Oleh Vito Prasetyo
Di era kini, begitu pesatnya perkembangan literasi, karena pemanfaatan dunia teknologi sudah merambah kemana-mana. Zaman yang dikenal sebagai era digital, telah menempatkan teknologi digital sebagai sebuah kebutuhan dalam perputaran roda kehidupan. Apakah ini yang disebut sebagai revolusi sosial besar-besaran? Dunia seakan dikepung oleh raksasa teknologi.
Ada semacam stigma yang keliru di lapisan masyarakat bawah (strata sosial umum), yang menganggap proses edukasi tentang literasi hanyalah dilakukan pada lembaga pendidikan formal. Karena lembaga pendidikan dianggap sebagai tempat untuk penyerapan ilmu pengetahuan. Sementara dalam proses transisi edukasi menuju transformasi pendidikan modern, faktor lingkungan (nonformal) juga mempengaruhi keseimbangan penguasaan literasi.
Pada dasarnya, lapisan masyarakat dalam pengenalan terhadap literasi adalah sebuah interaksi sosial dalam menggunakan bahasa sehari-hari. Ini yang kadang diistilahkan sebagai “bahasa ibu” atau bahasa daerah. Karena ekosistem sosial budaya kita terbentuk dari mata rantai sub-suku budaya. Dimana kemudian bermuara menjadi satu kerangka dalam wawasan kebangsaan sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian, disepakati untuk mengurai perbedaan itu dengan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan sebagai bahasa nasional.
- Iklan -
Dalam konsep modernitas, seyogianya kita melihat beberapa aspek yang sangat berkaitan satu sama lainnya. Hal ini sebagai sebuah fase, yang saling jalan beriringan, yakni: transisi, transformasi dan edukasi. Apalagi tantangan global yang kian hari kian mendesak sistem pola desain dalam pembelajaran dan pengembangan keilmuan dan pengetahuan untuk direduksi secara cepat dan tepat. Perlu disadari, untuk membaca semua tantangan zaman ini, penguasaan literasi sangat diperlukan.
Dalam kacamata penulis, penguasaan literasi sangat mutlak diperlukan untuk menjaga konsep dasar dalam mempertahankan keseimbangan nilai-nilai eksistensi sebuah peradaban maju. Sebab literasi, bukanlah sekedar membaca atau menulis buku. Sebagaimana yang disampaikan oleh seorang Guru Besar Universitas Negeri Malang, Prof. Muhadjir Effendy dalam pernyataan terbuka, bahwa ruh dari semua gerakan pendidikan adalah literasi. Jadi ini mengingatkan bahwa keberagaman latar belakang dalam pendidikan, kuncinya adalah literasi bahasa.
Lebih lanjut, makna literasi itu bukan hanya sekadar mereduksi dalam membaca buku, tetapi membaca buku itu harus memiliki perspektif baru. Kemudian, bagaimana literasi itu bertransformasi menjadi sebuah karya ilmiah. Maka dapat disimpulkan bahwa, seluruh proses pemetaan literasi itu berlangsung sepanjang hidup manusia. Pandangan ini tentunya juga menelisik jauh ke belakang dalam kilas balik peradaban dan perubahan zaman. Bahwa literasi itu sudah dikenal berabad-abad lamanya, meski terminologinya memunculkan beberapa teori tentang literasi.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dari waktu ke waktu, tentunya beriringan dengan populasi bahasa. Sehingga kalau kita berbicara tentang bahasa, tidak akan bisa lepas dari konsep teoritis literasi. Perubahan ini menjadikan ekosistem sosial tumbuh dan berkembang mengikuti pola kemajuan zaman, hingga melahirkan bentuk-bentuk kecil peradaban baru. Akhirnya, perubahan ini dalam pandangan skeptis, juga ditandai dengan perubahan perilaku dan subjektivitas pemikiran. Zaman modern telah memaksa manusia untuk berpikir kreatif, karena tantangan dihadapi mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat drastis.
Persoalan-persoalan keseharian manusia adalah bentuk-bentuk dinamika metafisik, yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Mau tidak mau, lembaga pendidikan yang menjadi muara dalam penyerapan ilmu pengetahuan, secara kasat mata juga dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang berorientasi pada gerakan-gerakan modernisasi. Ini sebagai bentuk dari transformasi era modern. Jika bahasa dianggap sebagai alat penghubung dalam membangun komunikasi untuk membaca dinamika zaman, maka ini tentunya akan berbanding lurus dengan munculnya literasi-literasi baru sesuai kebutuhan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Sudah berulang kali dirilis tentang pengertian dan makna literasi. Dalam terminologi bahasa, literasi menjadi alat ukur untuk mencapai sebuah tujuan pada proses edukasi pendidikan. Bahkan, definisi literasi tidak hanya kemampuan membaca dan menulis. Kini, literasi digunakan dalam artian luas. Dalam dimensi peradaban, literasi sudah merambah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.
