Cerpen Moh. Romadlon
Rusman duduk lesu di batu berlumut. Ia betul-betul kehausan sekarang. Andai ada setetes saja itu sudah membuatnya lebih baik. Akan tetapi ia tidak punya sedikit pun bekal. Ia pun tidak mengerti harus minta tolong pada siapa. Anak, sanak atau siapa pun tidak pernah ada yang berkunjung. Sepertinya betul-betul tidak ada yang bisa diharapkan.
Sementara sebagian orang yang seperti dirinya masih terlihat lahap menyantap aneka hidanganya masing-masing. Raut mereka terlihat berseri-seri. Sebagian lagi, sudah rampung dengan santapannya, lalu siap beristirahat dengan tenang.
Layaknya sebuah paket, hidangan-hidangan itu dibawa oleh kurir. Setiap saat kurir akan mondar-mandir mengantarkan pesanan ke setiap orang sesuai nama pada paket. Tidak pernah tertukar. Semua dapat bagiannya masing-masing. Dalam sehari, satu orang bisa menerima dua tiga paket, bahkan ada yang sampai puluhan. Dan pada waktu-waktu tertentu hidangan itu diserahkan langsung oleh anak-anak mereka. Ya, hanya Rusman yang belum pernah dibesuk atau mendapat paket.
- Iklan -
Dari tempatnya sekarang, Rusman hanya bisa memandang iri sambil sesekali menelan ludah yang terasa pahit. Ia betul-betul nelangsa. Satu dua bulir air mata tak terasa menetes.
“Dari sejak tinggal di sini kulihat kau selalu murung dan pucat.” Seorang lelaki yang mengenalkan diri sebagai Salim menghampirnya. Ia baru saja menyantap hidangan yang dikirim Sam, anak tunggalnya. Sam memang rajin membesuk atau sekadar mengirim hidangan dari mana pun ia berada. Salim sangat gembira.
Keringat dan air mata yang diinvestasikan dulu agar Sam bisa tetap belajar di pesantren terbayar lunas. “Apakah tidak ada yang menjenguk atau mengirimkan hidangan seperti lainnya?”
Rusman menggeleng. “Aku tidak tahu.”
“Kalau ada yang menjenguk atau kirim hidangan pasti kau tahu. Si Kurir pasti tidak pernah salah memberikan,” terang Salim.
“Berarti aku belum pernah.”
“Ini aneh. Apakah kau tidak punya anak, saudara, atau sanak?”
“Tentu punya. Anak tiga. Saudara banyak.”
“Tiga?!” Salim kaget. “Itu sudah lebih dari cukup. Anakku satu, Sam saja, aku tidak kekurangan. Belum saudara dan kerabatku. Mereka sering mengirimiku. Terus bagaimana mungkin anak-anak, atau saudara, atau kerabatmu tidak ada satu pun yang peduli. Bagaimana mungkin tidak ada yang mau menjenguk atau sekadar mengirim hidangan. Apakah mereka tidak tahu kalau orang-orang seperti kita sangat membutuhkannya? Itu mustahil.”
Namun kenyataannya begitu. Rusman belum pernah menerima apa pun dari siapa pun.
“Aku ingin sekali menerima kiriman hidangan sepertimu. Kau tahu caranya?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya menerima. Barangkali Si Kurir lebih tahu. Tanyakan saja padanya. Tapi nanti. Sekarang kau tampak sangat kehausan. Aku ada sisa minum barang beberapa teguk. Kau mau?”
“Nanti kalau kau haus?”
“Aku yakin tidak. Sam selalu mengirim paket sebelum kubutuhkan. Minumlah.” Salim menyodorkan gelas pertama. Rusman tidak kuasa menolak. Kerongkongannya memang sudah betul-betul kering. Namun ia tidak berhasil meminumnya. Ketika gelas itu tersentuh tangan dan hendak diarahkan ke mulut, gelas itu seketika pecah.
“Pelan-pelan saja. Akan kuambilkan lagi.” Salim beranjak dan lekas kembali dengan segelas air. Lagi-lagi gelas itu pecah saat tersentuh tangan Rusman.
“Ini gelas terakhir. Biar aku bantu,” ujar Salim dengan gelas ketiga. Ia tidak menyerahkan pada Rusman tetapi langsung mengarahkan ke mulutnya. Gelas tidak pecah, tetapi air tumpah persis saat seinci lagi menyentuh mulut Rusman.
Salim menggeleng tidak percaya. Sementara Rusman menitikan air mata. Paling Si Kurir yang bisa membantumu, temuilah dia, kata Salim.
***
Rusman benar-benar mengikuti saran Salim. Ketika Si Kurir melintas ia langsung menghentikannya. Baru kali ini Rusman melihat Si Kurir dengan jelas. Dia terkesima. Sepintas tidak ada yang aneh pada sosok Si Kuris namun Rusman yakin kalau ia bukan seperti dirinya. Sosok berjubah putih itu seperti tidak tersusun dari sel-sel melainkan dari jutaan butir cahaya. Butiran tersebut menyatu membentuk bagian-bagian tubuh dari ujung rambut hingga ujung jari kaki. Setiap bagian tubuh bergerak selalu melentikkan pendaran cahaya putih kebiruan yang begitu lembut.
“Ada apa?” tanya Si Kurir, lembut.
“Aku begitu haus dan lapar. Aku ingin sekali mendapatkan kiriman hidangan seperti Salim atau lainnya. Apakah kau tahu cara mendapatkannya?” Rusman mengiba.
“Tolonglah aku…”
“Itu mudah. Sebutkan saja orang-orang yang ingin kau mintai kiriman. Bisa anak, saudara, kerabat, atau siapa pun yang kau kehendaki. Sebutkan saja keinginanmu nanti saya sampaikan.”
“Semudah itu?!” Rusman begitu gembira. Bahkan, sejak resmi menghuni tempat ini, baru kali ini Rusman terlihat segembira sekarang. Ia pun segera menyebut tiga anaknya. “Bilang pada anak-anakku, Ayah minta dikirimi hidangan.”
“Barangkali ada permintaan khusus?”
“Tidak. Terserah mereka saja. Mereka pasti tahu kesukaan ayahnya.”
Si Kurir segera menjalankan tugasnya. Rusman menunggu dengan perasaan berbunga. Ingatan-ingatan masa lalu tentang ketiga anaknya menari-nari di pelupuk mata. Tentu ingatan yang membahagiakan. Memang di mata Rusman, ketiganya sangat membahagiakan dan membanggakan.
Ketiga anaknya tumbuh sesuai dengan apa yang diimpikan. Mereka menjadi pejabat dan berlimpah harta. Yang sulung menjabat kepala bidang di kementrian kehakiman, yang tengah jadi duta besar di sebuah negara Eropa, sedang yang bungsu menjadi komisaris di bank nasional. Kerja keras dan milyaran uang yang habis demi menghantarkan mereka ke tangga kesuksesan terbayar lunas. Saking bangganya, setiap mengobrol dengan kerabat atau tetangga, atau dengan siapa pun bibir Rusman selalu basah dengan kisah kesuksesan si anak. Tentu sebagian dari mereka telah benar-benar muak mendengarnya. Namun Rusman tidak pernah peka. Terus saja bercerita dengan sepenuh dada.
Ya, Rusman terus mengelu-elukan mereka, meskipun sejak hidup mandiri, mereka jarang menjenguk Rusman. Tidak pasti sekali setahun bisa pulang, hanya sesekali telepon, dan bila dihubungi duluan via telepon pasti selalu keluar ucapan, “Sudah dulu, aku lagi sibuk.” Atau “Jangan lama-lama, aku sedang banyak kerjaan.” Dan ketika dimintai uang selalu bilang, “Uang terus. Uang terus. Kan kemarin sudah. Aku juga banyak kebutuhan.”
Namun kali ini Rusman yakin, sangat yakin, kalau anaknya akan menitipkan banyak sajian untuknya. Pasti mereka tahu kondisi ayah mereka sekarang bukan saudagar kaya raya seperti dulu. Ayahnya mereka sekarang sangat miskin, lapar dan kehausah. Bahkan paling merana dan sengsara di antara orang-orang yang seperti dirinya. Ayah mereka betul-betul tidak berdaya dan sangat membutuhkan pertolongan. Maka, dia begitu bergairah ketika Si Kurir mendekati dirinya.
