SOLITUDE
Kesedihan ini seperti kabut menggumpal
yang perlahan memecahkan gerimis dari mataku
- Iklan -
hingga warna hari meleleh dan segala tampak menjadi sepia
ketika kesunyian tak kunjung lerai dalam ritmis bahasa melankolia.
Setelah ini, apalagi apologi hati yang lebih gemetar
selain rindu yang kerap mengendap dalam diri?
Sejumlah bayang-bayang mengetam
di antara gelap dan terang,
menikam harap yang telah hirap
hingga kau abadi dalam raib wujud,
mengekalkan kesedihan dan kesunyianku,
yang entah sampai kapan, akhirnya?
Yogyakarta, 2024
RITUS WAKTU
Engkaukah itu yang berada di luar waktu?
sungguh mataku tak sampai menatapi
segala siasat yang engkau kehendaki.
Yogyakarta, 2024
PERSEMBAHAN
i/
Kebebasan telah mengutuk kita
agar terbuka sejak jatuh cinta.
karena kebahagiaan yang kita harap
tidak hanya berasal dari satu kitab.
Maka aku mencarinya dalam dirimu,
dan kau boleh mencarinya dalam diriku.
hingga akhirnya kita sama-sama mengerti
bahwa inti dari kesetaraan adalah saling mencintai.
ii/
Sedang cinta menjadi dasar segala rindu,
dengan kebenaran yang tak akan cukup
kita buktikan lewat pelukan dan kecupan.
iii/
Kemudian, tuntutlah aku,
jika kesunyianmu
melebihi kesedihanku.
iv/
Kekerasan yang berdesakan,
mustahil kita abaikan.
keamanan yang berkelanjutan,
selalu kita upayakan.
Maka katakan padaku,
apalagi yang membuatmu terbelenggu.
semata; agar kebahagiaan kita bisa sama rasa.
Yogyakarta, 2024
WARNA KANVAS KÄTHE KOLLWITZ
Kesedihan yang mengetam,
tidak selamanya berwarna hitam.
juga tidak hanya berwarna merah gincu,
karena merah darah terkadang lebih memicu.
Hidup adalah perjalanan
yang kerap menyimpan tragedi.
hingga pada setiap lukisanmu
kujumpai warna muram melankoli.
Rupanya, segalanya bermula dari airmata
ketika kanvasmu berwarna merah duka penindasan,
akhirnya, orang-orang mulai mencatat namamu
sebagai seniman yang beriman pada nilai kemanusiaan.
Yogyakarta, 2024
KETIKA IBRAHIM MENCARI TUHANNYA
Ibrahim melihat matahari,
ia kira, itulah tuhannya,
kemudian tenggelam.
Ibrahim melihat bulan,
ia kira, itulah tuhannya,
kemudian tenggelam.
Ibrahim pun berpikir;
tuhannya tak mungkin terbit
dan tenggelam di atas berhala.
Yogyakarta, 2023
Agus Widiey, Lahir di Sumenep 17 Mei. Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menulis puisi dengan dwibahasa, Indonesia-Madura. Tulisannya tersebar diberbagai media, baik lokal maupun nasional. Pernah menjuarai lomba cipta puisi yang diselenggarakan Majelis Sastra Bandung (2021) Saat ini bermukim di Yogyakarta. Bergiat di Komunitas Damar Korong.