Oleh Reni Asih Widiyastuti
Pernahkah kita menyadari bahwa ada bagian dari ketakwaan yang sering terlupakan oleh kita. Terutama saat kita melihat sesuatu yang membuat kita kagum terhadap sesuatu?
Kagum adalah hal lumrah. Namun, dampak yang ditimbulkannya sering kali tidak lumrah. Umumnya, kita mengagumi sesuatu ketika hal itu benar-benar baru atau sangat bagus dan kita belum pernah melihat yang semacamnya.
- Iklan -
Sikap kagum dapat berubah menjadi dua kemungkinan. Pertama adalah iri. Ini adalah dampak yang jelas membahayakan. Bahaya iri sangat jelas, ia dapat merusak akal sehat dan hati suci seseorang. Ia juga merusak hubungan antar sesama. Orang yang iri sangat membahayakan diri dan orang lain. Ia bahkan akan dapat berbuat nekat agar nikmat yang dimiliki oleh orang lain itu sirna, dan bila perlu beralih ke tangannya.
Sedangkan dampak kedua adalah cinta. Rasa kagum dapat menyebabkan orang sangat mencintainya. Ini dapat menjadi positif jika dilakukan secara proporsional dan dikelola secara baik. Namun jika tidak, maka justru akan sangat membahayakan karena seseorang dapat tertipu. Tidak sedikit orang yang jatuh karena dimabuk cinta buta, hanya karena kekaguman belaka. Hal inilah yang pernah menimpa Amir bin Hunaif.
Agar saat memandang sesuatu yang dikagumi itu kita tidak terjebak ke jurang yang menyesatkan, Nabi saw. memberikan petunjuk kepada kita agar mengucapkan doa keberkahan untuk apa pun yang kita lihat itu. Nabi menegaskan, apabila seseorang melihat sesuatu yang mengagumkan pada diri orang lain, hendaklah ia mendoakan keberkahan untuknya (misalnya mengucapkan: “Baarakallaahu fiyk”, Semoga Allah memberkahimu).
Inilah cara untuk mencegah penyakit ‘ain, yaitu penyakit pandangan mata. Hasad, iri, dengki, dan bahkan cinta buta, kekaguman yang menipu, semua itu adalah penyakit pandangan mata. Ia sangat cepat bereaksi dalam hati dan pikiran serta perbuatan. Saat memandang, seseorang langsung terpesona, dan mengucapkan kata-kata yang tidak patut, atau bahkan melakukan secara refleks hal-hal yang terlarang.
Oleh karena itu kita harus selalu sadar dan peka untuk mengucapkan “Barakallah fiik,” atau “Allah yubarik fik” atau Semoga Allah memberkahimu. Doa-doa itulah yang menangkal penyakit pandangan mata.
Rasulullah saw. bersabda,
“Apabila seorang dari kalian melihat sesuatu dari saudaranya, atau melihat diri saudaranya, atau melihat hartanya yang menakjubkan, maka hendaklah ia mendoakan keberkahan untuk saudaranya tersebut, karena sesungguhnya penyakit ‘ain [pandangan mata] itu benar-benar ada.” (HR. Ahmad).
Dari sinilah dapat disimpulkan pula bahwa yang dimaksud dengan penyakit ‘ain dalam bahasa populer kita misalnya adalah seperti ungkapan, “mata keranjang,” “matanya hijau saat melihat uang,” “mata duitan,” dan sejenisnya. Semua itu adalah penyakit mata yang juga mengganggu. Jika kita biarkan, penyakit itu akan menyakiti orang lain. Orang mata duitan, barangkali tidak merasa sakit. Namun, orang lain yang punya duit, berpeluang disakiti olehnya. Orang mata keranjang, boleh jadi tidak merasa sakit, tetapi korbannya adalah orang lain yang dipandanginya.
Yang jelas, meskipun banyak ulama hadis yang memahaminya sebagai penyakit mata secara fisik, tetapi indikasi dalam hadis tersebut menyiratkan makna sebagai sakit [pandangan] mata. Ia bukan penyakit seperti rabun, katarak, atau penyakit mata lainnya.
Jadi, agar tidak terkena penyakit hasad, dengki, kita harus sering-sering mendoakan keberkahan untuk orang lain yang kita temui. Agar terhindar dari cinta buta yang menyesatkan, kita juga harus sering-sering mendoakan keberkahan untuk orang yang kita kagumi.
Hadis itu dengan tegas memerintahkan kita agar selalu peka berdoa meminta keberkahan untuk orang lain, setiap kali kita melihat kenikmatan yang dimilikinya. Baik itu melihat yang disengaja, maupun yang tidak disengaja karena pemilik nikmat yang memperlihatkannya.
Mendoakan keberkahan untuk orang lain itu merupakan pengendali hati, pikiran, dan perbuatan kita agar tidak masuk dalam keburukan dan kejahatan. Orang yang peka untuk mendoakan keberkahan untuk orang lain, secara tidak langsung telah mampu mengendalikan sifat hasad yang boleh jadi selalu datang tanpa diundang berbarengan dengan mata memandang.
Hadis di atas juga sekaligus menjadi peringatan untuk kita saat menerima nikmat, agar mampu menjaga nikmat itu dengan baik, agar tidak menimbulkan hasad atau iri atau kekaguman yang berlebihan di mata orang lain. Mari kita hargai privasi kita sendiri. Kenikmatan yang kita terima adalah bagian dari privasi kita yang harus kita hormati dan kita jaga dengan baik. Kenikmatan yang kita miliki adalah kehormatan kita sendiri. Sedangkan, mengumbar kehormatan di hadapan orang lain adalah perbuatan riya’, ujub, sum’ah, bahkan takabur, bukan?
Di sinilah, hadis ini mengajarkan kita selalu waspada dan peka. Karena waspada dan peka merupakan ketakwaan dalam bentuk mensyukuri nikmat. Kita selalu waspada agar nikmat yang kita peroleh tidak menimbulkan keburukan. Kita juga harus selalu peka mendoakan keberkahan untuk orang lain saat melihat kebaikan yang ada pada dirinya.
Mudah, bukan? Buktikan sendiri.
Semoga saudara-saudaraku sekalian senantiasa mendapatkan keberkahan atas segala kenikmatan dalam hidupnya. Barakallahu fikum.
Semarang, Desember 2022
Reni Asih Widiyastuti kelahiran Semarang, 17 Oktober 1990. Karya-karya alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini telah dimuat di berbagai media, seperti: Kompas Klasika, Suara Merdeka, Republika, Pikiran Rakyat, Radar Bromo, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Haluan Padang, Bangka Pos, Pontianak Post, Majalah JAYA BAYA, Majalah UTUSAN, Harakatuna.com, Maarif NU Jateng, dan Magrib.id. Buku tunggalnya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam (Stiletto Indie Book, Juni 2019), Pijar (LovRinz Publishing, Maret 2022). Telah mengikuti Kelas Menulis Cerpen Online dan Kelas Puisi Online bersama Writerpreneur Academy (2019-2020). Penulis dapat dihubungi melalui email; reniasih17@gmail.com