Oleh : Suyat Aslah
Terkadang aku merasa terpukau dengan hal-hal yang sebenarnya sangat biasa. Seperti aroma yang selalu saja bisa membuka pikiranku. Menyampaikan apa yang pernah didengar telinga ataupun wujud yang pernah ditangkap mataku. Aroma yang terlalu cepat jika itu kusebut purba. Namun kubiarkan dia tetap dalam keberadaannya, dalam pucuk penciuman yang masih terindra oleh ingatan. Tapi tak apa, hanya saja waktu bisa saja melahirkan banyak kenangan yang menyiksa. Dalam pelupuk mata seolah tempat kekosongan yang hanya ada jejak tersisa, dan yakinku jejakmu takkan membuatku tersesat untuk kembali menemukanmu. Sesuatu yang dari awal kepadamu, akan berakhir kembali padamu.
“Hidup tak seindah yang di kepalamu!”
Umpatan itu menggema dalam kepalaku. Akhir-akhir ini suara-suara memang selalu bertengkar dalam kepala, meski selalu samar tentang cerita sisi gelapku. Seperti jika aku bilang padamu, “Akan aku tanggung segala resiko untuk mendapatkanmu.” Namun aku seperti tak yakin dengan kataku sendiri.
- Iklan -
Jika kau berada di puncak bayang-bayang sekalipun, tak butuh waktu lama aku menemuimu di puncak. Meski tak tahu bagaimana mendefinisikan dirimu untuk saat ini. Tapi karena waktu telah menghentikan evolusimu, hanya sosok terakhir yang bisa kutangkap menurut ingatan.
Tanah berselimut rerumputan luas jadi tempat yang disediakan Tuhan untuk pertemuan menggetarkan. Embusan angin menyapu rambutmu, sinar matahari pagi menimpa wajahmu, namun kau tampak lemah di bawah langitmu. Sorot matamu seperti sedang memikirkan sesuatu.
Sementara aku masih terlalu jauh memahamimu. Pertemanan selalu menyuguhkan hal rumit. Bahkan terlalu bengis bagi orang yang tak pandai bicara sepertiku. Terlalu banyak pergulatan batin dan terbuangnya waktu untuk sebuah keasyikan tersendiri seorang yang gila misteri.
“Bagaimana mungkin kau menemuiku dalam keadaan gila,” katamu.
“Aku telah mengukuhkan diriku seperti orang gila dan kau patut digilai,” jawabku padamu, namun lagi-lagi aku berkata dengan keyakinan samar. Seperti kalimat yang tersusun sebelum hatiku bersuasana cerita. Aku tipe orang yang tak pandai berucap tiba-tiba.
Betapa semua tentangmu menjadi sangat berkesan di kedalaman hati. Semacam aroma wangi berasal dari sumber yang terbawa angin. Aku belum mampu memahamimu sebagai sumber. Namun aku tahu betul bagaimana tangan-tangan lelaki berusaha meraihmu. Banyak mata yang menaruh hati padamu.
“Itu kelemahanmu, kau tak bisa melakukan sesuatu seorang diri. Kau tanpaku semacam katak dalam tempurung yang bermimpi menguasai dunia,” katamu lagi.
Aku tahu betul kau mengatakan hal yang benar. Meski begitu, belum sampai menggores luka padaku. Hanya saja aku memikirkan hal yang lain. Mencoba menafsirkan tatapanmu yang berpijar tak biasa. Sorot mata yang menahan air mata. Wajahmu milik kesedihan yang tertahan, dan berharap sebuah dukungan. Sementara aku masih hanya menjawabi sebisaku.
“Kau berada terlalu jauh,” jawabku.
“Bukan, kau yang menjauh dengan cara diammu yang membingungkan.” Kali ini tatapanmu sedikit menusukku.
“Tapi aku merawat benih itu sampai berakar kuat dalam jiwaku.” Mungkin kalimatku terlalu berlebihan untuk seorang pecundang sepertiku.
“Namun kau tak mau menunjukan buah yang manis padaku. Apalagi akar yang kau bilang, sementara waktu kian menghilang, kesempatan takkan terulang dan kau membiarkan dirimu terjebak bayang-bayang. Kau memang pecundang!” Aku tahu marahmu bukan buatan.
“Apa sudah ada yang menunjukan buah yang manis padamu?” tanyaku.
Kau tak menjawab, malah menunjukan buku-buku yang berjejer. Namun aku tak yakin kau jadi penggemarku. Malah seperti ingin membuka diriku lebih jauh untuk mencari kelemahanku.
“Kau laki-laki yang hanya berani menyampaikan perasaanmu pada kesunyian malam.” Detonasi suaramu sedikit menurun.
“Pada dunia. Bukankah buku itu jendela dunia?” Aku sedikit membela diri, aku tak ingin dipermalukan olehmu.
“Tapi tidak untukmu, kau hanya membaca, menulis dan menutup jendela.” Kau memasang wajah serius kali ini. Aku tak menyangka kau bisa menjawabi pertanyaanku.
Aku mengintip dunia dari jendela, katamu. Kuakui aku selalu kalah jika harus berdebat denganmu. Selagi aku masih bisa melihatmu, maka tak apa aku hidup di celah bumi, batinku. Meski memandangmu hanyalah bentuk kepecundanganku selama ini. Sementara memilikimu adalah anugerah Tuhan yang begitu besar jika itu memang terjadi. Namun aku bukanlah pemilik tangan yang berusaha meraihmu. Hanya pemilik ‘inginnya’ saja. Seolah nasibku tergantung padamu. Aku selalu menyadari itu.
“Kau memilih jalan sulit untuk menuju aku. Bahkan kau tak berani memanggil namaku.” Kau makin mengulitiku meski aku sudah tak berdaya di hadapanmu. Lalu kau pergi seperti selembar daun tertiup angin. Tak tentu arah, yang jelas kau menjauh, menghilang dalam lautan kesepian yang meraja. Lalu kusadari, aku sudah memandang ke titik yang tak jelas.
Kuhela napas yang terasa meradang. Lalu berdiam dan kusadari, aku masih sendiri. Memandang diri yang hanya ada kehampaan. Wilayah yang sangat mudah bagiku untuk melihat bayangan. Sosok bertubuh besar dan perut berguncang muncul di hadapan. Tiba-tiba tapi aku tak terkejut. Menertawaiku layaknya pecundang tanpa jubah perang. Posisi yang rendah dalam peperangan. Dia mengetuk-ngetuk kepalaku pelan, namun jadi makin kasar.
“Lihatlah dirimu, lemah!” katanya.
Wajahnya menyebalkan. Tingkahnya sungguh bajingan. Bahkan aku pun seperti menyimpan dendam. Ingin kutinju wajahnya hingga dia mundur beberapa langkah ke belakang. Tapi itu hanya dalam anganku yang lain. Lagi pula waktu sudah beralih dan dunia takkan bisa memutar balik.
Aku merasa seperti kardus sekarang. Tak perlu ditendang, hanya sentuhan kecil saja tubuhku bisa ringsek. Dia mendorongku berulang-ulang, lalu mengarahkan jari telunjuknya ke wajahku. “Kau pecundang,” katanya lagi dengan sebentuk wajah sangat merendahkanku. Lalu pergi dengan tamparan tak terlalu keras namun cukup membuatku diserang kehinaan. Dia tertawa terbahak-bahak sampai perutnya berguncang.
Aku kembali bersama diriku. Terbenam ke dalam sepi yang menggunung. Hanya ada lintasan memori yang melayang-layang. Ada yang menghunjami dada layaknya peluru terlepas setelah pelatuk ditarik. Kesadaranku tak bisa menghitung kecepatan hingga besarnya kerusakan di masa mendatang. Namun itu menyiksaku perlahan.
Terlalu mudah lintasan memori itu membangkitkan ingatan. Buku-buku yang kutulis jadi rangkuman tahun penuh derita. Terlalu banyak luka menyapa. Perundungan, keterasingan dan luka karena cinta. Bodohnya aku terlalu polos menuliskan semua tentangmu. Bahkan sampai hal yang remeh temeh sebagai bentuk kegagumanku dari jauh. Aku tak tahu kau seorang pembaca. Tiap jengkal bahasaku mungkin kau sudah meraba, hingga semua terasa berbeda. Sorot matamu mengirimkan makna tak biasa. Sebaliknya, ada kegamangan saat aku menyambut tatapan itu.
Hari lalu yang berdebu. Waktuku lebih banyak tersita pada kesendirian. Seolah kita saling bicara hanya lewat tatapan mata. Lalu suatu kali aku melihat tarikan bibirmu, meski itu bukan untukku. Gigi gingsul di sebelah kiri deretan gigimu membuatmu tampak lebih manis. Pijar cemerlang matamu ikut berperan dalam menambah kadar rasa terbaru yang menyelusup ke dalam hatiku. Keanggunan dan ketangguhan tergambar dari ayunan langkah kakimu.
Lalu keesokan harinya hatiku digempa kenyataan, di waktu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Kau pergi dalam dekap dada bumi. Kenyataan yang menghancurkan hati nyaris tak berbentuk. Namun kau masih tampak jelita dengan paras sedingin kapas yang basah. Bahkan bibirmu sedikit tersenyum. Sebuah senyuman yang jadi potret terakhir untuk mendefinisikan dirimu.
Kejutan situasi itu masih menghantam tebing kesadaranku hingga entah kapan. Memenuhi kepala hingga aku terlalu mudah terjebak dalam bayangan. Kubiarkan kau hidup di dalamnya, hingga aku bisa menemuimu kapan saja, atau merangkumnya dalam aksara.
Sementara terdengar mantap ketukan di kepalaku. Ingatan tentang kenangan kadang terbuka tanpa diminta. Seperti lompatan menyergap anak kecil dari belakangku. Mengejutkan dan tak terlalu kuat, namun cukup membuatku sadar akan kehadirannya, yang kali ini seakan terlalu cepat memudar. Namun mimpi itu terlalu biasa, jika harus lenyap, aku tak apa. Perempuan yang muncul kali ini memang sedikit berbeda. Perbedaannya membuat banyak orang merisaknya. Kita hampir senasib, aku pun punya rasa yang nyaris sama seperti terhadapmu, namun mencintai seseorang tidak melulu harus langsung diungkapkan. Kadang perlu memendam sejenak untuk memastikan bahwa, rasa itu bukanlah desiran hati yang menipu saja.
Kugambarkan dia seperti air bening yang belum tercampuri kotoran. Hanya saja rasa tawar ada di dalamnya. Dia juga lebih banyak diam. Namun aku yakin hati dan pikirannya tak sependiam itu. Memandangiku dengan segenap ragu. Tanpa ada kata yang tercipta hingga dia lenyap begitu saja seperti embusan asap dipermainkan angin.
Tak lama kemudian, kau kembali lagi dengan wajah sedatar jalanan, sedingin aspal. Bibir membentuk garis lurus horizontal. Dalam hatiku aku membatin, “Ekspresi wajah macam apa itu?”
“Kau tahu dunia yang sekarang adalah keabsurdan? Kau telah membuang kesempatan. Kalian terlihat cocok dan itu bukan sebuah lelucon,” katamu memulai lagi.
“Aku tak tahu, sungguh aneh rasanya dua hal yang sama jika disatukan,” jawabku.
“Itu juga bodohnya kamu. Terlalu banyak asumsi sebelum kau berbuat. Kau tercipta dari banyak ketakutan. Sanggahlah aku!” Kau menantangku.
Dengan tangan agak gemetar kusingkirkan buku-buku itu. Semua yang kutulis seperti menelanjangi diri saja. Harusnya kutipu diriku saja dan menuliskan kebohongan tentang diriku. Setidaknya aku tak tampak bodoh di hadapanmu, meski dalam diriku membodohi diri bukan main. Kupikir lebih baik diam tak bicara dulu. Kusingkirkan juga segala ingatan tentang dahulu. Kutatap kau yang seperti sedang bermonolog. Mata yang pernah melemahkan jiwa dan tetap tinggal di sanubari sebagai puisi. Pipi yang cemerlang seperti bulan yang muncul di terang malam. Bibir manis meski diam sekalipun. Perawakan serta gerak tubuh yang membentuk dirimu dalam pembawaan yang menarik.
Aku sudah tahu meski sedikit. Suara itu seperti bisikan yang serak, namun mengandung nada khusus. Aku menduga kau juga mencintaiku. Pandangan matamu juga bisa menjelaskan segalanya. Mungkin itu bisa jadi kebodohanku jika berangkat dari kesederhanaan menyimpulkan hal serumit itu. Tapi dalam duniaku yang absurd ini aku juga bisa mendengar suara hatimu. Kurengkuh kau lalu kudekatkan wajahku ke wajahmu, hingga kutemukan bahwa betapa banyak kenangan tentangmu sampai hari ini. Kupeluk erat-erat, lalu aku menangisi, setelah kepergianmu beberapa hari yang lalu membuatku menjadi orang yang imajinatif seperti ini.(*)
Suyat Aslah, penulis kelahiran Cilacap tahun 1995. Alumnus SMA Diponegoro Sampang, Cilacap. Mulai menjadi penikmat sastra sejak SMA.