Oleh Saniatus Solikhah
Bahtsul Masail (BM) tentu bukan lagi menjadi istilah asing bagi kalangan penghuni pondok pesantren salaf (berbasis kitab kuning) di Indonesia. Karena, setiap pondok pesantren salaf di Indonesia pasti menggunakan kurikulum tersebut sebagai salah satu media pengembang pengetahuan santri. Hal ini dilakukan sebagai media belajar santri dalam menyikapi sebuah permasalahan syariat yang kerap terjadi di kalangan masyarakat dengan tetap berlandaskan pada hujjah para ulama dari berbagai madzhab.
Menurut KH. Sahal Mahfudz , BM adalah ganti dari istilah istinbath hukum dan iijtihad di lingkunga NU. Kenapa harus diganti, karena iijtihad ini identik dengan madzhab 4 sehingga dianggap terlalu tinggi jika dipakai oleh ulama zaman sekarang. Selain itu istinbath dan iijtihad ini memerlukan kriteria kemampuan yang sangat komplek. Seperti penguasaan nahwu, sharaf, balaghah, ushul fiqh dan lain-lain. Belum lagi karakter mujtahid ini juga menjadi salah satu pertimbangan. Beberapa hal ini yang kemudian dianggap berat, sehingga dipilihlah Bahtsul Masail sebgai istilah dalam tatacara pengambillan atau penetapan hukum dalam sebuah masalah di kalangan masyarakat muslim yang beralirkan NU.
Tradisi berdebat dan berdiskusi hukum-hukum agama ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum NU lahir. Walaupun diskusi ini belum terorganisir, perbedaan pendapat tentang satu masalah hukum agama antara para ulama sudah sangat sering terjadi. Oleh karena itu diadakanlah Bahtsul Masaiil ini sebagai salah satu jalan keluar untuk mentapkan sebuah hukum yang sama dari beberapa perbedaan pendapat para ulama mengenai suatu permasalahan syariat. Dalam lingkungan NU, tradisi bermusyawarah secara resmi ini mungkin dimulai saat KH. Hasyim Asy’ari membuat sebuah kelas musyawarah. Yang waktu itu anggotanya adalah KH. Wahab Hasbullah, KH. Abdul Kariim, KH. As’ad Syamsul Arifin dan lain-lain. Kemudian kelas musyawarah ini dibawa ke Surabaya oleh KH. Wahab Hasbullah dan diadopsi sebagai ebuah metode bermusyawarah di kalangan NU dengan nama “Taswirul Afkar”.
- Iklan -
Bahtsul Masail sebagai bagian aktivitas formal organisasi, perama kali dilakukan pada tahun 1926, beberapa bulan setelah NU berdiri. Tepatnya pada Kongres (Muktamar) 1 pada tanggal 21-23 September 1926. Selama beberapa dekade, forum BM diitempatkan sebagai salah satu komisi yang membahas materi muktamar. Belum terkonsep dalam organisasi sendiri. Setelah lebih dari setengah abad berdiri, NU membuatkan BM sebuah organisasi mandiri bernama Lajnah Bahtsul Masail (LBM). Hal ini dimulai dengan adanya rekomendasi Muktamar NU Ke 28 di Yogyakarta pada tahun 1989. Komisi 1 Muktamar 1989 itu merekomendasikan PBNU untuk membuat LBM sebagai lembaga permanen dan setelah Muktamar NU tahun 2004, status “lajnah” diitingkatkan mejadi lembaga dan berjalan sampai sekarang.
Di era kurikulum merdeka ini, para siswa yang juga menyandang gelar santri pastilah tidak kaget dengan sistem kurikulum merdeka yang sekarang sudah mulai diterapkan di beberapa sekolah dasar dan menengah di Indonesia. Sebab, dari pesantren mereka sudah terbiasa berdiskusi mencari bahan untuk disampaikan di khalayak umum dalam majelis bahtsul masail tersebut. Jika dilihat dari konteks ilmu pendidikan kognitif, BM bisa dikatakan sebagai salah satu media belajar yang menggunakan metode konstruktiv dalam penyampaian materi pembelajarannya. Sebagaimana yang dikehendaki dari sistem kurikulum merdeka, peserta didik menggali sendiri pengetahuan mereka melalui pengalamannya sedangkan guru atau pembina lebih banyak bertindak sebagai pendamping yang memfasilitasi (mempermudah) dan mengontrol proses belajar peserta didik.
