Oleh: Hilal Mulki Putra
Sesaat penulis mengunjungi sebuah madrasah di Kudus, tepatnya di MI NU Banat penulis secara tiba-tiba atau tanpa diduga merasakan kultur nilai ahlussunah waljamaah dalam lembaga pendidikan tersebut sangat kentara sekali. Mulai dari bagaimana basis amalan, kultural, hingga khasanah keilmuan tak lepas dari aqidah ahlussunnah wajlama’ah.
Yang lebih kentara lagi, bila penulis amati adalah multikulralisme antara aqidah aswaja dan budaya jawa yang sering disebut dengan multikulturalisme “perpaduan dua atau lebih norma budaya yang berpadu jadi satu”.
Multikultarisme dalam hal kebudayaan dan keagamaan telah berlangsung dari zaman Walisongo saat menyebarkan ajaran agama, mulai dari Sunan Kalijaga yang menyebarkan islam dengan kesenian wayang, Sunan Muria dengan tabuh gamelannya hingga Sunan Kudus yang menyiarkan Islam dengan perpaduan bangunan Hindu dan Islam.
- Iklan -
Seperti disebutkan diatas, disebutkan tentang multikultarisme dalam kesuksesan penjabaran agama Islam di Nusantara terlebih di Tanah Jawa. Andai kita sebagai calon guru ataupun yang telah menjadi seorang pendidik mau mengaplikasikan metode ini sebagai hal kultur dan pembelaran madrasah. Maka, selayaknyalah pendidikan dijamin akan mengalami transformasi yang siginifikan.
Melihat era akselerasi teknologi saat ini yang sangat pesat, jika tidak diimbangi dengan aselerasi moral maka hanya akan menambah permasalah dalam ranah pendidikan di tanah air. Bisa kita lihat sekarang berapa banyak siswa yang kini kurang menghargai guru sebagai pendidik dan fasilitator, banyak guru yang lupa akan pengajaran budi pekerti yang baik dan masih banyak hal lain yang bisa dijadikan contoh dalam kasus sistem pendidikan kita.
Teknologi dan pendidikan islam
Pendidikan merupakan senjata ampuh untuk menyelaraskan antara moral dan akal dalam kehidupan, jika dulu pendidikan hanya dianggap sebatas alat pengentas kebodohan. Maka, selayaknyalah sistem pendidikan tersebut haruslah terus bertansformasi tanpa bosan untuk menyesuaikan dengan zaman dan kebutuhan.
Pendidikan saat ini dihadapkan dengan teknologi yang bisa menjadi dua belah mata pedang “bisa menjadi senjata ampuh atau boomerang yang merugikan”. Contoh mudah saja, kini kita dimudahkan dengan adanya zoom, dimana media pertemuan secara virtual ini dapat menjadi media yang menjadi akses lebih luas “fleksible” dalam menyikapi waktu dan tempat dalam proses pembelajaran.
Namun, perlu diingat kita juga perlu mawas diri tentang perkembangan dimana, antara teknologi digital dan proses pendidikan secara kultural ahruslah saling beriringan. Bukan tak mungkin, pendidikan yang disepadankan dengan nilai-nilai historis kultural “agama dan budaya” akan membentuk kecakapan, karakter dan budi pekerti siswa yang diharapkan.
Berpadunya aqidah dan budaya
Aqidah adalah salah satu hal yang harus dimiliki oleh setiap umat islam, Kata aqidah terambil dari kata bahasa Arab ‘aqada yang berarti mengikat dengan kuat. Dari situ lahirlah makna kepercayaan yang kuat karena ini berarti mengikat pada yang mempercayainya sehingga hatinya tidak beranjak dari apa yang telah dipercayai.
Dalam prakteknya aqidah sendiri telah mendarah daging dalam benak hati setiap manusia, namun seringkali kita haruslah memperkuat keanggunan aqidah itu sendiri dengan budaya. Mengapa hal ini harus dilakukan? Karena tidak lain untuk menyelaraskan antara aqidah yang harus senantiasa di jaga dan budaya yang harus dilestarikan.
Pendidikan Islam sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad SAW, para sahabat hingga puncaknya di Tanah Jawa dilanjutkan ulama’ walisongo terus mengalami tranformasi yang dipadukan dengan budaya.
Hal ini bertujuan untuk memberikan edukasi seputar agama yang tak antipasti akan budaya. Sehingga, dalam ranah pendidikan Islam akan menghasilkan kultur yang damai dan sentosa dalam membina aqidah umat Islam.