Oleh Fathorrozi
Tersebutlah Ali bin Harb. Suatu ketika ia berlayar dari Sirr Man Raa menuju Mosul, Irak, untuk belanja beberapa bahan pokok. Ia mendayung perahu menyeberangi sungai Dajlah yang kala itu begitu tenang dan nyaris tak berombak. Sungai Dajlah yang tenang itu, membuat para penumpang mengantuk. Mereka kemudian tertidur, kecuali Ali, sebab ia tak ingin menyia-nyiakan keindahan panorama pesisir sungai Dajlah.
Ketika Ali tengah asyik menimati keindahan sungai itu, seketika seekor ikan cukup besar melompat ke dalam perahu. Ia terkejut sesaat sebelum akhirnya bergerak cepat untuk menangkapnya. Suara gaduh Ali yang menangkap ikan itu terdengar oleh penumpang lain, sehingga mereka terbangun dari tidurnya.
Saat melihat ikan cukup besar itu diam bergeming di tangan Ali, penumpang lain berujar, “Wah, ini karunia Allah untuk kita semua. Alangkah baiknya kita nikmati dulu ikan ini. Mari, kita menepi dan membakarnya!”
- Iklan -
Perahu itu segera dibawa menepi. Tetapi, belum sampai ke tepian, mata mereka dikejutkan dengan pemandangan aneh dan mengerikan. Mereka melihat mayat seorang lelaki yang pecah di bagian kepalanya dan sebilah pedang di dekatnya.
Sementara di depan lelaki berkepala pecah itu, mereka jumpai seorang lelaki lain terikat tali, serta mulutnya disumpal sehelai kain. Pemandangan ganjil itu sangat mengherankan para penumpang perahu. Mereka lalu menghambur, mendekati dan menolongnya.
Setelah mereka melepaskan tali yang mengikat lelaki itu dan mengeluarkan kain dari dalam mulutnya, mereka bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“Tolong beri aku minum agar bisa bernapas lega dan bercerita leluasa kepada kalian,” timpal lelaki tersebut.
Setelah air yang mereka berikan membasahi kerongkongan dan melunasi dahaganya, lelaki itu bercerita, “Kami berdua sedang dalam perjalanan dari Mosul ke Baghdad. Lelaki yang meninggal itu menguntitku sepanjang perjalanan. Ia menyangka aku orang kaya, sebab barang bawaanku sangat banyak. Dalam perjalanan, rombongan kami beristirahat di tempat ini karena terlalu malam.”
“Di pengujung malam, nakhoda kapal kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun sayangnya, aku tertinggal rombongan sebab tertidur pulas. Lelaki itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia memisahkan diri dari rombongan dan menghampiriku. Ia menindihku, mengikat tubuhku, dan menyumbat mulutku dengan kain. Tidak hanya itu, ia juga mengancam akan membunuhku jika aku menceritakan aksi jahatnya kepada orang-orang,” tambah lelaki tersebut.
Ia melanjutkan ceritanya, “Dalam keadaan terjepit, aku berjuang sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri. Ketika ada kesempatan, aku benturkan kepalaku dengan keras ke kepalanya. Ternyata, ia tak sekuat yang aku duga. Seketika kepalanya retak, mengeluarkan banyak darah, lalu tubuh kekarnya limbung dan jatuh terkulai. Setelah lelaki itu meninggal, aku bingung dan takut. Terlintas dalam pikiran bahwa aku juga akan bernasib sama dengannya.”
“Daerah ini sangat terpencil dan tidak banyak orang yang mengetahuinya. Namun, aku tak putus asa. Aku terus berdoa, memohon pertolongan Allah. Aku yakin Allah akan menolong hamba-Nya yang teraniaya. Dan ternyata, doaku terkabul. Melalui perantara ikan yang kalian tangkap, Allah membawa kalian ke tempat ini sehingga kalian menemukanku dan menolongku,” lelaki itu memungkasi ceritanya.
Dari cerita di atas, terdapat beberapa pesan dan ibrah tersirat yang dapat kita petik untuk diterapkan dalam lelaku keseharian.
Pertama, memohon pertolongan hanya kepada Allah. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi, “Idza saalta fasalillaha, wa idza ista’anta fasta’in billahi.” Artinya, apabila kamu meminta, mintalah kepada Allah. Dan apabila kamu meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Dalam kondisi yang sangat sulit, si lelaki itu tiada henti meminta hanya kepada Allah. Dan Allah pun mengabulkan permintaannya.
Kedua, keyakinan kuat atas datangnya pertolongan Allah. Senjata kedua yang harus dimiliki manusia setelah berdoa adalah keyakinan akan kemakbulan doa permintaan tersebut. Seperti lelaki dalam kisah di atas, dengan keyakinan yang kokoh ia percaya Allah tidak akan menelantarkannya dengan terdampar di daerah asing yang jauh dari keramaian itu. Akhirnya pun, di luar sangkaan, atas izin dan kekuasaan-Nya, Allah mengirimkan seekor ikan yang meloncat ke perahu rombongan Ali bin Harb untuk menyelamatkannya dari kematian.
Erat kaitannya dengan hal ini, terdapat potongan hadis yang patut kita jadikan renungan dan pegangan bersama sebagai bahan evaluasi. Nabi Saw bersabda, “Ta’arraf fi rakha’ ya’rifka fi syiddah.” Maknanya, jika kita ingat kepada Allah saat kita lapang (senang, gembira), maka Allah akan ingat kepada kita di masa sempit (sedih, susah). Jadi, saat ketiban nikmat, seyogianya kita bersyukur dan tetap mengingat-Nya, tidak lantas euforia atas anugerah yang dikaruniakan, lalu melupakan-Nya.
Ketiga, saling menolong atas derita sesama. Islam mengajarkan agar umat manusia tidak berpangku tangan bilamana menjumpai sesamanya sedang dililit kesulitan dan ditikam kesedihan. Dalam Alquran, Allah menyuruh kita untuk saling menolong dalam urusan kebaikan dan ketakwaan. Kisah Ali bin Harb tersebut memberi kita ibrah akan pentingnya sebuah pertolongan. Dalam kondisi yang demikian, yang dibutuhkan oleh si lelaki yang diikat dan disumpal mulutnya itu bukanlah uang maupun emas, namun uluran tangan orang lain untuk melepaskan ikatan dan mengeluarkan kain dari dalam mulutnya. Dan ternyata, pertolongan Ali beserta penumpang lainnya menjadi perantara lelaki itu tidak berjumpa dengan maut. (*)
*) Fathorrozi, alumnus Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN KHAS Jember, tinggal di Ledokombo, Jember.