MEMINJAM WARNA LANGIT SENJA
: Ds. Pelem
1/
- Iklan -
mangga, o, mangga!
meminjam warna langit senja, rona kulitmu
mengingatkan kami tentang waktu yang menjadi
gradasi kehidupan antara siang dan malam,
“bahwa segalanya tercapai musti melalui rintang”
kupandangi warna kulitmu, yang seolah
menawarkan layar, kemudian menampilkan:
sungai-sungai yang mulai manampung warna
lembayung senja, induk-induk burung bergegas
pulang menuju sarangnya, juga para petani
yang beranjak meninggalkan ladangnya; seraya
memasrahkan pada Yang Kuasa—dan semua
perihal yang terjadi, manakala awan-awan
yang digembalakan angin mengiringi mentari
yang hendak bersemayam di balik bumi
2/
mangga, o, mangga!
meminjam warna langit senja, rona kulitmu
mengingatkan kami tentang suatu desa, yang
telah mengenakan namamu sebagai namanya
namun, sebagai mangga, entah mengapa
aku lebih suka mengumpamakanmu
sebagaimana senja, sehingga kemudian
kupandangi warna kulitmu sekali lagi, dan
seketika aku pun menduga, mangga-mangga
yang didasar di lapak-lapak buah itu, barangkali
adalah sekumpulan senja:
senja yang berkulit oranye,
senja yang berdaging manis lagi harum,
senja yang dapat dikupas dan dipotong-potong,
senja yang dapat dimakan dan tenggelam di tubuh wargamu,
senja yang dapat diunduh dan tumbuh di seluruh penjuru desamu
(Pare, 2024)
HIKAYAT SERIBU PISANG
: Ds. Gedangsewu
1/
tanahku tanah subur,
tanah yang telah ditanami restu oleh leluhur,
tanah yang dengannya Tuhan mengijabahi benih
jadi tumbuhan,
jadi sesuatu yang dapat dimakan
guna menyumpal lenguh lapar yang meraung di
relung madharan
2/
maka
datanglah suatu masa,
dahulu,
di tanah ini,
di mana tumbuh pohon pisang itu—pohon yang
dalam setandannya berbuah sejumlah seribu,
dan kemudian jadilah nama teruntuk suatu desa:
Gedangsewu
“o, apakah seribu pisang itu adalah keajaiban?
ataukah seribu pisang itu cumalah bayangan?”
“tidak.
di dunia ini
segalanya belaka sungguhan
apabila Tuhan telah berkehendak menciptakan!”
3/
tanahku tanah subur,
tanah yang telah ditanami restu oleh leluhur,
tanah yang dengannya Tuhan mengijabahi doa
jadi nyata,
jadi cerita,
jadi sesuatu yang dapat
dituturkan hingga tiba penghujung masa
(Pare, 2024)
DI PEREMPATAN DESA
: Ds. Sidorejo
tiba-tiba
sebuah perempatan besar
menghadangku, lalu memberiku pilihan
ke mana aku akan menuju,
tapi aku memilih
untuk menepi ke pinggir,
demi menatap sebuah
Monumen Kincir Angin
—baling-balingnya diam:
adakah ia sedang menyambut hembusan
angin negeri seberang?
“entahlah!”
tapi kemudian di tengah perempatan
dua anak gadis kecil pulang sekolah melintas—
satu anak menaiki sepeda
satu anak lagi berusaha menyeberangkannya,
dan aku memotretnya
seketika
aku terkenang pada
dua gereja yang berdiri di desa ini:
dua bahtera yang akan membawa
para jemaat menyelamatkan diri dari
ancaman gelombang bandang dunia,
dan aku memotretnya
(Pare, 2024)
TUGU GARUDA
bertugur di ujung barat jalan utama PK Bangsa
konon, burung besar itu adalah keturunan dari
Burung Garuda milik Majapahit di Majakerta
memang kota ini bukanlah bernama Majapahit
setidaknya, dahulu merupakan bagian darinya
terkadang warga menyebut kota ini Majakuta
setelah bule Amerika kemari menghibahi nama
terkadang orang suka usil, dengan mengatakan
menunggu burung itu bertelur, meski burung
itu sekadar sebagai patung tugu yang bertugur
namun burung itu selalu menunjuk-nunjukkan
kalimat yang tertulis pada pita dari coran yang
senantiasa ia cengkeram: pita yang bertuliskan
tentang keberagaman memiliki satu tujuan
konon, bila burung itu bisa berbicara, kalimat
itulah yang akan ia ucapkan pertama kalinya
& juga seterusnya, selamanya
(Pare, 2023)
TUGU MASTRIP
dua Tentara-RI-Pelajar bertugur di jantung kota
—sepasang prajurit bersenjata yang datang dari
zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia
pada zaman pembangunan dulu: sepasang
prajurit itu datang ke kota ini, lalu berdiri
sebagai patung tugu yang perkasa; berdiri
sembari menatap arah persemayaman
senja; searah dengan jalan persemayaman
Panglima Besar Soedirman petingginya
sebagaimana sepasang prajurit itu meyakini,
semua warga kami juga telah sepakat meyakini,
bahwa Panglima Besar Soedirman bersemayam
di kota kecil ini, o, di kota kecil ini—
meski sekadar sebagai nama jalan utama
yang setiap hari kami lalui:
jalan perjuangan &
jalan kehidupan kami!
(Pare, 2023)
Dzikron Rachmadi, lahir & tinggal di Pare, Kabupaten Kediri. Beberapa puisinya telah dimuat di media online & buku antologi lomba cipta puisi. ID Instagram @_dzikroch.