Oleh: Fathorrozi
Dikisahkan di dalam kitab Ihya Ulumiddin, Hujjatul Islam, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, atau yang lebih populer dengan nama Imam al-Ghazali, bertutur bahwa pada suatu hari Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, dan Abdullah bin Ja’far berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.
Di kala mereka merasa sangat kepayahan dan didera haus serta lapar yang tak tertahankan sebab barang bawaan yang teramat berat, mereka bertemu dengan seorang perempuan tua yang sedang duduk di depan rumahnya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah di sini ada minuman?”
“Ya, di sini ada minuman,” jawab perempuan tua tersebut.
- Iklan -
Mereka pun memasuki rumah perempuan tua itu. Ternyata, ia tidak mempunyai minuman, kecuali seekor kambing kecil yang terikat di samping rumahnya. Lalu ia berkata, “Silakan perah susu kambing itu, lalu minumlah darinya!”
Spontan mereka memerah susu kambing tersebut, kemudian meneguknya.
“Kami juga sangat lapar, apakah ada makanan yang dapat kami makan?” tanya sebagian mereka kepada perempuan tua itu usai meminum susu.
“Saya tidak punya makanan, kecuali kambing itu. Jika kalian berkenan, silakan sembelih kambing itu, saya siap memasakkannya untuk kalian,” respon si perempuan tua.
Lalu, seorang dari mereka menyembelih kambing tersebut dan mengulitinya. Kemudian si perempuan tua dengan sigap memasak daging kambing itu dengan masakan yang lezat sekali. Setelah masak, mereka segera memakannya, lalu numpang istirahat di rumah si perempuan tua sampai kondisi cuaca di luar tidak lagi menyengat.
Ketika hendak meneruskan perjalanan, mereka berkata kepada perempuan tua itu, “Kami adalah rombongan dari suku Quraisy yang sedang melakukan perjalanan. Jika kami pulang dalam keadaan selamat, carilah kami. Kami ingin membalas perbuatan baikmu ini.” Lalu, mereka pun berlalu dan menghilang di balik tikungan.
Beberapa saat setelah itu, suami dari perempuan tua itu datang. Si perempuan tua lantas langsung menginformasikan padanya tentang rombongan tersebut dan perihal kambing yang telah dimasak untuk menolong mereka yang tengah kelaparan. Menanggapi hal tersebut, seketika suaminya marah. Marah yang tak kepalang tanggung.
“Celaka kamu! Kamu telah menyembelih kambing saya utuk rombongan yang tidak kamu kenal. Dan kamu mengatakan bahwa rombongan itu dari suku Quraisy,” serang suami perempuan tua.
Selang beberapa bulan setelahnya, suami istri itu mempunyai kepentingan yang mengharuskan mereka untuk pergi ke kota Madinah. Untuk melakukan perjalanan ke kota Madinah itu, keduanya telah menjual hewan tunggangannya. Dari uang hasil penjualannya itu pula, mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Saat keduanya sampai di Madinah dan melewati beberapa jalan di sana, tidak mereka sadari, Sayyidina Hasan bin Sayyidina Ali sedang melihatnya. Sayyidina Hasan melihat perempuan tua itu, sementara si perempuan tua tidak melihat Sayyidina Hasan. Lalu, Sayyidina Hasan menyuruh budaknya untuk memanggil perempuan itu.
Sesaat setelah perempuan tua itu berada di hadapan Sayyidina Hasan, ia berkata padanya, “Wahai hamba Allah, apakah kamu mengenal saya?”
“Tidak,” jawab perempuan itu.
“Dulu, saya pernah menjadi tamumu,” sahut Sayyidina Hasan.
“Demi ayah dan ibu saya, betulkah itu adalah kamu?” tanya perempuan itu agak terperangah.
“Betul, itu saya,” jawab Sayyidina Hasan tegas.
Kemudian Sayyidina Hasan menyuruh teman-teman rombongannya yang dulu untuk memberikan seribu kambing kepada perempuan tersebut sebagai sedekah. Ia juga memberikan uang kepada perempuan itu sebanyak seribu dinar.
Lalu, budak Sayyidina Hasan mengantarkan perempuan itu menuju kediaman Sayyidina Husain. Sesampainya di kediaman Sayyidina Husain, ia bertanya kepada perempuan itu, “Berapa yang kamu terima dari saudara saya?”
Perempuan tua itu segera menjawab, “Seribu ekor kambing dan seribu uang dinar.”
Tiba-tiba Sayyidina Husain juga memberikan seribu ekor kambing dan seribu dinar kepada perempuan tersebut. Setelah itu, Sayyidina Husain menyuruh budaknya untuk mengantar perempuan itu ke rumah Abdullah bin Ja’far.
Setibanya di rumah Abdullah bin Ja’far, ia bertanya kepada perempuan itu, “Berapakah yang kamu terima dari Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain?”
Perempuan tua tersebut menjawab, “Mereka berdua telah memberi saya dua ribu ekor kambing dan dua ribu uang dinar.”
Tiba-tiba Abdullah bin Ja’far menimpalinya, “Jika pertama kali yang kamu temui adalah saya, niscaya saya akan membuat mereka berdua merasa kerepotan.” Akhirnya, perempuan itu pergi menemui suaminya dengan membawa empat ribu kambing dan empat ribu dinar.
Kisah agung ini mengajarkan kepada kita agar gemar menolong sesama yang tengah dilanda kesusahan dan dililit kesulitan. Mengajak kita untuk membuka mata serta tangan untuk membantu derita orang lain dan meringankan beban kekalutan mereka.
Maka dari itu, pada momen menyambut hari raya kurban ini, mari keluarkan sebagian harta kita untuk berbagi kebahagiaan kepada para saudara dan tetangga kita, terutama mereka yang mempunyai keterbatasan untuk sekadar mencari sesuap nasi. Mari kita berbagi dengan niat mendekatkan diri kepada Allah serta meraih ridha-Nya.
Islam mengajarkan kita untuk menjadi umat yang dermawan, serta melarang kita untuk menjadi manusia yang bakhil, kikir atau pelit. Seperti yang Rasulullah contohkan. Beliau merupakan sosok panutan yang paling dermawan dan tidak pernah menolak jika dimintai sesuatu. Sebab, dengan bersikap dermawan, kita akan menjadi makhluk yang dekat dengan Sang Khalik, akan menjadi manusia yang disenangi manusia lainnya, serta dirindukan oleh surga.
Dalam hadis riwayat at-Tirmidzi, Rasulullah bersabda, “Orang dermawan (suka berbagi kepada orang lain) itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang pelit akan jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka.”
Wallahu a’lam bi shawab …
*Fathorrozi, penulis lepas, tinggal di YPI Qarnul Islam Ledokombo Jember.