Oleh Gunoto Saparie
Pesantren tradisional merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang telah memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan keilmuan umat Islam di Nusantara. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi pendidikan, sistem pengajaran pesantren tetap eksis dengan metode khasnya, yaitu bandongan dan sorogan. Pertanyaannya, apakah kedua metode ini masih relevan dan patut dipertahankan dalam konteks pendidikan kontemporer?
Bandongan adalah metode pengajaran di mana seorang kiai atau guru membacakan kitab kuning (kitab klasik berbahasa Arab tanpa harakat atau kitab gundul) di depan santri, sementara santri menyimak, mencatat, dan memberi makna (harakat, arti kata) pada teks. Metode ini menekankan pada pemahaman makna teks, adab dalam menuntut ilmu, serta transmisi keilmuan secara langsung dari guru ke murid.
Sedangkan sorogan adalah metode belajar individual, di mana santri membaca kitab di hadapan kiai untuk diperiksa dan dikoreksi. Metode ini mendorong santri untuk belajar secara mandiri, memperkuat pemahaman, dan membangun kedekatan personal antara guru dan murid.
- Iklan -
Metode bandongan dan sorogan tidak sekadar cara belajar, tetapi juga sarana mentransmisikan adab, tradisi keilmuan, dan spiritualitas Islam. Santri tidak hanya belajar teks, tetapi juga menyerap sikap, ketekunan, dan akhlak dari guru. Kedekatan emosional dan spiritual antara guru dan murid merupakan ciri khas yang membedakan pesantren dari lembaga pendidikan formal lainnya.
Metode ini juga membentuk daya tahan intelektual, karena belajar kitab kuning menuntut ketelitian tinggi, penguasaan gramatika Arab, dan kesabaran yang luar biasa. Dengan cara ini, pesantren mencetak ulama yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual.
Meskipun memiliki banyak kelebihan, namun sistem pengajaran tradisional tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak menganggap metode ini ketinggalan zaman, terlalu lambat, dan kurang adaptif terhadap perkembangan zaman, terutama dalam hal penggunaan teknologi dan pendekatan pedagogis modern.
Tantangan lain adalah kurangnya integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, yang mengakibatkan lulusan pesantren kadang kesulitan beradaptasi dengan dunia luar. Selain itu, pendekatan satu arah dalam bandongan kadang membuat santri pasif, sementara tidak semua santri mampu mengoptimalkan proses sorogan karena keterbatasan waktu dan jumlah guru.
Perlukah metode pengajaran bandongan dan sorogan itu dipertahankan? Jawabannya adalah: ya, tetapi dengan penyesuaian. Metode bandongan dan sorogan memiliki nilai pedagogis yang dalam, yang tidak mudah digantikan oleh pendekatan modern. Namun, hal itu tidak berarti metode ini tidak bisa diadaptasi. Beberapa pesantren kini mulai mengintegrasikan teknologi, seperti menggunakan rekaman audio/video pengajian, atau aplikasi digital untuk makna kitab kuning. Bahkan, diskusi dan forum tanya jawab mulai digalakkan untuk melatih kemampuan berpikir kritis santri.
Inovasi dalam sistem pengajaran pesantren tidak berarti meninggalkan tradisi, tetapi menjadikannya lebih relevan dan efektif. Nilai-nilai utama seperti adab, sanad keilmuan, dan spiritualitas harus tetap dijaga, sementara metode bisa dikembangkan sesuai konteks zaman.
Metode bandongan dan sorogan adalah warisan pendidikan Islam yang berharga. Keduanya tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga membangun karakter dan spiritualitas. Dalam era modern ini, mempertahankan metode tersebut bukan berarti menolak perubahan, melainkan memperkuat akar tradisi sambil membuka diri terhadap inovasi. Oleh karena itu, metode pengajaran di pesantren tradisional patut dipertahankan, selama ia terus bertransformasi secara bijak dan kontekstual.
*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah