Oleh : Gunoto Saparie
Pagi baru saja merekah di kaki perbukitan Sukorejo, Kendal. Kabut tipis masih menggantung di atas sawah, menyelimuti desa kecil itu dengan selimut putih yang lembut. Udara sejuk menyentuh kulit, membawa aroma tanah basah dan semerbak khas daun tembakau yang baru dipetik—tajam namun menenangkan, seperti kenangan lama yang muncul kembali tanpa diminta.
Di kejauhan, gundukan daun tembakau yang dijemur terhampar rapi di pelataran rumah-rumah warga. Sinar matahari pelan-pelan menyapu lembut permukaan daun-daun itu, memantulkan warna hijau kekuningan yang menandakan kualitas terbaik. Bau getirnya menguar ke udara, bercampur dengan embusan angin pagi yang mengelus pepohonan.
Di belakang rumah, aliran sungai kecil mengalir tenang, gemericiknya berpadu dengan kicau burung dan suara sesekali ayam berkokok. Airnya jernih, mengalir di antara bebatuan dan akar-akar pohon yang menjulur seperti penjaga alam. Suaranya tak nyaring, namun cukup untuk menenteramkan hati siapa pun yang mendengarnya.
Anak-anak desa mulai keluar rumah, menenteng sandal jepit dan tawa lepas, berlari menuju sawah atau sungai. Ibu-ibu sibuk menyapu halaman, dan suara alu menumbuk padi terdengar bertalu-talu dari kejauhan. Hari baru dimulai, dan desa itu hidup dalam kedamaian yang tak terganggu zaman.
Ahmad adalah seorang pedagang tembakau di desa itu. Hidupnya memang sederhana, damai, tetapi cukup untuk ukuran pedesaan. Ia berjualan tembakau di pasar sejak subuh, pulang menjelang sore, lalu bercengkrama dengan istrinya, Zubaidah..
Namun, segalanya berubah ketika tiba-tiba perut Ahmad membuncit tidak wajar, keras seperti batu, dan ia terus mengerang kesakitan siang malam.
Zubaidah pun panik. Ia membawa Ahmad ke dokter di kota, bahkan hingga ke rumah sakit kabupaten. Namun, para dokter itu hanya menggeleng.
“Nggak ada yang aneh di hasil laboratorium,” kata mereka.
Bahkan Dokter Bima hanya menghela napas panjang sambil menatap layar hasil USG.
“Bu, saya telah memeriksa semua hasil laboratorium dan pemindaian. Hasil darah normal, organ dalam pun ternyata tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan. USG pun tidak menunjukkan adanya cairan berlebih atau massa mencurigakan.”
Zubaidah menatap sang dokter dengan wajah cemas.
“Tapi, Dok. Perut suami saya makin besar. Lihat sendiri, keras sekali. Dan dia terus mengaduh kesakitan, tidak bisa tidur, tidak bisa makan. Bahkan minum pun sering tak mau.”
“Iya, saya melihatnya sendiri. Secara medis ini aneh, Bu. Kalau ini infeksi atau tumor, pasti sudah muncul di hasil pemeriksaan. Tapi ini kosong. Seperti tidak ada sebab. Ini di luar pengetahuan kami.”
“Jadi… maksud Dokter, suami saya tidak sakit?”.
“Secara medis, tidak ada yang bisa saya temukan, Bu. Tapi jelas secara fisik dan perilaku, beliau menderita sesuatu yang serius. Saya tidak bilang beliau sehat—saya bilang, kami tidak tahu penyebabnya. Ini membuat saya… jujur saja, heran.”
Zubaidah terdiam sejenak, lalu suara mulai lirih.
“Dok, kalau bukan sakit biasa, lalu apa?”
Dokter Bima pun diam, menunduk sesaat, lalu menggeleng pelan
“Saya dokter, Bu. Tugas saya mencari sebab secara ilmiah. Tapi, kalau ibu ingin mencoba alternatif lain, mungkin berobat ke orang yang lebih mengerti hal-hal di luar medis saya tidak bisa melarang. Semoga Allah memberikan jalan keluar.”
Zubaidah menatap suaminya yang terbaring dan mengerang pelan
“Saya akan lakukan apa saja, Dok. Asal suami saya bisa sembuh.”
“Saya doakan semoga beliau segera pulih, Bu. Kadang, penyembuhan tidak selalu datang dari tempat yang biasa kita cari.”
Sepulangnya dari rumah sakit, kondisi kesehatan Ahmad makin menurun. Perut Ahmad semakin besar dan sakitnya semakin parah. Ia sulit makan, tidur pun tak tenang. Tubuhnya mengurus, namun perutnya justru memberat.
Atas saran tetangga, Zubaidah membawa Ahmad ke beberapa paranormal. Ada yang memberi rajah, ada yang membakar kemenyan, ada pula yang menyuruh mandi bunga di tujuh sumur. Tetapi semua itu ternyata sia-sia.
Suatu pagi, ketika Zubaidah sedang membeli sayur di pasar, seorang ibu tua berkata pelan, “Coba bawa ke Gus Taslim, kiai dari Rembang. Banyak yang sakit aneh, sembuh setelah beliau doakan.”
Harapan yang nyaris padam kembali menyala. Hari itu juga, Zubaidah membawa Ahmad ke Rembang. Perjalanan mereka tempuh dengan susah payah. Sampai di pesantren kecil milik Gus Taslim, mereka disambut hangat. Setelah memeriksa Ahmad sejenak, Gus Taslim menghela napas dalam.
“Ini bukan sakit biasa, Bu. Ini terkena santet,” ujar Gus Taslim dengan nada tenang.
“Mungkin karena urusan dagang. Tembakaunya laris, ya?”
Zubaidah terkejut, tetapi diam-diam mengangguk. Memang Ahmad belakangan makin banyak pelanggan. Beberapa pedagang lain sempat menunjukkan wajah tak senang.
Yang lebih mengejutkan, saat Gus Taslim membaca doa-doa sambil menempelkan tangan di perut Ahmad, tiba-tiba Ahmad muntah hebat. Zubaidah menjerit ketika melihat isi muntahan suaminya: sebatang paku berkarat, sepotong kawat bengkok, dan… sepasang gunting kecil berkarat.
Air mata Zubaidah menetes.
“Ya Allah…”
Gus Taslim menatapnya lembut.
“Bu, tidak usah mencari siapa pelakunya. Itu bukan urusan kita. Setelah ini, banyak-banyaklah beribadah dan berbuat baik. Allah yang akan menjaga kita.”
Beberapa minggu setelah peristiwa itu, Ahmad sembuh total. Perutnya kembali seperti semula. Ia bahkan bisa tertawa lagi, berjalan ke pasar, dan melayani pembeli seperti dulu. Tetapi ada yang berubah—senyumnya lebih teduh, ucapannya lebih lembut. Ia tak lagi bicara soal saingan atau keuntungan besar.
Suatu sore hari di teras rumah, Ahmad dan Zubaidah duduk berdampingan. Angin semilir, aroma tembakau dari gudang samar tercium. Burung-burung pulang ke sarang, mengepak-kepakkan sayapnya yang letih.
Ahmad menyesap teh hangat pelan-pelan.
“Alhamdulillah… akhirnya aku bisa duduk di sini lagi, temani kamu lihat langit sore. Rasanya kayak mimpi. Waktu itu, aku pikir umurku nggak lama lagi.”
Zubaidah menatap suaminya penuh haru. Matanya berkaca-kaca.
“Aku juga, Mas. Tiap malam aku cuma bisa nangis dan berdoa. Rasanya seperti jalan buntu. Dokter angkat tangan, orang pintar tak mempan. Tapi Allah masih memberi kita jalan lewat Gus Taslim.”
“Aku nggak habis pikir. Bagaimana bisa di perutku ada paku, kawat, sampai gunting. Aku merasa sakit sekali. Tapi kalau orang nggak lihat sendiri, mungkin kita dikira mengada-ada ya”.
“Itu yang bikin aku makin sadar, Mas. Ternyata ada hal-hal yang nggak bisa dijelaskan akal. Dunia ini bukan cuma tentang apa yang bisa kita lihat. Ada yang gaib. Suatu hal yang nyata tapi tersembunyi.”
Ahmad mengangguk pelan.
“Dan kita harus hati-hati. Mungkin selama ini aku terlalu sibuk mikirin dagang, mengincar untung, sampai lupa. Ternyata nggak semua orang senang lihat kita maju. Ada yang iri, lalu ambil jalan gelap.”
“Sudahlah, Mas. Jangan kepikiran siapa pelakunya. Kata Gus Taslim, nggak usah cari-cari. Biar Allah yang membalas. Kita cukup perbaiki niat, banyak-banyak ibadah, membantu orang semampunya.”
“Iya, aku ingat betul nasihat beliau bahwa kebaikan adalah benteng. Setelah ini, aku mau ubah cara pandang. Dagang tetap, tapi bukan buat kaya sendiri. Biar jadi jalan ibadah juga.”
Zubaidah memegang tangan suaminya.
“Itu yang paling penting, Mas. Kita nggak bisa cegah orang berbuat jahat. Tapi kita bisa perkuat diri dengan doa dan amal.”
Ahmad menatap jauh ke langit yang mulai jingga. Ada seekor kelelawar mencicit, terbang lebih awal dari kawan-kawannya.
“Iya, Bu. Mulai sekarang, kita hidup dengan lebih sadar. Dunia ini bukan sekadar urusan untung rugi. Tapi juga tentang menjaga hati, menjaga diri dan mendekat pada Ilahi.”
Dari peristiwa itu, Ahmad belajar satu hal: dalam hidup, niat baik dan ibadah yang tulus adalah benteng paling kokoh dari segala kejahatan yang tak terlihat.
Semarang, 22 Desember 2024.
Santet

Leave a comment
Leave a comment