Oleh: Muhammad Nur Faizi
Musim haji tahun 2025 telah tiba, menandai momen sakral bagi umat Islam di seluruh dunia. Sebanyak 221.000 jemaah haji Indonesia dijadwalkan berangkat ke Tanah Suci, terdiri dari 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus. Pemberangkatan jemaah haji Indonesia dilakukan dalam dua gelombang: gelombang pertama pada 2–16 Mei 2025 dan gelombang kedua pada 17–31 Mei 2025.
Selain sebagai bentuk ketaatan spiritual, haji telah lama memainkan peran penting dalam membentuk dinamika sosial, budaya, dan intelektual umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dalam konteks pendidikan Islam, pengalaman haji telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan pemikiran, pembentukan institusi pendidikan, serta reformasi metode pengajaran di berbagai wilayah Nusantara.
Meski sering dilihat sebagai ibadah personal yang bersifat ritualistik, sejarah menunjukkan bahwa haji juga berfungsi sebagai kanal penting bagi mobilitas intelektual dan pertukaran gagasan antarnegara Muslim. Pengalaman spiritual yang diperoleh jamaah selama di Tanah Suci tidak hanya memperkuat kesadaran religius, tetapi sering kali menjadi pemicu bagi lahirnya inovasi di bidang pendidikan keislaman.
- Iklan -
Sejarah Ibadah Haji Sebagai Misi Pencarian Ilmu
Pada masa kolonial, ibadah haji menjadi salah satu bentuk mobilitas yang unik, di mana jamaah dari Hindia Belanda menempuh perjalanan laut selama berbulan-bulan untuk mencapai Mekkah. Namun yang menarik, sebagian besar dari mereka tidak sekadar menunaikan kewajiban ibadah, melainkan menetap untuk menuntut ilmu. Catatan arsip kolonial Belanda menyebutkan bahwa sekitar 15 hingga 20 persen jamaah haji pada awal abad ke-20 memilih untuk tinggal lebih lama di Hijaz guna belajar langsung dari para ulama besar di Masjidil Haram.
Para jamaah ini kemudian dikenal sebagai “pelajar haji” yang menjadi mata rantai penting dalam jaringan ulama internasional. Tokoh-tokoh seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Syekh Mahfudz at-Turmusi menjadi figur utama dalam transfer ilmu keislaman dari Timur Tengah ke Nusantara. Ketika mereka atau murid-muridnya kembali ke tanah air, mereka membawa serta gagasan pembaruan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk lembaga pendidikan, madrasah, dan pesantren dengan sistem pembelajaran yang lebih terstruktur dan terbuka terhadap ilmu-ilmu modern.
Transformasi pendidikan melalui jalur haji ini bisa dilihat dari kiprah tokoh-tokoh reformis Islam Indonesia. KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan Haji Agus Salim merupakan contoh nyata tokoh yang mengalami perubahan cara pandang setelah menunaikan haji. Mereka tidak hanya menyerap semangat spiritualitas yang mendalam, tetapi juga menyaksikan langsung dinamika keilmuan dan keterbukaan pemikiran di pusat-pusat pendidikan Islam dunia. Sepulang dari haji, mereka mendirikan lembaga pendidikan yang mengombinasikan antara nilai-nilai tradisional Islam dengan metode pengajaran modern.
Ini membuktikan bahwa haji bukan hanya ritual, melainkan juga pengalaman pendidikan yang membentuk visi baru dalam membangun generasi Muslim yang lebih terbuka, rasional, dan progresif. Riset yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 32 persen jamaah haji yang berprofesi sebagai guru atau dosen mengalami perubahan signifikan dalam orientasi pengajaran mereka pasca-haji, terutama dalam pendekatan pembelajaran yang lebih integratif dan kontekstual.
Membangun Karakter Pelajar Melalui Spirit Haji
Salah satu dimensi menarik dari haji dalam konteks pendidikan adalah munculnya transfer literasi. Para jamaah haji, khususnya yang berasal dari kalangan terpelajar, kerap membawa pulang buku-buku keislaman berbahasa Arab atau Inggris yang tidak tersedia secara luas di Indonesia. Buku-buku tersebut menjadi sumber diskusi baru di kalangan masyarakat dan kerap digunakan dalam forum pengajian atau majelis taklim.
Dalam sebuah studi lapangan yang dilakukan oleh Maarif Institute pada tahun 2022, ditemukan bahwa lebih dari 60 persen jamaah haji dari kalangan intelektual membawa minimal tiga judul buku keislaman dari Tanah Suci. Fenomena ini turut mendorong tumbuhnya komunitas belajar yang berbasis pada pengalaman dan pengetahuan pascahaji. Contohnya dapat dilihat di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, di mana sebuah komunitas bernama “Madrasah Haji Literatif” dibentuk untuk mengintegrasikan ilmu fikih dengan wacana kontemporer seperti etika lingkungan, toleransi beragama, dan ekonomi syariah.
Sehingga menjadikan perjalanan haji sebagai ruang perjumpaan antarbudaya dan antarpemikiran. Di Tanah Suci, jamaah dari berbagai negara Islam bertemu dan saling bertukar pandangan. Proses ini sering kali menumbuhkan kesadaran multikulturalisme dalam diri jamaah, yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk pendekatan pengajaran yang lebih inklusif dan humanis. Dalam konteks pendidikan, nilai-nilai yang diperoleh dari perjumpaan tersebut seperti kedisiplinan, keteraturan, kesetaraan manusia di hadapan Tuhan, serta toleransi terhadap perbedaan, memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai fondasi kurikulum pendidikan karakter. Beberapa madrasah di Indonesia bahkan mulai mengembangkan materi tematik tentang nilai-nilai haji sebagai bagian dari penguatan pendidikan agama.
Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama, misalnya, pada tahun 2024 mulai mengembangkan modul bertajuk “Haji dan Dunia Islam” yang ditujukan untuk siswa Madrasah Aliyah Program Keagamaan. Modul ini tidak hanya membahas aspek fikih haji, tetapi juga mencakup sejarah pemikiran Islam di Mekkah dan Madinah, jaringan ulama internasional, serta dinamika sosial-politik di dunia Islam.
Dengan berbagai macam implementasi yang kuat, haji bisa memainkan peran sebagai medium diplomasi intelektual. Dalam pertemuan lintas negara yang terjadi selama musim haji, banyak terjadi dialog informal antarulama, akademisi, dan pemikir Islam dari berbagai penjuru dunia. Dari dialog tersebut lahir kerja sama di bidang pendidikan, baik dalam bentuk pertukaran dosen, beasiswa, maupun pendirian cabang lembaga pendidikan di negara lain.
Pada musim haji tahun 2023, misalnya, delegasi Kementerian Agama Republik Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan Universitas Islam Madinah dalam rangka pengembangan sumber daya manusia di bidang pendidikan Islam. Ini membuktikan bahwa ibadah haji bukan hanya peristiwa ritual tahunan, tetapi juga menjadi ajang strategis bagi diplomasi pendidikan yang berorientasi global.
Mengintegrasikan Nilai Haji dalam Pendidikan
Meski memiliki potensi besar, tidak dapat dipungkiri bahwa akses terhadap ibadah haji masih bersifat elitis. Biaya haji yang tinggi dan proses antre yang panjang menyebabkan banyak pendidik, khususnya di daerah tertinggal, belum berkesempatan menunaikan ibadah ini. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Puslitbang Kemenag tahun 2023, hanya sekitar 4 persen guru madrasah di kawasan Indonesia bagian timur yang pernah berhaji.
Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam konteks pemerataan pengalaman edukatif dari ibadah haji. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan afirmatif dari negara, seperti program beasiswa haji untuk guru teladan, dosen pesantren, atau alumni madrasah unggulan yang menunjukkan komitmen terhadap pengembangan pendidikan Islam. Program semacam ini akan menjadi investasi strategis dalam memperluas dampak positif ibadah haji terhadap pendidikan nasional.
Sudah saatnya dunia akademik dan institusi pendidikan melihat ibadah haji dari sudut pandang yang lebih luas, bukan hanya sebagai kewajiban individual, melainkan juga sebagai wahana transformasi sosial dan intelektual yang berkelanjutan. Perlu adanya gerakan kolektif untuk mendokumentasikan pengalaman para alumni haji dalam bentuk narasi ilmiah, pengembangan kurikulum berbasis nilai-nilai haji, serta pembentukan jaringan kerja sama pascahaji di sektor pendidikan. Dengan cara seperti itu, haji akan terus memberi makna, tidak hanya bagi jiwa-jiwa yang menunaikannya, tetapi juga bagi generasi yang dididik untuk menjadi Muslim yang cerdas, moderat, dan peduli terhadap sesama.