Dalam “Webinar Implementasi Kurikulum Merdeka” yang digelar pada Senin (22/8/2022), Sekretaris Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif PBNU, Harianto Oghie menyampaikan bahwa perihal kurikulum, merupakan program strategis LP Ma`arif NU terkait dengan penguatan kurikulum yang berkarakter dalam proses transformasi nilai-nilai Islam Ahlussunah wal Jama`ah yang dikombinasikan dengan standar kurikulum nasional. “Terkait implementasi merdeka belajar ini semestinya akan tetap mengadopsi praktek baik yang sudah dilakukan oleh madrasah dan sekolah yang bernaung di bawah pondok pesantren sehingga bisa memberikan penguatan terhadap implementasi kurikulum merdeka ini,” papar beliau dalam webinar tersebut.
Dalam aliran kontruktivisme, media diskusi merupakan salah satu media unggulan bagi pendidik dalam proses pembelajaran yang menerapkan kurikulum merdeka belajar. Karena, dalam pengaplikasiannya, pendidik akan memberi sebuah contoh permasalahan sosial yang berbasis syariat kepara santri atau peserta didik yang mana mereka telah dibentuk dalam sebuah forum diskusi. Pendidik membiarkan mereka berdiskusi atas permasalahan yang diberikan. Di sini, pendidik mengampu 3 peran yang haru dijalankannya, yaitu sebagai moderator yang memimpin jalannya diskusi, sebagai perumus darii masalah yang sedang dibahas dan juga sebagai musohhih yang nantiya akan memberikan kesimpulan jawaban dari permasalan tersebut. Atau bisa juga peran pendidik sebagai moderator dan perunus digantikan oleh peserta didik yang memiliki kompetensi yang lebih. Dalam proses berjalannya diskusi, pendidik membebaskan peserta didik mengemukakan pendapat mereka atas sebuah permasalahan yang dibahas dengan tidak melupakan dalil-dalil syara’ atau hujjah para ulama (biasanya menggunakan kitab kuning sebagai referensi).
Dalam menyampaikan pendapat, kesempatan peserta ini diiatur oleh moderator agar lebih tertiib dan tidak saling berebut. Kemudiaan peserta yang lain dipersilakan untuk saling menyangkal pendapat yang tidak sama dengannya. Nah, pada momen inilah kemampuan berbicara atau public speaking peserta didik terasah. Karena kebanyakan anak akan lebih berani mengungkapkan sebuah pendapat jika berhadapan dengan temannya ketimbang dengan gurunya. Seelah tekumpul beberapa jawaban beserta referensinya, moderator bisa menyimpulkan dan meneruskan kepada perumus untuk dibuat rumusan sementara terkait masalah yang sedang dibahas. Terakhir, pendidik akan memberikan jawaban yang benar yang diambil dari pendapat-pendapat peserta diskusi tadi.
Dari jawaban akhir tersebut, akan memunculkan sebuah hukum yang nantinya akan diijadikan sebagai dasar oleh siswa dalam bersyariat. Selain itu, dengan siswa yang terbiasa berdiskusi, mereka akan lebih memahami suatu pelajaran, wawasannya lebih luas dan juga jika pengetahuan mengenai agama lebih kuat maka bisa menentang faham radikal yang masuk serta tidak mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat bahkan mengkafirkan sesama muslim lain yang berbeda penerapan ibadahnya. Padahal dalam islam terdapat 4 madzhab yang kesemua madzhab tersebut memang berbeda-beda dalam pengaplikasian praktik ibadah sehari-harinya.
Seseorang yang akan berbahtsul masail tentunya juga harus didasari dengan kecintaan terhadap literasi, terutama literasi islam. Karena pada dasarnya kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama salaf tidak hanya menjelaskan tentang agama, namun banyak juga kitab-kitab ulama salaf yang berisi tentang ilmu kedokteran, astronomi, sejarah dan lain-lain. Dalam hal ini LBM merupakan lembaga yang tepat untuk mewadahi para generasi milenial yang cinta akan keliterasian, terutama terhadap literasi islam. Karena dalam sebuah hadis Nabi dikatakan bahwasanya umat Nabi Muhammad itu tidak akan tersesat jika ia berpegang teguh kepada 2 hal yakni Kitabullah dan Sunnah.
Jadi, sebagai pengikut madzhab Syafi’i bagaimana kita bisa berpegang teguh pada keduanya jika kita tidak merasakan mukjizat dari keduanya? Bagaimana kita bisa merasakan mukjizat dari Al Qur’an dan Sunnah tanpa kita memahami kitab kuning? Bagaimana kita menguasai kitab kuning tanpa berliterasi? Begitulah literasi dan Bahtsul Masail saling berkesinambungan. Dan pada intinya dua hal tersebut merupakan elemen penting yang harus dimiliki oleh para generasi milenial di Indonesia. Karena selain sebagai penangkal faham radikal mereka juga bisa membentengi diri mereka dari tradisi modern yang menyimpang dari ajaran syariat.
-Mahasiswa S1 Pendidikan Agama Islam Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung