Cerpen A. Warits Rovi
Emak duduk hanya pada belah tempurung, menyorong kayu ke dalam tungku, memandang api lama sekali. Seolah dalam api itu ada peristiwa ajaib yang ia lihat. Aku melihat Emak dari belakang, hingga tampak uban putihnya menyembul di tepi kerudungnya yang melabuhi lelehan peluh mengkilap di lehernya. Setelah kudekati, ternyata Emak menangis, tergesa menghapus air matanya dengan ujung kerudungnya. Pura-pura tegar meski aku tahu, Emak merasakan sebuah irisan di dadanya.
“Kenapa menangis, Mak?”
“Siapa menangis, mata Emak berair karena perih terkena asap dari tungku,” ucap Emak berbohong demi menenangkanku. “Kamu jangan dekat-dekat ke tungku ini, ayo cepat pergi! Biar matamu tidak perih,” lanjut Emak sambil menepuk punggungku dua kali. Aku pun berdiri dan melangkah pelan tinggalkan Emak. Tapi semakin hari, aku semakin mengerti siasat Emak. Bahwa ketika ia berlama-lama di depan tungku, biasanya ia sedang menangis, jika ia ketahuan menangis, maka ia dengan mudah akan berdalih perih karena terkena asap.
- Iklan -
Seiring usiaku yang kian dewasa, aku sedikit paham jika Emak sering menangis, karena kehidupan Emak memang dekat dengan air mata. Keseharian Emak senantiasa berhadap-hadapan dengan medan hidup yang terjal dan tandus. Dini hari, jauh sebelum azan subuh berkumandang, ia sudah bangun untuk menganyam tikar daun siwalan. Usai salat subuh ia harus menempuh jalan setapak yang naik-turun untuk menimba air. Setelah menimba air—sebelum matahari terbit—Emak akan melawan jarum dingin, berbekal senter menuju sawah untuk menyabit rumput. Sepulang dari sawah, ia harus memasak di dapur, sambil berseling langkah, membersihkan kandang, dan memberi makan ternak. Setelah itu, masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan walaupun kini tubuhnya tampak ringkih, sebatas lelukan kerangka dibalut kulit yang mulai mengeriput.
“Andai ayah tidak beristri lagi, mungkin kita tidak seperti ini, Mak,” ungkapku suatu saat, ketika kami duduk bersisian di lincak bambu. Tapi Emak hanya tersenyum mendengar kata-kataku. Matanya nyala kemilau, mengisyaratkan keadaan jiwanya yang tegar menahan cobaan.
“Hidup bukan seandainya, Mid. Kamu tidak usah memikirkan itu. Jalani saja apa yang sudah terbentang di depanmu. Meski Emak seorang diri dan memasuki masa tua, tapi hati Emak tetap muda untuk selalu mendampingimu,” tutur Emak sambil mengusap rambutku. Kuhidu aroma asap di tubuhnya, menguarkan tanda hidup yang getir. Tapi, seperti apa pun getirnya hidup, apabila sudah ada di pelukan Emak, rasa manis begitu terasa. Emak memeluk tubuhku sambil melinangkan air mata.
#
Aku tahu—dalam urusan perjodohanku—Emak tak pilih-pilih menantu, asal perempuan yang akan kunikahi itu baik, tapi aku tidak tahu apakah Lin juga tak pilih-pilih calon mertua. Lin sudah setahun jadi pacarku, tapi belum pernah ia bertemu Emak. Aku sengaja tidak mempertemukan Lin dengan Emak meski selama ini Lin selalu memintaku agar ia dipertemukan dengan Emak. Hanya saja aku tidak siap membawa Lin ke rumah, yang jelas Emak akan bahagia bertemu Lin, tapi tak menutup kemungkinan Lin akan terluka bertemu Emak bersama dengan segenap pemandangan rumahku yang serba rusak dan kotor.
“Sepulang dari kantor perusahaannya, Ayah selalu menemuiku di ruang keluarga. Ia kerap menanyakan hubunganku dengan kamu, Mas,” kata Lin kepadau.
