Oleh Fathorrozi
“Hikmah adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Jika ia menemukannya di mana saja, maka ambillah!” demikian sabda Nabi Muhammad dalam hadis riwayat At-Tirmidzi.
Nabi Muhammad menyebut hikmah laksana barang yang hilang bagi orang yang beriman, sebab tak hanya orang dengan kadar iman biasa-biasa saja, orang-orang dengan iman kokoh sekalipun kadang lengah mengambil hikmah kehidupan. Orang beriman yang memiliki ilmu hikmah, hidupnya tidak akan pernah gelisah, galau dan merana. Dalam kondisi apa pun, ia akan menemukan jalan keluar dari setiap problem yang menimpanya.
Hal ini sesuai dengan janji Allah dalam surah At-Thalaq ayat 2-3, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
- Iklan -
Hikmah sejatinya adalah perspektif, sudut pandang, kacamata, dan cara kita menilai. Orang beriman yang bergelimang ilmu hikmah akan menyoroti segala sesuatu dengan husnuzan, berprasangka baik dan positif. Ia akan melihat kebaikan dari perilaku jahat orang lain terhadapnya. Ia akan menemukan kebahagiaan dalam kemelut kesedihan. Ia akan memetik ketabahan dari musibah yang datang silih berganti. Ia akan tumbuh matang seiring kematangan nalar pikir positifnya. Ia akan menjadi pribadi yang tegar seperti batu karang di tengah hantaman gelombang, yang menganggap gelombang sebagai belaian kasih sayang laut kepada dirinya.
Jika hikmah telah tertanam dalam sanubari dan mendarah daging dalam palung jiwa, maka semua yang telah ditakdirkan Allah, ia yakini pasti yang terbaik. Orang dengan berilmu hikmah jika dihinggapi rasa sakit, ia tetap bahagia. Ia akan anggap sakitnya adalah ujian dari Allah, pembebas dosa, penghapus kesalahan, dan waktu yang tepat untuk semakin ingat serta lebih dekat dengan Allah, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ayyub alaihis salam.
Demikian pula, jika ia didera kemiskinan. Ia tetap selalu bersyukur. Ia berpikir bahwa miskin adalah takdir yang terbaik untuknya. Sebab, bisa jadi jika ia kaya, khawatir malah jatuh dalam jurang kesombongan dan jauh dari agama Allah, sebagaimana yang dialami Qarun. Dengan bersyukur, seseorang akan meraih kasih sayang Allah dan akan ditambahi kenikmatan. Sebagaimana Allah tegaskan dalam Al-Qur’an surah Ibrahim ayat 7, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”
Alasan Hidup dengan Hikmah
Mengapa dalam hidup kita harus pandai mengambil hikmah? Pertanyaan ini dijawab oleh Habib Husein Ja’far Al-Hadar dalam buku terbarunya, Seni Merayu Tuhan. Dalam buku tersebut, beliau menyebutkan lima argumen.
Pertama, karena kita mustahil mengubah sesuatu yang sudah terjadi. Sesuatu yang sudah terjadi itu milik Allah, bukan lagi milik kita. Maka, daripada meratapi, lebih baik kita ambil hikmahnya untuk antisipasi agar keburukan serupa tidak terulang kembali. Pola pandang kita harus ke depan, agar tidak menabrak. Menoleh ke belakang sesekali saja, seperti spion, dengan tujuan hanya untuk ambil hikmah.
Kedua, karena kita diajari Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 216, “Tetapi, boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.” Jadi, apa pun keburukan yang terjadi kepada kita, ambil hikmahnya saja, sebab bisa jadi itu yang terbaik dari Allah untuk kita.
Ketiga, hikmah membuat kita belajar kepada siapa pun. Hikmah bahkan bisa kita peroleh dari orang berperilaku buruk sekalipun, tidak seperti ilmu yang hanya bisa diambil dari orang alim. Artinya, dari orang buruk kita bisa ambil hikmah bahwa jika kita buruk, maka hidup kita akan susah atau apa pun hikmah yang bisa diambil darinya sebagai pelajaran agar kita enggan menjadi orang berperilaku buruk.
Keempat, hikmah membuat kita mengerti misteri kebaikan yang Allah simpan di balik keburukan yang sedang menimpa kita. Tanpa meyakini adanya hikmah, kita hanya melihat dan melakoni bencana saja dan abai terhadap kabar gembira yang tersimpan di baliknya. Sehingga, segala hal buruk yang menimpa kita, akan semakin terasa buruk. Seperti orang minum obat. Jika hanya memandang pahitnya saja, maka ia tak akan meminumnya. Tetapi, jika ia yakin terdapat kesembuhan di balik obat yang pahit itu, maka dengan senang hati ia akan meminum obatnya, hingga rasa pahit tidak lagi terasa di lidahnya.
Kelima, hikmah mengajarkan kita untuk memandang segala sesuatu secara luas. Misalnya, tahi lalat di wajah. Jika yang dilihat sebatas tahi lalat saja, seolah-olah itu buruk. Namun, jika dilihat secara luas, justru keberadaan tahi lalat di wajah membuat seseorang semakin tampak manis.
Akhirnya, marilah kita pandai-pandai mengambil hikmah dalam menapaki hidup. Jangan maki sesuatu yang telah ditakdirkan untuk kita, ambil hikmahnya saja! Semakin pandai kita memetik hikmah, hidup kita semakin positif, optimis, baik, dan begitu indah. (*)
*FATHORROZI, penulis lepas, tinggal di YPI Qarnul Islam Ledokombo Jember.