Oleh: Evie Yunianti
Setiap orang tua tentu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Kita ingin mereka tumbuh menjadi pribadi yang saleh, patuh kepada Allah, hormat pada orang tua, dan membawa keberkahan di manapun berada. Harapan itu begitu besar, hingga sering kali kita rela melakukan apa saja: memasukkan mereka ke pesantren dan TPQ, mendaftarkan les privat mengaji, membelikan buku-buku agama, bahkan membuat jadwal belajar yang ketat.
Namun di tengah kesungguhan kita mendidik mereka, terkadang kita lupa berkaca untuk menoleh ke diri sendiri. Kita begitu sibuk membimbing, menasihati, dan mengarahkan. Tanpa kita sadari, kita sendiri belum selesai belajar dan masih sering jarkoni. Kita ingin anak kita menjadi saleh, tapi apakah kita juga sedang sungguh-sungguh belajar menjadi orang tua yang saleh?
Pertanyaan ini penting. Sebab pendidikan anak bukan hanya soal kurikulum, metode, atau tempat belajar. Pendidikan anak adalah tentang keteladanan. Anak-anak lebih peka terhadap apa yang mereka lihat dibandingkan apa yang mereka dengar. Mereka tidak hanya menyerap nasihat kita, tetapi juga meniru kebiasaan kita.
- Iklan -
Dalam kearifan Jawa, kita mengenal pepatah: guru, digugu lan ditiru. Seorang guru, termasuk orang tua adalah sosok yang dipercaya ucapannya dan diteladani perilakunya. Tapi kenyataannya, banyak dari kita yang pandai berbicara tapi kurang dalam menampilkan contoh. Kita melarang anak berkata kasar, tetapi kita sendiri sering tak mampu menjaga lisan. Kita menyuruh anak salat tepat waktu, tapi kita sendiri masih sering menunda.
Anak Lebih Banyak Meniru daripada Mendengar
Kajian psikologi perkembangan menyebut bahwa anak usia dini belajar dengan cara meniru (imitasi). Albert Bandura menyebutnya sebagai observational learning atau pembelajaran lewat pengamatan. Anak-anak akan meniru tindakan orang dewasa di sekitarnya, terutama orang tua dan guru.
Maka tak heran jika nasihat-nasihat kita sering terasa sia-sia. Anak-anak mungkin mengangguk saat kita bicara, tapi mereka tidak berubah karena mereka melihat ketidaksesuaian antara apa yang kita ucapkan dan apa yang kita lakukan.
Meneladani Sosok Luqman dalam Al Qur’an
Di dalam Al-Qur’an, Allah mengabadikan kisah Luqman, seorang ayah sekaligus pendidik penuh hikmah. Dalam Surah Luqman ayat 13–19, kita membaca nasihat-nasihat yang luar biasa dari Luqman kepada anaknya: tentang tauhid, berbakti kepada orang tua, kesadaran atas amal perbuatan, salat, amar ma’ruf nahi munkar, kesabaran, dan akhlak mulia.
“Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sungguh mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
“Tegakkanlah salat, suruhlah berbuat baik, cegahlah dari yang mungkar, dan bersabarlah atas apa yang menimpamu.” (QS. Luqman: 17)
Namun yang menarik, Luqman tak hanya menasihati dengan kata-kata. Kata “hikmah” yang dilekatkan pada dirinya (QS. Luqman: 12) menunjukkan bahwa ia adalah pribadi yang konsisten, antara ucapan dan tindakan. Ia bukan sekadar pendakwah, melainkan pendidik sejati yang tidak hanya berbicara, tapi menjalani.
Bertumbuh Bersama Anak, Bukan Menggurui
Banyak dari kita yang bercita-cita agar anak-anak kita menjadi lebih baik dari kita. Namun cita-cita itu akan hampa bila tidak dibarengi dengan kesadaran untuk ikut bertumbuh bersama mereka. Pendidikan bukan proyek satu arah. Ia adalah proses dua arah, bahkan lebih luas lagi: proses bertumbuh bersama.
Anak-anak tidak menuntut kita untuk sempurna. Mereka hanya butuh kejujuran, kesungguhan, dan konsistensi. Jika mereka melihat kita terus berusaha memperbaiki diri, mereka pun akan terinspirasi untuk melakukan hal yang sama.
Teladan Bisa Dimulai dari Hal-Hal Kecil
Mungkin kita belum bisa menjadi seperti Luqman. Tapi kita bisa mulai dari hal-hal kecil seperti mengucapkan salam saat masuk rumah, menjaga lisan ketika marah, salat tepat waktu tanpa menunda, dan meminta maaf saat berbuat salah.
Pendidikan sejati dimulai dari diri sendiri. Anak yang saleh bukan hanya lahir dari sekolah yang bagus atau guru yang pandai, tapi dari rumah yang dipenuhi dengan keteladanan. Kita tidak sedang mendidik anak menjadi baik ‘sendirian’. Kita juga sedang belajar ‘menjadi baik bersama mereka.’
Menjadi orang tua atau guru sejati bukan tentang seberapa banyak kita memberi nasihat. Tapi sejauh mana kita bersedia menjelma menjadi nasihat itu sendiri. “Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat, daripada dari apa yang mereka dengar.”
Maka, mari kita wariskan hikmah, bukan sekadar perintah. Agar kelak, anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang saleh, karena mereka belajar dari orang tua dan guru yang juga belajar menjadi saleh.
-Evie Yunianti, Guru MI Ma’arif Pulutan, Kota Salatiga



