Oleh Sam Edy Yuswanto
Saya yakin setiap orang akan merasa terusik dan tersinggung bila dipanggil dengan julukan yang tak berkenan di hatinya. Misalnya, hanya karena ia memiliki tubuh yang pendek atau memiliki kulit hitam, orang-orang lantas menjuluki atau memanggilnya si Kontet atau Si Hitam. Begitu juga dengan julukan-julukan lain yang pada intinya berniat melecehkan, menghina, dan membunuh karakter seseorang.
Perihal memanggil gelar buruk pada orang lain, dalam tulisannya, dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D., menjelaskan: menghina, mencela, atau mengolok-olok orang lain termasuk perbuatan yang terlarang. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).
Sebagaimana telah diketahui bersama, belum lama ini, umat Islam dihebohkan dengan ucapan seorang tokoh agama (sengaja saya tak menyebut nama) yang dalam ceramahnya menjuluki seorang pemimpin dengan panggilan Firaun. Hal tersebut sontak menjadi sorotan publik. Ya, hal ini tentu dapat dimaklumi, karena selama ini Firaun begitu lekat dengan sosok raja berperangai buruk, sosok arogan yang selalu berupaya mengekalkan kekuasaannya dengan beragam cara. Bahkan Firaun juga mendakwa dirinya sebagai Tuhan.
- Iklan -
Memang ada perbedaan pandangan tentang siapa sebenarnya Firaun. Ada yang berpendapat bahwa Firaun adalah julukan (gelar) bukan nama khusus seseorang saja. Namun, ada juga berpendapat bahwa Firaun itu memang nama seseorang.
Mengutip keterangan medialokal.co (6/10/2020) Firaun itu nama gelar. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Firaun merupakan gelar untuk seorang raja yang zalim. Dalam riwayat yang sering didengar, telah diketahui bagaimana kronologi ketika Raja Firaun berkonflik dengan Nabi Musa a.s.
Sementara dalam tulisannya (NU Online, 21/1/2023) M. Tatam Wijaya menyebutkan keterangan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 75-92 dan dijelaskan oleh sejumlah kitab tafsir, Firaun adalah penguasa Mesir yang zalim dan sombong. Di antara kesombongannya tampak saat diseru Nabi Musa dan Harun a.s. untuk menerima tanda-tanda kebesaran Allah, mengakui risalah keduanya, sehingga mau menuhankan Allah dan beribadah kepada-Nya. Alih-alih menerima risalah Nabi Musa dan Harun serta mengesakan Allah, Firaun dan pembesar kaumnya malah menuduh risalah keduanya sebagai sihir. Malahan Firaun sempat mendatangkan para penyihir untuk menantang Musa dan Harun dengan sihir-sihir andalan mereka.
Namun, dalam tulisan saya kali ini, saya tidak akan membahas panjang lebar tentang riwayat Raja Firaun yang berakhir tragis itu. Saya hanya akan menitikberatkan pada pembahasan mengenai larangan memberi ‘gelar’ buruk pada orang lain. Menurut pandangan saya, dalam bergaul dengan sesama, kita memang harus berusaha saling menghormati dan menjaga perasaan masing-masing. Jangan sampai kita memiliki karakter gemar melukai sesama, misalnya memanggil orang lain dengan panggilan atau gelar yang menyakitkan hati. Memanggil Firaun pada seseorang misalnya, menurut pandangan saya termasuk hal yang tidak pantas (meskipun sebenarnya orang tersebut memiliki sifat-sifat seperti Firaun). Terlebih bila yang menjuluki Firaun adalah seorang pemuka agama yang mestinya berusaha hati-hati dalam berucap dan berperilaku karena dia menjadi panutan banyak orang dari berbagai kalangan dan karakter beragam.
Dalam kasus tersebut, saya berusaha untuk berbaik sangka dan tidak gegabah dalam menyikapinya. Saya merasa yakin bila pemuka agama tersebut sebenarnya bertujuan ingin mengkritisi sang pemimpin yang mungkin dianggap kurang memihak rakyat, terlalu sewenang-wenang, dan hal-hal lainnya. Tujuannya tentu sangat baik, berusaha mengkritisi sang pemimpin, meskipun caranya dirasa kurang elok, yakni menyematkan gelar ‘Firaun’ pada sang pemimpin.
Namun saya merasa salut dengan kebesaran hati sang pemuka agama yang sudah meminta maaf atas ucapan yang tak mengenakkan hati tersebut. Dari sini, saya anggap semua persoalan telah selesai dan tidak perlu diperlebar atau digembar-gemborkan lagi. Karena setiap orang, siapa pun dia, mau pemuka agama maupun orang awam, sangat rentan untuk berbuat salah atau kekeliruan. Yang terpenting, ketika seseorang berbuat kesalahan pada sesama, dia berusaha untuk mengakui, meminta maaf, dan berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.
Dari kejadian tersebut, kita bisa mengambil hikmahnya. Salah satu hikmah yang bisa kita petik adalah bahwa niat atau tujuan yang baik, bila tidak dilakukan dengan cara-cara yang baik, tentu tujuannya tidak akan tercapai dengan baik. Malah dapat menimbulkan hal-hal buruk atau kemudaratan yang lebih besar. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas, mukim di Kebumen.