“Mana paketnya? Saya sudah tidak sabar menyantapnya?”
Si Kurir menggeleng.
“Apa maksudmu?”
Si Kurir menjelaskan bahwa dia sudah menemui ke tiganya tetapi tidak ada satu pun yang mau menitipkan paket.
“Tidak mungkin!”
“Kata mereka, kau yang melarangnya.”
“Bohong!!”
“Aku tidak bisa berbohong.”
“Anak-anakku yang berbohong.”
“Aku tidak tahu. Tetapi mereka juga tidak percaya padaku. Mereka menganggap kiriman tidak akan sampai di tujuan. Untuk apa mesti kirim segala kalau tidak akan sampai. Dan kata mereka, itu yang kau ajarkan pada mereka.”
“Dasar anak durhaka!!” Rusman murka. Ia tidak menyangka anak-anaknya begitu tidak peduli pada kondisi dirinya sekarang. Bahkan mereka tega menuduhnya. Ia betul-betul iri pada Salim yang hampir setiap saat mendapat kiriman dari Sam.
“Adakah cara lain?” tanya Rusman pada Si Kurir.
Si Kurir mengusulkan agar meminta pada saudara dan kerabat. Rusman setuju. Namun hasilnya nihil. Si Kurir kembali dengan tangan kosong.
“Mereka tidak mau karena katanya kau yang melarangnya. Persis seperti ucapan anak-anakmu.”
Rusman memaki-maki dengan perasaan putus asa.
***
“Kulihat kau sudah bertemu Si Kurir? Bagaimana hasilnya, sudah ada yang kirim hidangan?” tanya Salim setelah rampung dengan hidangan hari ini.
“Sial. Aku betul-betul sial, Lim. Bayangkan, tidak ada satu pun yang mau mengirimi aku. Anak, saudara, kerabat sama saja, tidak ada yang peduli. Padahal mereka itu kaya raya. Hidupnya bergelimang harta. Dasar pelit!”
“Saudaraku, masalah kiriman tidak ada kaitan dengan harta benda. Tidak. Ini hanya soal mau atau tidak mau. Dan lagian orang-orang yang sudah meninggal seperti kita tidak butuh kiriman dari harta benda.”
“Terus hidangan itu, makanan dan minuman yang selama ini kau santap itu terbuat dari apa, dibeli dengan apa?”
“Itu terbuat dari tahlil, tahmid, dan salawat. Dari surat Al Fatihah, Al Falaq, An Nas dan surat Al-Quran lainnya. Dari doa-doa yang dibaca dan dihadiahkan oleh anak, saudara, kerabat untuk kita saat tahlilan, selamatan, kenduri.”
Rusman melongo. Ia baru paham kenapa tidak ada orang yang mau mengirimkan hidangan padanya. Semasa hidupnya ia memang sangat membenci acara kirim doa atau apa pun untuk mayit. Ia yakin kiriman itu tidak akan sampai. Ia pun melarang anaknya untuk ikut-ikutan melakukan perbuatan sesat itu.
“Kalian jangan ikut-ikutan,” kata Rusman pada ketiga anaknya. “Itu sesat. Itu budaya animisme dan dinamisme. Dan ingat, kalau kelak Ayah mati jangan sekali-kali dibacakan tahlil atau ritual semacamnya.
Ayah tidak butuh. Kalian juga harus melarang saudara, kerabat, atau siapa pun yang melakukan untuk Ayah. Ingat itu!!”
Sekarang Rusman masih duduk di atas batu nisan berlumut itu, dan selama akan terus begitu. Di situ. Tentu sambil terus menahan dahaga dan lapar. Tentu sambil memandang kelahapan orang-orang seperti dirinya ketika menyantap sajian. Dan andai kau adalah aku, si batu nisan itu, kau akan iba melihatnya. (*)
MOH. ROMADLON, lahir di Kebumen,12 Agustus 1977. Tulisan-tulisanya berupa cerpen, cernak, dan resensi sudah dimuat di berbagai media seperti Radar Banyumas, Koran Merapi, Harian Republika, Tabloid Cempaka, Radar Surabaya, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Rima news, Koran Jakarta, Annida online, Okezone, Kompas.com, Radarseni, Wawasan, Malang Post, Koran Jakarta, dll