dihormati. Data Kemendikbudristek menunjukkan bahwa guru yang merasa dihargai secara profesional cenderung lebih produktif dan berkomitmen terhadap pengembangan murid. Hoaks yang menurunkan citra guru justru mengancam produktivitas ini dan berpotensi menurunkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Kasus hoaks Sri Mulyani adalah momen reflektif bagi bangsa. Ia mengingatkan kita bahwa guru adalah fondasi pembangunan manusia, literasi digital adalah kunci melawan disinformasi, dan masyarakat harus mampu membedakan fakta dari manipulasi media. Dengan kombinasi penghargaan, pendidikan kritis, dan kolaborasi komunitas, guru akan tetap menjadi pilar yang membentuk generasi cerdas, bermoral, dan kreatif. Guru bukan beban; mereka adalah investasi masa depan yang menjaga martabat pendidikan Indonesia tetap tinggi, memperkuat kohesi sosial, dan menyiapkan generasi untuk menghadapi tantangan global dengan integritas dan kompetensi.
Dalam konteks ini, publik diajak untuk reflektif sebelum terprovokasi hoaks, masyarakat perlu bertanya, memeriksa sumber, dan menilai konteks. Guru, sebagai aktor utama pendidikan, tidak boleh menjadi korban distorsi informasi. Sebaliknya, mereka harus terus diperkuat dengan penghargaan sosial, pelatihan profesional, dan dukungan komunitas, agar profesi ini tetap menjadi cahaya penuntun bagi generasi penerus. Ketika guru dihormati dan pendidikan dijaga kualitasnya, bangsa ini tidak hanya menegakkan hak anak-anak untuk belajar, tetapi meneguhkan fondasi sosial dan moral yang kokoh.