Maka, dengan munculnya berbagai pendapat dan teori tentang literasi, ini seakan memunculkan paradigma dalam mendefinisikan literasi. Konsep teori etimologi tentang literasi berasal dari bahasa latin, yakni literatus yang memiliki arti orang yang belajar, dalam artian berhubungan dengan proses membaca dan menulis. Sementara dalam kamus bahasa Inggris, ditemukan padanan literacy dan letter. Sementara dalam ensiklopedia bebas, diartikan sebagai seperangkat kemampuan dan keterampilan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung serta memahami masalah dan cara pemecahannya.
Dalam perkembangannya, literasi dipisahkan berdasarkan spesifikasi bidang, antara lain: literasi digital, literasi teknik, literasi keuangan, literasi kesehatan, literasi sains, literasi seni dan sastra, dan lain sebagainya. Spesifikasi ini dianggap pemunculan literasi baru dalam era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 yang merupakan paradigma baru dalam literasi. Tetapi hal ini juga memunculkan pertanyaan, bagaimana dengan kedudukan bahasa ibu (daerah) yang harus dipertahankan dalam tekstur tradisi kuat. Sementara perubahan sosial yang terjadi telah membawa dampak besar, makin tergesernya dan bahkan nyaris punah beberapa bahasa ibu (daerah)?
Menurut sudut pandang penulis disini, persoalan literasi itu seharusnya juga melihat akar permasalahannya. Bukan hanya sekedar membaca tantangan zaman, yang kemudian menggunakan dalil dan teorema baru yang dianggap sebagai pemenuhan kebutuhan era teknologi modern. Tak dapat dipungkiri, dalam proses pendidikan modern tentunya kita tidak menampik harus ada perubahan satu tingkat ke arah yang lebih maju. Ini sebuah sublimasi pendidikan untuk meninggalkan hal-hal yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.
Dalam beberapa segmen, terutama menyangkut literasi yang berbasis lokalitas (daerah), konsep modernitas memaksa siapa pun untuk berpikir secara moderat. Konsep ini, sebagai penalaran pendidikan yang lebih rasional. Meski, kita juga harus menyoroti berbagai dilema pendidikan yang sampai kini belum teratasi, khususnya pada wilayah pendidikan yang dikategorikan sebagai daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Apakah pendidikan daerah 3T ini mampu bersaing dengan moderasi pendidikan inklusif secara nasionall?
Persoalan pendidikan di daerah 3T tentunya bukan hanya sekedar pemenuhan modernitas literasi, tetapi harus ada solusi cerdas dalam membangun kerangka tujuan pendidikan nasional seperti tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Maka disini seakan mengingatkan bahwa dalam rangka membangun dan mencapai tujuan pendidikan nasional, tentunya peserta didik di daerah 3T juga memiliki hak yang sama dengan peserta didik di daerah-daerah yang sudah maju (perkotaan). Pada akhirnya, jika kita melihat dalam satu-kesatuan, pembangunan bangsa tidak terlepas dari bentuk tanggung jawab bersama.
Pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 berbunyi: pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Persoalan akumulatif yang belum terselesaikan dalam pendidikan, seyogianya menjadi cermin dalam merumuskan hal-hal baru, yang begitu skeptis karena dianggap untuk pemenuhan kebutuhan dan menjawab tantangan pendidikan di era modern. Faktanya, literasi begitu cepat tumbuh dan sebagian besar merupakan serapan bahasa asing. Sementara literasi daerah acapkali dianggap hanya sebagai alat komunikasi di beberapa sub-suku daerah yang telah ketinggalan zaman. Pergeseran ini memunculkan perubahan sosial yang berekses pada peradaban baru dunia modern, yang terkadang menggeser nilai-nilai etika budaya bangsa.
Memang sangat dilematis dalam membangun dan memajukan pendidikan di era teknologi yang serba digital. Pemanfaatan teknologi digital di satu sisi merupakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi di sisi lain wawasan dan sumber literasi menjadi sebuah pertaruhan gagasan yang terkadang secara rasionalitas (nalar logika) telah menciptakan ruang “bom waktu” yang mengikis nilai-nilai etika. Jika literasi di masa-masa silam, sangat erat kedudukannya dengan membaca buku, tetapi kini eksistensi buku seakan telah diambil alih oleh dunia digital.
Maka, dalam moderasi pendidikan, hal yang harus dilihat secara bijak adalah bagaimana menempatkan sebuah eksistensi nilai (agama, budaya, pendidikan, sosial, keberagaman suku) sebagai satu-kesatuan konsep desain dalam merumuskan perspektif literasi modern. Ada beberapa hal yang secara substantif tentunya tidak bisa digantikan kedudukannya, karena semata hanya untuk pemenuhan kebutuhan zaman. *****
*) Penulis adalah sastrawan dan peminat pendidikan