Oleh Dian Marta Wijayanti
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Pak Abdul Mu’ti di akhir 2024 menyebut terdapat 25 program prioritas yang siap dijalankan di 2025 ini. Pak Mu’ti menyebut berbagai program ini sudah mendapat anggarannya masing-masing. Sebab, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada 2025 mendapat alokasi anggaran Rp 33,5 triliun atau 4,63 persen dari seluruh Anggaran Pendidikan APBN 2025 sebesar Rp 724,2 triliun (Detik.com, 31/12/2024). Sebenarnya, sebagai kepala sekolah saya berharap program ini dikeluarkan dan dikawal sejak dulu. Namun, apakah program ini sudah sesuai kenyataan?
Salah satu program unggulan yang menjadi perhatian utama adalah Wajib Belajar 13 Tahun. Program ini dirancang untuk menjamin akses pendidikan yang lebih luas bagi seluruh anak Indonesia, dari jenjang PAUD hingga tamat SMA atau sederajat. Dengan kebijakan ini, diharapkan angka partisipasi sekolah meningkat secara signifikan, terutama di daerah-daerah yang selama ini memiliki keterbatasan akses pendidikan.
Wajib Belajar 13 Tahun sebenarnya telah berkembang sejak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebelum dipecah menjadi tiga kementerian. Program ini digalakkan untuk mewujudkan visi pendidikan bermutu untuk semua. Wajib Belajar 13 Tahun menjadi salah satu program prioritas yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Wajib Belajar 13 Tahun merupakan langkah besar untuk memastikan generasi mendatang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menghadapi tantangan global. 1 Dengan pendidikan yang berkualitas, diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
- Iklan -
Wajar 13 Tahun: Pemerataan Pendidikan?
Pemerataan pendidikan adalah upaya untuk memastikan bahwa semua individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis mereka, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas. Pemerataan pendidikan adalah tujuan yang penting untuk dicapai. Dengan memastikan bahwa semua individu memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Salah satu program unggulan yang menjadi perhatian utama adalah Wajib Belajar 13 Tahun. Program ini dirancang untuk menjamin akses pendidikan yang lebih luas bagi seluruh anak Indonesia, dari jenjang PAUD hingga tamat SMA atau sederajat. Dengan kebijakan ini, diharapkan angka partisipasi sekolah meningkat secara signifikan, terutama di daerah-daerah yang selama ini memiliki keterbatasan akses pendidikan.
Strategi pemerataan pendidikan dalam program Wajib Belajar 13 Tahun dalam program Kemendikdasmen seharusnya mencakup beberapa aspek penting. Pertama, penguatan infrastruktur sekolah. Pemerintah perlu membangun dan merehabilitasi sekolah-sekolah di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T). Selain itu, peningkatan fasilitas berbasis digital juga menjadi prioritas guna mendukung pembelajaran daring dan hibrida. Kedua, peningkatan kualitas guru dan tenaga pendidik. Kemendikdasmen seharusnya memberikan pelatihan intensif bagi guru, baik dalam metode pembelajaran maupun pemanfaatan teknologi pendidikan. Program sertifikasi dan kesejahteraan guru juga akan terus ditingkatkan.
Ketiga, pemberian beasiswa dan bantuan pendidikan. Pemerintah perlu memperluas cakupan Kartu Indonesia Pintar (KIP) serta memperbanyak beasiswa bagi siswa berprestasi maupun yang berasal dari keluarga kurang mampu. Keempat, reformasi kurikulum berbasis keterampilan. Kurikulum harus ideal dan perlu terus disesuaikan dengan kebutuhan industri dan perkembangan zaman agar lulusan pendidikan menengah memiliki keterampilan yang relevan dengan dunia kerja. Kelima, kolaborasi dengan pemerintah daerah dan swasta. Pemerintah pusat harus memperkuat kerja sama dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Selain itu, keterlibatan sektor swasta dalam bentuk CSR pendidikan diharapkan dapat mempercepat pemerataan fasilitas pendidikan.
