Cerpen Joe Hasan
Saya akan bongkar lagi kardus-kardus tempat penyimpanan buku-buku lama saya. Begitulah pikir saya ketika tahu bahwa si Adrian kini jadi penulis sukses.
“Ya alhamdulillah, tapi belum sukses-sukses amat. Masih banyak yang lebih bagus. Saya kalo dibanding sama penulis lain masih kalah jauh.” Ucapnya saat saya tak bisa menahan diri untuk terus memujinya. Setelah sekian lama kami tak jumpa. Sekitar dua belas tahun. Setelah lulus sekolah saya dan Adrian tak lagi ada komunikasi hingga suatu malam ada nomor baru yang di tambahkan oleh admin grup whatsapp. Foto profilnya anime naruto. Lalu saya bertanya dengan antusias. Benarkah itu Adrian yang dulu mengaku paling tampan di kelas dan mengaku paling jago di mata pelajaran bahasa indonesia dan matematika? Ternyata benar dia.
Entah ini malam keberapa saya dan Adrian ngobrol berdua saja sejak dia bergabung di grup. Banyak cerita yang terlewatkan selama dua belas tahun ini. saya yang tidak kemana-mana, seperti penjaga kampung awet, sudah memiliki dua anak. Anak pertama 7 tahun, dan yang kedua usianya 3 tahun, sementara Adrian masih betah dengan kesendiriannya berpetualang. Usut punya usut ternyata dia pernah memenangi auidsi model di Jakarta, hal yang selalu saya dan kawan-kawan lain tertawakan saat Adrian mengatakan dia tidak ingin mencabut gigi yang sakit sebab ingin menjadi model. Ah, sepertinya saya mulai percaya bahwa ucapan adalah doa. Buktinya ada pada Adrian. Dan sekarang dia jadi penulis juga. Tulisannya sudah tersebar di berbagai media cetak dan online. Dia mengakui sendiri dulu dia pernah kagum padaku yang membuat puisi untuk di bacakan di acara kelulusan sekolah. Dia terinspirasi untuk membuat puisi juga. Dia menyimpan puisi itu hingga sekarang. Sementara saya sang pemilik puisi sudah tidak tahu di mana keberadaan puisi itu. Banyak cerita-cerita pendek dulu yang pernah saya tulis tapi berujung di dalam kardus yang entah sekarang terselip di lemari yang mana. Sejak lulus kuliah dan menikah, saya fokus pada keluarga baru saya. Mengurus suami dan anak. Namun malam ini, Adrian hadir bagaikan bara api yang kembali memanaskan gairah menulis saya. Beberapa hari lalu saya membaca beberapa puisinya yang di muat media online. Adrian sengaja memberitahu saya, katanya untuk mengembalikan Herianti yang dulu. Jujur, Adrian berhasil membuat saya membara.
- Iklan -
Dia meminta untuk memperlihatkan kembali tulisan-tulisan saya dulu. Tapi saya tak tahu di mana letak cerita–cerita itu sekarang. Yang saya tahu tulisan itu masih ada. Namun butuh waktu khusus untuk mencarinya lagi. Kalian tentu paham bagaimana kehidupan jomblo dan yang sudah berkeluaraga. Jauh berbeda.
“Berarti secara tidak langsung saya pernah jadi inspirasmu untuk menulis?”
“Ya betul. Kamu salah satunya. Selain karena saya baca novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El Shirazy.”
“Terus kamu menulis tentang apa waktu pertama kali?”
“Nah, setelah itu saya baca lagi bukunya Andrei Hirata yang Laskar Pelangi. Dari situ saya punya ide untuk menulis tentang apa. Saya menulis tentang masa sekolah saya. Masa-masa kita di jurusan bahasa selama dua tahun.” Jelas Adrian saat dia meminta untuk di telepon bila ada waktu senggang. Percakapan kami tiba-tiba terputus karena kekuatan sinyal yang kurang bagus. Dan malam itu juga saya segera mencari cerita-cerita pendek dan puisi yang pernah saya tulis. Untung saja dua anakku sudah terlelap jadi saya bisa bergerak bebas. Biasanya mereka rewel. Setelah lama mencari akhirnya tulisan itu saya temukan.
***
Di kedalaman malam yang begitu sunyi membunuh. Usai berbincang bebas dengan kawan lamanya (Saya). Adrian merenung akan nasib dirinya sendiri. Apakah benar dirinya benar-benar telah sukses seperti yang dikatakan temannya? Sementara dia belum punya cukup uang untuk membiayai hidup sendiri (di Indonesia kesuksesan seseorang masih di pandang dari seberapa banyak orang tersebut memiliki uang), banyak media yang ngakunya berhonor tapi belum mentransfer honor hasil menulisnya. Dulu Adrian memang tidak terlalu memikirkan honor; asal bisa dimuat media, sudah sangat bersyukur. Tapi hak tetaplah hak. Bukan begitu? tiba-tiba terngiang kembali ucapan saudara-saudarinya.
“Buat apa pena sama kertas?”
“Buat nulis.”
“Kamu itu gak usah sok. Kamu kan bukan penulis. Nulis itu kalo sudah di rumah, jangan nulis di tempat jualan seperti ini.” Ira, saudara perempuannya berbicara ketus sambil mengambil paksa kertas dan pena yang dipegang Adrian. Pupus sudah impiannya menjadi penulis. Pikirnya waktu itu. Ide di kepalanya sedang meronta. Tapi ia tak punya media untuk menuliskannya. Ah, sungguh terlalu. Dan di hari yang lain.
