Oleh: Sri Rohati
Aku hanya duduk termenung di loby dengan pakaian towaf lengkap . Baju panjang warna putih, lengan tangan berbalut sarung tangan dan selempang tas berisi air minum dan plastik tempat sandal saat berada di dalam Masjidil Haram nanti. Aku menyesal tadi terlalu lama di musola bawah sehingga tak mendengar ada pengajuan jadwal ke Masjidil Haram sehingga semua teman teman sudah berangkat semua.
Aku kembali terdiam. Kupandangi pintu hotel tertutup rapat. Dari dalam aku bisa melihat halaman begitu lengang, tak ada jamaah yang bersiap siap mencegat bus solawat yang selalu melintas di depan hotel. Terlintas di pikiranku tentang aturan umrah. Bahwa ibadah umrah adalah ibadah yang istimewa, pasalnya seorang yang sudah berniat tak boleh berhenti di tengah jalan dengan alasan yang sepele. Masa aku akan berhenti umrah sunnah hanya karena tidak ada teman, tidak lucu. Tapi nyatakanya itu yang sedang aku pikirkan saat ini. Aku merasa ada malaikat yang diam diam menertawaiku. Sudah ambil miqot tadi siang, ini tinggal towaf saja masa menyerah.
Akhirnya dari pintu lift aku melihat temanku serombongan muncul, mereka berdua. Pada mulanya mereka akan berangkat tengah malam tapi entah mengapa mengubah jadwal. Syukurlah, aku masih ada teman walau jelas hanya sampai di terminal atau pintu masjid. Temanku ini berniat akan menginap sampai subuh di Masjidil Haram. Dan lagi suaminya yang tidak memakai baju ihram tidak bisa masuk ke lantai bawah atau di depan kabah, maka temanku sebagai istri yang setia ikut menemani tawaf di lantai atas yang jaraknya cukup jauh. Jauh itulah yang kuhindari, pasti melelahkanku, maka aku berniat untuk towaf di lantai depan Kabah. Seperti anak ayam yang dimarahi induknya aku berjalan di bekang beliau berdua. Ya Allah, apa Engkau benar benar sedang marah padaku, tanyaku dalam hati.
- Iklan -
Di halaman hotel aku bertemu dengan Pak Agus dan kelompoknya. Mereka akan melakukan tawaf juga. Sekitar tujuh orang berada di sekeliling Pak Agus, kebanyakan lansia. Aku pun minta agar aku bisa bersama mereka. Kini aku berpisah dengan dua temanku berganti ikut rombongan Pak Agus. Sampai terminal kami turun. Seorang ibu yang paling muda dari mereka kuikuti lalu kutegaskan keinginanku untuk towaf bareng karena aku sedikit curiga, masa malam malam begini para lansia mau towaf. Benar kecurigaanku, ibu itu menjawab
“ Kami ini mau towaf naik sekuter, Bu , sebab kami semua banyak yang lansia.”
Oh, masya Allah, aku sendiri lagi. Tak mungkin aku naik sekuter bersama mereka. Rupanya Allah sudah membaca niatku dari tadi siang. Niat yang seperti layangan putus, tak tentu arah, mau umrah sunah atau tidak tak begitu mantap karena badan sedikit capek. Tapi fasilitas KBIH yang menyediakan trasportasi untuk mengambil miqot makani membuatku tergoda untuk ikut. Sayang jika dilewatkan, apalagi ada kalimat city tour di dalamnya. Sebenarnya kalimat itulah yang lebih menggodaku kalau aku mau jujur.
Di terminal itulah aku memulai langkah seorang diri, menuju Masjidil Haram berdesak desakan dengan ratusan orang yang tak kukenal. Aku berjalan menyusuri luar terminal menuju masjid. Di tengah jalan aku menemukan seragam orang Indonesia, suami istri pula. Lalu aku meminta ikut bersama mereka. Tak kusangka mereka bertiga, di samping mereka ada seorang bapak yang tinggi besar tampak mengawal.
Dan benar saja, setelah beberapa langkah kami berjalan sambil mengobrol bapak pengawal itu ternyata ketua rombongan ( karom). Ceritanya pasutri itu sakit saat teman teman lain towaf , jadi mereka ketinggalan dan baru sekarang berkesempatan towaf. Dikawal oleh bapak ketua rombongan untuk menjaga mereka.
Towafpun kami mulai, satu putaran, dua putaran kami masih berempat. Namun di putaran ketiga pasangan suami istri itu lenyap ditelan arus para jamaah . Mulanya ia berjalan cepat sambil mendekat ke dinding kabah, menyeret istrinya yang tampak kurang bisa mengikuti. Bapak itu menerjang barisan di lapisan dalam, menelusup dan mendekat ke kabah. Aku sempat mengikuti kira kira setengah putaran, tapi setelah itu aku menyerah. Aku akan berjalan sesuai dengan kemampuan saja. Semoga towafku kali bisa khusyu karena tak terlalu mengejar waktu. Aku sudah pasrah mau pulang jam berapapun akan aku jalani .
Merasa kehilangan jejak orang yang dikawal bapak karom itu malah mengawalku. Lantas beliau ikut minggir ke lapisan luar. Aku menikmati towaf dengan berjalan lebih pelan sambil terus memanjatkan doa doa pada setiap putaran. Syukurlah towaf selesai dengan damai, aku solat di belakang hijir Ismail dan bapak karom itu menjagaku dari desakan jamaah towaf.
Kuucapkan terimakasih lalu kupersilakan untuk menunggu pasutri yang dikawalnya. Beberapa saat belum juga muncul kami menuju tempat sai, mungkin mereka ia akan muncul di sana. Sebab dari telepon mereka bilang sedang menunggu di dekat tempat sai. Kamipun menuju ke sana. Sampai tujuh putaran sai kami tak menemukan mereka.
Aku mempersilakan bapak Karom itu untuk menunggu atau mencari mereka lagi tetapi telponnya tidak bisa dihubungi. Kami berjalan keluar dari masjid dan bertemu dengan teman teman sehotel. Akupun mengucapkan terimakasih pada bapak Karom itu dan bergabung dengan teman yang sebentar lagi akan menuju terminal dan pulang.
Ya Allah, terimakasih Engkau telah mengirimkan malaikat penjaga dalam bentuk manusia padaku. Mohon ampun tak menjaga niat dari awal, aku tergoda untuk city tour dan mengabaikan umrah sunnah.
Sri Rohati, guru di MTs Ma’arif NU Kemalang Klaten.