Percepatan Pemerataan
Tidak bisa dimungkiri, bahwa ketimpangan pendidikan di Indonesia ini adalah tidak adanya pemerataan pendidikan. Padahal, Indonesia sebagai negara demokrasi sangat memprioritaskan program dan tujuan mulia bangsa untuk mencerdaskan setiap insan namun masih memiliki pekerjaan rumah begitu besar. Hal tersebut juga bisa diklasifikasikan berdasarkan alasan. Secara umum, mereka memiliki indikator penyebab putusnya sekolah, yaitu karena faktor ekonomi, pemerataan biaya pendidikan, dan lingkungan yang belum merata (Shodiq, dkk., 2024).
Problem pemerataan harus diselesaikan. Siapapun menterinya. Siapapun presidennya. Dari kajian riset Ainscow (2016), Syafii (2018), Garcia (2021), Andhika dan Iswahyudi (2021), dan Anggraini (2025), penulis menyimpulkan sejumlah solusi sebagai strategi pemerataan pendidikan. Pertama, peningkakan aksesibilitas pendidikan. Pemerintah seharusnya mempercepat agenda membangun infrastruktur pendidikan yang memadai, membangun sekolah-sekolah baru dan memperbaiki fasilitas yang sudah ada, terutama di daerah-daerah terpencil dan kurang mampu, dan menyediakan transportasi yang terjangkau, memastikan bahwa siswa dari daerah terpencil dapat mencapai sekolah dengan mudah. Tak kalah penting, memberikan bantuan keuangan, memberikan beasiswa dan bantuan keuangan lainnya kepada siswa dari keluarga kurang mampu.
Kedua, peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini bisa dilakukan melalui peningkatan kualitas guru, melatih guru secara profesional dan memberikan mereka dukungan yang dibutuhkan, mengembangkan kurikulum yang relevan, memastikan bahwa kurikulum yang diajarkan relevan dengan kebutuhan siswa dan dunia kerja. Selain itu perlu juga menyediakan sumber daya pendidikan yang memadai, menyediakan buku pelajaran, alat peraga, dan sumber daya pendidikan lainnya yang berkualitas.
Ketiga, mengatasi hambatan sosial dan ekonomi melalui mengurangi kemiskinan. Sebab, kemiskinan adalah salah satu hambatan terbesar bagi pemerataan pendidikan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk mengurangi kemiskinan, seperti menciptakan lapangan kerja dan memberikan bantuan sosial. Selain itu, diskriminasi harus dihilangkan. Pasalnya, diskriminasi berdasarkan ras, etnis, agama, atau jenis kelamin juga dapat menghambat akses terhadap pendidikan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi diskriminasi dan memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Keempat, peningkatan kesadaran masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat perlu menyadari pentingnya pendidikan bagi semua anak, tanpa memandang latar belakang mereka. Pemerintah dapat bekerja sama dengan media massa dan organisasi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemerataan pendidikan.
Kelima, pelibatan masyarakat termasuk pelibatan orang tua karena mereka memiliki peran penting dalam pendidikan anak-anak mereka. Sekolah dapat bekerja sama dengan orang tua untuk memastikan bahwa anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang terbaik. Masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam upaya pemerataan pendidikan dengan menjadi sukarelawan di sekolah, memberikan dukungan keuangan, atau memberikan mentoring kepada siswa.
Meskipun program Wajib Belajar 13 Tahun menjanjikan perubahan besar dalam sistem pendidikan Indonesia, pelaksanaannya tentu tidak lepas dari tantangan. Masalah kesenjangan infrastruktur, kesiapan tenaga pendidik, serta koordinasi antar-lembaga menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Namun, dengan strategi yang tepat dan sinergi dari berbagai pihak, Wajib Belajar 13 Tahun diharapkan mampu menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan merata di seluruh penjuru negeri. Dengan begitu, visi Indonesia Emas 2045 yang berfokus pada sumber daya manusia unggul dapat lebih cepat terwujud.
– Penulis adalah Kepala SDN Gajahmungkur 03 Kota Semarang, Juara 3 Fasilitator Terbaik Tanoto Foundation Jenjang SD/MI (2022), Juara I Kepala Sekolah Berprestasi Kota Semarang (2023), Penulis dan Sastrawan Terpilih Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah (2023), Juara II Kepala Sekolah Inovatif dan Berdedikasi PGRI Kota Semarang 2024, dan Mahasiswa Program Doktor Manajemen Kependidikan UNNES.