“Habis tulis, kamu rebus kertas itu terus kamu minum airnya. Kamu pasti kenyang dengan itu.” Budi, kakak lelakinya tak kalah ketus saat melihat Adrian menulis sejak pagi hingga sore. Budi tak mengerti saja betapa melelahkannya menyelesaikan satu cerpen yang idenya sedang menggebu tapi tak usai ditulis-tulis. Kini ia menambahkan masalah itu dengan omongan tak mendukung. Impian Adrian dibunuh pelan oleh kakak-kakaknya sendiri.
Tapi itu kejadian waktu silam. Setidaknya ada hikmah dari kejadian itu. Saudara-saudarinya sudah mendukungnya jadi penulis meski belum sepenuhnya. Pikiran buruk mengerubungi otaknya lagi. “mereka hanya menyukai hasilnya, tapi tak menyukai proses kreatif saya untuk berkarya. Mereka masih mengeluh kenapa saya sering menyendiri di kamar, kenapa sering lama di kamar mandi (saat mandi dan buang air besar adalah proses kreatif paling manjur saat mencari inspirasi), kenapa jarang berbicara. Ah, memang susah menjelaskan sesuatu pada orang-orang yang sebenarnya mereka tidak mau menerima penjelasan. Hanya mengikuti ego mereka saja.
Masih dengan perenungan yang dalam. Jendela kamar Adrian biarkan terbuka. Mengobrol lepas dengan angin malam yang masuk. Sungguh, tiada lagu paling merdu selain nyanyian angin malam. Kalian bisa mencobanya. kejadian tahun silam secara tidak langsung menjadikan dia lelaki pendendam. Dendam pada keluarganya sendiri. Dia tentu bukan satu-satunya makhluk yang menyimpan dendam terhadap keluarga sendiri. Semua itu hanya bisa diobati dengan bersendiri dalam waktu yang tak bisa ditentukan. Ya, waktu adalah obat paling sakti untuk sakit yang bertalu-talu. Dengan hati yang penuh dendam, masih pantaskah dia disebut sukses?
***
Di rumah panggung berpapan coklat tua, saya masih membaca catatan-catatan lama. Seolah rasa kantuk adalah musuh bebuyutan. Saya bunuh dengan kasar rasa kantuk itu. Beberapa lembar kertas bekas diremas saya biarkan berserakan di lantai. Mengacak-ngacak kepala yang tidak gatal. Lalu teringat sedikit kata-kata Adrian.
“Jangan ada yang dibuang tulisannya, mau sejelek apapun itu. Pramoedya Ananta Toer juga pernah mengatakan itu. Kalimat itu legend sekali. Tulisan jelek bagaimana pun modelnya pasti bisa jadi karya. Jadi kalo nulis terus ketemu buntu. Ya tulisannya dibiarkan saja dulu, tunggu beberapa jam atau besok, atau besoknya lagi lalu lanjut. Memang seperti itu proses jadi penulis.”
Dan dengan tangkas, catatan dikertas yang sudah saya remas itu, saya rangkum jadi sebuah puisi. bukankah dulu saya jago bikin puisi? Saya membesarkan hati sendiri.
Tengah Malam
Karya : Herianti
Wahai tengah malam
Berkawanlah dengan pikiran buntuku
Biarkan angin sejuk menuntun semua imajinasi
Tak ada lagu dari artis seperti biasa
Tak ada rengek anak kecil
Aku ingin bernyanyi dengan suara tengah malam
Meski nyanyian itu hanya setetes embun
Bersahabatlah denganku
Untuk melahirkan puisi dari kertas-kertas kusut
Wahai tengah malam
rasukilah aku
Biar tenang rasaku
(Puma, 12 Juni 2021, pukul 11. 47 malam)
Tak lupa saya sisipkan titimangsa beserta jamnya. Saya sadar puisi yang saya buat itu masih jauh dari kata bagus. Tapi setidaknya hari ini saya menghasilkan satu karya. Ada rasa puas tersendiri yang tak bisa dijelaskan. Benar apa kata Adrian, tulisan pendek dan sejelek apa pun pasti akan bermanfaat. Dengan lekas saya berbaring di samping anak-anak yang pulas. Yang mungkin sedang bermimpi bertemu bidadari-bidadari di sungai para duyung. Beruntungnya saya lagi, Ridwan, suami saya sedang tidak di rumah. Ia di luar kota karena urusan pekerjaan.
***
Di tempat berbeda, orang berbeda, waktu yang sama. Adrian dan Herianti memikirkan satu sama lain menjelang tidur mereka. Mengucap “teman lama” dengan bahagia. Rasa teman lama memang takkan pernah mati. Terlebih teman yang punya kesan tersendiri.
(Baubau, 2021)
Joe Hasan, lahir di Ambon pada 22 Februari. Tulisannya pernah dimuat di Rakyat Sultra, Lampung Post, Banjarmasin Post, Bangka Pos, Magrib.id, ideide.id, Kedaulatan Rakyat, Merapi, Minggu Pagi, Ceritanet.com, Sastramedia.com, Haluan, Majalah Edukator, Jurnal Sastra Santarang, dll.