“Lalu?”
“Ayah ingin berkunjung ke rumah Mas Hamid,” ucap Lin membuatu terperanjat seperti mendengar ledakan bom.
“Berkunjung ke rumah? Untuk apa?”
“Ingin silaturrahmi dengan keluargamu, Mas. Bisa kan?”
Aku memegang tangan Lin, di antara balutan kulit yang kenyal dan putih itu, seluruh suara jiwaku yang nelangsa terasa bergetar. Ada yang hendak keluar dari sudut mataku. Tapi masih bisa kutahan; dingin dan lembap.
“Mas!”
“Iya, Dik. Bisa kok,” kutelan ludah getirku, terbayang wajah Emak di balik helai uban, duduk menangis di depan tungku, di dalam dapur yang penuh jelaga, dan gedek rusak di mana-mana. Dan bila langit sedang hujan, genting yang bocor mempersila air hujan masuk ke dapur kami, melengkapi air mata Emak.
#
Kini aku pasrah pada apa pun yang terjadi setelah kemarin Lin dan keluarganya berkunjung ke rumah. Kurang lebih satu jam Lin dan keluarganya mengobrol dengan Emak dan aku di beranda rumah berlantai tanah. Pak Budi, ayah Lin terlihat menggerakkan bola matanya ke sana kemari, mengamati keadaan rumahku yang hanya terbuat dari gedek, sambil lalu kadang kala ia membetulkan posisi duduknya di atas lincak bambu, barang sepotong dua potong, ia juga mengunyah singkong rebus—hidangan Emak—yang dilengkapi semangkok sambal kacang, sebelum akhirnya mematung diam entah kenapa.
Sedang ibu Lin selalu menutup mulutnya dengan syal warna jingga, tak sedikit pun ia memakan singkong rebus yang Emak hidang. Ia tak banyak bicara, kecuali kalau Emak mengajukan tanya, itu pun ia jawab dengan suara yang dipaksakan. Dan Lin, wajahnya sulit kubaca apakah ia bahagia atau tidak setelah melihat langsung keadaan keluarga dan rumahku. Lin hanya duduk, jari jempolnya menggeser-geser layar ponsel, sambil sesekali melihat ke arah kami, turut bercakap, kadang tertawa, dan kadang terlihat murung, seperti tenggelam memikirkan sesuatu.
Aku tertunduk seraya mengelus dada; betapa kontras keadaan keluargaku dengan keluarga Lin. Angin pedusunan mengipas tubuh kami dengan sesunggi aroma jagung muda rekah kembang. Lenguh sapi dan kokok ayam berkali-kali pecah di titik jeda obrolan kami. Dan Emak sangat berapi-api berbicara banyak hal, aku tahu Emak bermaksud menghormati calon besan dan menantu. Kerap kali ia tertawa renyah. Emak berbicara banyak hal, bahkan hingga hal kecil yang sebenarnya sangat memalukan bila dibicarakan. Tapi begitulah Emak, orang dusun, punya seekor kambing pun sudah terasa luar biasa, dan menganggap orang lain akan kagum bila diceritakan. Emak terus bercerita, meski belum tentu apa yang diceritakan didengar oleh keluarga Lin. Setelah Lin dan keluarganya pulang, Emak berbisik di telingaku, “Aku sangat bahagia punya menantu secantik dia, hehe,” kata Emak sambil menghentak-hentakkan kaki. Aku hanya tersenyum.
Emak masih tertawa hingga hari ini, dan baru kali ini ia terlihat sangat bahagia. Jauh di dasar matanya seperti dipenuhi mutiara. Lengkung bibirnya yang ditoreh garis kering, kini kerap tersungging walau tak ada sesuatu yang lucu. Ke dapur, ke pekarangan, ke halaman, ke kamar mandi, wajah Emak terlihat semringah daripada hari-hari yang lalu.
Pokoknya, kini aku siap pada keputusan Lin, apakah ia tetap mencintaiku setelah melihat keadaanku atau malah balik memotong cintanya kepadaku. Pokoknya aku tak ingin seperti ayah, yang pergi meninggalkan Emak karena tak kuat dengan kemiskinan. Aku ingin tegar seperti Emak, tak kalah dan tak menyerah kepada air mata. Mampu membuat senyum di tengah kepungan air mata.
#
Lin duduk di bangku taman, tepat di sebelah barat tiang lampu warna-warni sebagaimana yang kami sepakati lewat telpon semalam. Lembar-lembar kelopak bunga yang terlepas dari tangkainya dihempas angin, berhamburan di kaki Lin.
Lin menoleh saat ia dengar langkahku. Tersenyum sesaat dan alih memandangi seekor kupu-kupu kecil yang tengah berusaha melepas tubuhnya dari lilitan jaring laba-laba. Aku duduk di samping Lin, lengan kanan merangkul bahunya. Lin tak menepis, membiarkan begitu saja, seraya ia lepas senyum, menoleh ke wajahku, mencubit pipi berkali-kali. Kami tertawa. Aku balas mencubit pipinya. Kami tertawa lagi.
“Cinta itu seperti bunga, Mas. Indah, rekah, dan wangi.”
“Bunga cinta harus kita jaga, kita siram dan kita rawat.”
“Pokoknya tergantung kita, apakah pohon bunga itu mau kita siram atau kita cabut.”
“Apa kau mau mencabut pohon bunga cinta kita?”
“Tidak. Aku ingin menyiramnya dan merawatnya sepanjang waktu. Meski..” Lin terdiam dan sejenak meremas telapak tanganku.
“Meski apa?”
“Meski kadang ada hama yang menyerang pohon bunga kita, Mas,” ungkap Lin selanjutnya. Ia cium tanganku. Daunan ditempias angin, gugur ke tubuh kami. Lalu kami jalan-jalan di taman itu hingga matahari menombak ubun kami dari pucuk angsana. Dan kami sama-sama pulang, setelah Lin mengatakan sesuatu kepadaku. Aku menggangguk kepada Lin. Lin tersenyum. Kami saling melambaikan tangan.
#
Emak menyorong kayu ke dalam tungku. Asap lodeh labu yang Emak masak membubung, menerabas sesorot cahaya matahari sore yang melentang kekuningan di antara lubang genting bocor dan cagak tua. Aroma lodeh labu kuhidu sedap sekali. Emak terus menyorong kayu meski ia tahu aku datang, wajahnya sedikit mendongak, tahulah aku kalau ia sedang menangis. Air mata leleh menyebar ke datar pipinya yang sebagain disapu jelaga. Tak seperti biasanya, kali ini Emak menangis begitu saja, tak lagi menunduk untuk menyembunyikan tangisnya kepadaku. Bahkan isaknya berkali-kali seperti sengaja dikeraskan agar aku tahu jika Emak menangis.
“Emak menangis?” tanyaku sopan. Tanganku memegang bahu kanannya. Emak hanya menggangguk. Ia langsung berterus terang, dan tak pura-pura perih dikena asap.
“Kenapa Emak menangis?”
“Karena Emak sangat bahagia punya menantu Lin. Ini tangis haru, Mid,” suara Emak serak, bersamaan ketika tangannya mengaduk lodeh pelan sekali. Aku hanya bisa diam, dan perlahan kata-kata Emak kutangisi dalam dada. Ingin rasanya aku berteriak atas luka ini. Emak terus mengharap Lin jadi menantunya, padahal tadi siang, ketika kami hendak pulang dari taman, Lin berterus terang kepadaku, bahwa ia tidak direstui oleh orang tuanya jika masih berhubungan denganku.
Aku tidak tahu bagaimana cara menyampaikan kabar buruk ini kepada Emak di saat Emak sedang bahagia dan menangis haru.
Rumah Filzaibel, 2022
Tentang Penulis:
A.Warits Rovi, Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra. Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472.