*)Oleh: Tjahjono Widarmanto
Sastra membangun dunianya sendiri, membangun realitasnya yang otonom dengan menggunakan medium bahasa. Dalam genre puisi, penyair memunculkan pemikiran dan estetikanya melalui bahasa yang khas. Imaji-imaji, gaya bahasa, pembayangan empatif, simbol dan metora-metafora merupakan senjata para penyair dalam mengeksploitasi bahasa. Penggunaan bahasa dalam puisi sangat personal, dalam arti setiap penyair memiliki pengucapan estetis bahasa yang khas yang berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan pengungkapan bahasa inilah yang menjadi karasteristik yang membedakan seorang penyair dengan penyair yang lain.
Penyair membangun ‘dunianya sendiri” dengan pengungkapan bahasa yang khas dan penuh imaji. Untuk meraih sensasi estetis dimanfaatkannya efek rima, aliterasi, simbol dan berbagai kemumngkinan gaya bahasa. Pemanfaatan semua hal tersebut menjadikan puisi memiliki tiga sifat yaitu framing (penciptaan kerangka keindahan/seni), disinterested contemplation (kontemplasi objektif), dan aesthetic distance atau jarak estetika (Warren, 2012)
Sifat sastra yang framming menjadikan setiap penyair memiliki ciri tersendiri yang dapat menjadi pembeda dengan penyair yang lain. Sifat framing dalam kerja kepenyairan membuat terbukanya peluang-peluang memunculkan kebaruan. Sifat framing inilah yang dapat membedakan yang berbeda dalam cara ungkap antara satu penyair dengan penyair lain. Rendra dan Sapardi Djoko Damaono sama-sama menggarap tema cinta, misalnya, namun cara ungkap, wujud estetika, pemakaian metofara, pilihan diksi, dalam mengolah tema cinta menjadikan dua puisi mereka berbeda.
- Iklan -
Sifat yang disinterested contemplation menjadikan puisi sebagai wujud ekspresi dari hasil renungan penyair terhadap hal atau objek yang merangsang jiwa dan indranya. Sebuah hal atau objek yang sama yang dijumpai dua orang penyair atau lebih akan menghasilkan kontemplasi atau perenungan yang berbeda. Saat dibaca pembacanya pun akan melahirkan kontemplasi baru yang berbeda pada tiap-tiap pembaca. Aesthetic distance mengakibatkan sentuhan keindahan yang berbeda antar penyair satu dengan yang lain, sekaligus menimbulkan efek yang berbeda pula pada tiap-tiap pembacanya.
Salah satu bentuk penciptaan kerangka seni adalah penjelajahan bahasa dan penelusuran serta penemuan kata atau diksi. Begitu pentingnya diksi dan pemanfaatan bahasa sehingga acapkali disebut bahwa bahasa adalah bahan mentah penyair. Sedangkan diksi adalah bukti nyata kegeniusan penyair dalam ‘mencipta kata’. Dengan kata lain kreativitas penyair adalah ‘penemuan’ diksi.
Melihat pentingnya bahasa dan kata dalam proses penciptaan puisi, maka Teeuw (1984), mengatakan bahwa penyair (atau semua sastrawan) harus memahami tiga kode. Tiga kode itu yaitu kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.
Kode bahasa itu artinya seorang penyair harus menguasai kaidah-kaidah dalam bahasa sebagai wahana dalam penciptaan karya puisisinya. Tidaklah mungkin, seseorang yang tak paham Perancis, dapat menulis puisi berbahasa Perancis dengan baik. Di samping itu, bahasa puisi adalah bahasa yang khas yang tak mungkin dipakai dalam situasi penggunaan umumnya yang berbeda sekaligus memiliki makna yang berbeda dengan lazimnya. Wellek dan Warren menyebutnya sebagai bahasa yang mengandung unsur emotif dan konotatif. Sifatnya yang konotatif menjadikan bahasa dan kata dalam puisi menjadi ambigu dan homonimitas.
Selain kode bahasa, seorang penyair harus memahami kode sastra. Artinya, sebagai penyair yang mencipta puisi, dia harus memahami kaidah-kaidah atau aspek-aspek kesastraan. Dia harus memiliki kompetensi dalam memahami teori dan kaidah sastra seabgai salah satu karya seni yang bermediakan bahasa tulis. Minimal, seorang penyair harus memahami unsur-unsur intrinsik puisi misalnya tema, amanah, bunyi, irama, baris, bait, diksi, majas, imaji, metafora, dan lambang.
Berikutnya adalah penguasaan terhadap kode budaya. Kode budaya adalah segala hal yang melatari munculnya penciptaan puisi. Kode budaya hakikatnya adalah konteks yang melatarbelakangi lahirnya teks puisi. Penyair tidak bisa melepaskan diri dari persoalan-persoalan cultural, sosial, politik, ideology atau ekonomi. Cara pandang seorang penyair terhadap kode-kode budaya (sosial, politik, ideology, cultural, dan sebagainya) itu akan merangsang kemampuannya dalam menulis puisi.
Dalam kerja kepenyairan menemukan bahasa pada hakikatnya bukan berarti sekedar mencetak kata yang sama sekali baru, namun menjadikan kata lebih bermakna, lebih privacy sekaligus universal, lebih cerah sekaligus sublim, tidak sekedar ucapan yang deras, tidak sekedar kata-kata yang berkerumun, riuh rendah, ramai namun hampa. Pendek kata, meminjam istilah Goenawan Mohamad, “Puisi adalah ihtiar agar dunia privat bisa diungkapkan dan tak boleh tertindas oleh bahasa orang ramai.”
Sebuah puisi ibaratnya adalah gema dalam menangkap dan merepresentasikan persoalan eksistensial manusia. Persoalan-persoalan eksistensial itu boleh jadi sangat abstrak bahkan abadi menjadi sebuah misteri. Tugas puisi sebagai gema adalah mengkonkritkan persoalan-persoalan eksistensial manusia tersebut. Puisi pada akhirnya merupakan gema yang merepresentasikan persoalan-persoalan eksistensial yaitu menyoal jatidiri manusia itu sendiri, mengulik hubungan dan ‘petak umpet’nya dengan Tuhannya, kemajnunannya karena cinta, ketaklukannya pada takdir, ketegangan dan kepasrahannya pada maut, dan pada akhirnya menuju ke muara penyerahan diri yang total pada Tuhan.
Puncak pencapaian penyair adalah penciptaan kata atau pemerolehan diksi. Melalui katalah, bahasa dieksploitasi, ditelusuri, dijelajahi untuk membentuk estetika sekaligus membangun makna dan alat penyampai nilai-nilai. Puisi tak mungkin dicerai dari bahasa, puisi tak mungkin hidup tanpa kata, sebab puisi adalah kata itu sendiri!
Akhirnya, ayo kita tulis puisi!
*) Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi.