Cerpen Ilham Wahyudi
Mawar Berduri kekasihku …
Semoga kau tidak kecewa, sebab sudah lama tidak mendapat surat dariku. Seperti yang kau tahu, kesibukanku akhir-akhir ini sangatlah padat dan melelelahkan. Kondisi ekonomi yang kian tak terprediksi telah membuat kas negeri burung nyaris stadium 4. Ditambah pula meletusnya perang antara Negeri Beruang Putih dengan Negeri Tupai Tanah—yang pada akhirnya membuat harga-harga melambung tinggi tidak menentu.
O, ya, kau masih ingat burung-burung pemodal besar yang menyokongku pada pemilihan kepala suku yang lampau, Mawar Berduri? Sungguh, mereka teramat khawatir bisnis mereka terdampak akibat perang kali ini. Mereka pun mendesakku untuk bersuara mendamaikan perang yang berpotensi menjadi pemantik perang dunia ke 3.
- Iklan -
Kadang-kadang aku heran dengan permintaan burung pemodal besar itu. Apa hebatnya negeri burung, sampai-sampai suara kepala sukunya bisa didengar? Tapi kalau aku tolak permintaan itu, aku juga yang akan susah sendiri. Akhirnya aku pun mengikuti mau mereka. Dan itu membuatku menjadi sulit memejamkan mata belakangan ini—saat waktu istirahat tiba.
Syukurlah aku masih menyimpan fotomu; pengganti obat tidur yang dosisnya kadang bikin aku ngeri. Apakah kau masih menyimpan foto kita malam itu, Mawar Berduri? Malam pertama kali kita saling suap dengan bibir yang basah. Ah, aku rindu malam serupa itu.
Mawar Berduri pujaan hatiku …
Aku ingin sekali menyudahi semua sandiwara ini—sandiwara menjadi kepala suku. Sesungguhnya aku tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan selain hanya mengikuti maunya para burung pemodal besar. Jujur aku sudah bosan berpura-pura berkuasa di negeri burung ini. Ingin rasanya aku kabur bersamamu, hidup bersamamu, dan menua hingga maut menjemput. Setiap hari aku akan menulis puisi, kemudian membacakannya di hadapanmu, lalu bergelut di ranjang sampai pagi.
Tetapi lawan-lawan politikku di negeri ini sama saja brengseknya. Saking brengseknya mereka tak tahu malu masuk ke dalam lingkaranku; agar mereka mendapatkan jabatan sembari terus mengintaiku jatuh—lalu berebut menggantikan posisiku.
Sumpah, aku jijik melihat tingkah laku mereka. Di depanku mereka memuji-muji keputusan dan kebijakanku. Namun di belakangku, mereka menyusun siasat; menghasut dan mengadu domba para burung agar membenciku. Betapa palsu mereka! Apa mungkin estafet kekuasaan ini aku serahkan kepada burung-burung palsu?
Terus terang, aku sering juga berpikir menjadi kepala suku seumur hidup. Toh, kalau aku mau, para burung palsu itu mau bilang apa? Apalagi burung pemodal besar sangat senang kepadaku; pada kebijakanku. Akan tetapi aku sudah tidak kuat lagi menahan rindu kepadamu, Mawar Berduri. Setiap rapat dengan kepala daerah burung-burung, wajahmu selalu muncul di hadapanku. Sehingga burung-burung itu aku bayangkan adalah kau.
Pernah sekali waktu, saat rapat kenaikan pajak kepemilikan dahan pohon digelar, aku memanggil salah satu burung dengan namamu. Semua peserta rapat keheranan, sampai Nuri kepala keuangan negeri burung menegurku. Duh, betapa malu aku saat itu. Teramat malu, aku langsung saja membubarkan rapat dan meminta Nuri memberlakukan usulannya menjadi peraturan baru.
Kemudian hari, aku pun didemo burung-burung Pipit. Tentu saja, seperti biasanya, aku akan mengelak sambil beralibi, “Saya belum sempat membaca peraturan itu secara detail saat menandatanganinya.” Demo pun bubar, dan kebijakan itu aku batalkan.
Mawar Berduri pucuk jantungku …
Apakah kau pernah merasakan rindu kepadaku? Rindu yang begitu sangat, sehingga kau pun sulit mengibaratkannya. Oh, kalau saja kau tahu, aku sering sekali mengalami hal semacam itu.
Kau tahu Mawar Berduri, saat ini berat badanku nyaris turun separuh: aku begitu kerempeng mirip Nganu yang terkenal itu. Padahal makan-minumku tak ada yang tak bergizi. Tapi sungguh aku paham, mungkin inilah konsekuensi menjadi kepala suku di negeri burung; maksudku konsekuensi dari merindu kepadamu. Dan rindumu sungguh berduri; membuatku luka tapi tak mati.
Mawar Berduri, beberapa hari yang lalu aku berkunjung ke daerah yang mengalami kelangkaan bahan pangan. Dalam kunjungan itu, aku tak sengaja menemukan sebuah fakta yang cukup mencengangkan.
Begini ceritanya: saat aku berbincang-bincang dengan burung-burung yang sedang mengantre bahan pangan, tiba-tiba seekor burung hamil mendekatiku. Setelah puas mencubiti pipiku, dia mendadak memintaku mengelus perutnya, lalu berdoa semoga kelak burung keturunannya menjadi kepala suku burung. Aku yang masih terkejut dengan permintaannya itu, menjadi semakin terkejut mendengar doanya. Dalam hati aku bertanya, tidak adakah cita-cita yang lebih mulia di negeri burung ini selain menjadi kepala suku burung?
Andai saja burung-burung itu tahu kalau aku sesungguhnya tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan nasib mereka, pastilah mereka tidak akan sudi bercita-cita menjadi sepertiku. Tapi aku juga punya jawaban yang sahih sekiranya mereka mengetahuinya. Kau tahu apa jawabanku? Aku akan menjawab, jangan salahkan aku, salahkan Mawar Berduri, karenanyalah aku tak sempat lagi memikirkan kalian. Aku pikir itu jawaban yang cukup sakti untuk membela diri.
Mawar Berduri belahan jiwaku, sekian dulu suratku kepadamu. Baru saja beberapa menit yang lalu aku mendapat kabar kalau di depan istana sedang ada demo besar-besaran. Pengawalku memintaku untuk segera pergi dari pintu belakang untuk mengamankan diri. Nanti aku sambung lagi suratku kepadamu. Aku berjanji setelah permasalahan ekonomi, perang, dan kegaduhan yang dibuat para pendengung selesai aku atasi, aku akan melepaskan jabatanku ini dengan tenang. Aku akan menjemputmu, dan menikahimu. Kita akan pergi menyusul Hudhud mencari taman Simurgh, dan hidup bersama raja yang sesungguhnya.
Selamat menikmati musim berbunga, Mawar Berduri. Kumohon kau sabar dan tetap setia menungguku!
Tertanda.
Bulbul Bin Ngibul.
Jakarta Masa Pandemi, 2022.
Tentang Penulis:
*ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan ada yang ditolak. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.