Oleh Sam Edy Yuswanto
Dalam ajaran Islam, yang namanya utang itu harus dibayar lunas. Barang siapa yang pernah berutang kepada seseorang, misalnya berupa sejumlah uang, maka ia harus melunasinya. Jangan sampai seseorang sengaja melupakan utangnya, atau sengaja menunda-nunda membayarkannya, padahal ia telah memiliki uang yang cukup untuk melunasi utang tersebut.
Mungkin ada sebagian orang yang gemar sekali berutang ke sana-kemari, tapi anehnya ia hanya sekadar hobi berutang, tanpa ada iktikad baik untuk segera melunasinya. Bila ditagih, orang tersebut sengaja mangkir, bahkan merasa tersinggung, marah, dan tak segera melunasi utangnya.
Mungkin seseorang bisa lari dari kewajibannya membayar utangnya. Sementara orang yang memberikan utang mungkin sudah merasa malas untuk menagihnya karena saat ditagih selalu mangkir, mengulur-ulur waktu, atau bahkan sengaja menghilang. Ya, mungkin di dunia ia masih bisa terbebas dari tak membayarkan utangnya. Tapi jangan tanya nanti saat di akhirat, ia tak bisa lari ke mana pun dan harus segera membayar utangnya. Bagaimana cara melunasi utang saat di akhirat? Caranya dengan amal kebaikan yang dimilikinya.
- Iklan -
Muhammad Abduh Tausikal, MSc dalam tulisannya (Rumaysho.com, 24/7/2009) menguraikan hadis-hadis terkait utang-piutang. Berikut ini, saya ambil dua hadis yang beliau sampaikan dalam tulisan tersebut, semoga bisa menjadikan kita untuk selalu introspeksi diri, agar selalu berhati-hati ketika berutang pada orang lain:
Hadis pertama, dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang berutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syekh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shohih).
Hadis kedua, dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang mati dalam keadaan masih memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syekh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini shohih).
Jangan Suka Menunda-nunda Melunasi Utang
Ketika kita memiliki utang dan telah berjanji akan melunasinya dalam tempo sebulan, maka kita harus menepatinya. Bila ternyata kita berhalangan untuk melunasinya karena sesuatu hal yang genting atau di luar prediksi kita, maka kita harus membicarakannya baik-baik dengan pihak si pemberi utang, bagaimana baiknya, apakah bisa ditambah jatuh temponya ataukah tidak. Saya yakin, bila kita jujur dengan kondisi yang menimpa kita, orang yang memberi utang akan mengerti dan memberikan kelonggaran untuk melunasinya. Tapi bila kita berbohong dan sengaja ingin mangkir dari melunasi utang tersebut, bersiaplah untuk tak lagi dipercaya oleh orang tersebut, bahkan tak dipercaya oleh semua orang karena sifat kita yang suka menunda membayar utang.
Dalam tulisannya (iNews.id, 26/10/2021) Kastolani menjelaskan, membayar utang dalam Islam hukumnya wajib dan tidak boleh menunda-nunda untuk melunasinya. Orang yang berutang dan tidak membayarnya padahal mampu maka akan mendapatkan dosa. Dalam ajaran Islam, orang yang berutang dan memberi utang diatur dan dicatat dengan baik agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Selain itu, orang yang berutang harus mempunyai niat kuat mengembalikannya. Jika tak bisa melunasi utang sesuai batas waktu yang telah ditentukan, hendaknya dimusyawarahkan antar kedua pihak, sehingga tak terjadi konflik. Sebab, banyak konflik akibat tak membayar utang tepat waktu, hingga berujung pembunuhan.
Orang yang baik salah satu cirinya dapat dilihat dari caranya berinteraksi dengan sesama. Interaksi di sini misalnya bagaimana cara ia memperlakukan orang lain dengan baik, termasuk berusaha memberikan pertolongan ketika orang lain sedang membutuhkan uluran bantuannya. Misalnya, ketika orang lain butuh pinjaman uang, sementara ia memiliki kelebihan uang untuk membantunya, maka memberikan utangan kepada orang tersebut termasuk perbuatan yang mulia. Namun, jangan lantas kita menyalahgunakan kebaikan orang lain. Jangan sampai kebaikan dibalas kejahatan. Jangan sampai kita berniat untuk tidak melunasi utang tersebut.
M. Ali Zainal Abidin, dalam tulisannya (NU Online, 30/6/2019) menjelaskan, salah satu tolok ukur kualitas hubungan sosial yang baik adalah bagaimana cara seseorang membayar utangnya kepada orang lain. Dalam salah satu hadis riwayat Bukhari ditegaskan: “Sesungguhnya sebagian dari orang yang paling baik adalah orang yang paling baik dalam membayar (utang).” Karena itu, syariat memberikan ketentuan bahwa tatkala seseorang memiliki uang yang cukup untuk membayar tanggungan utang yang ia miliki, maka ia harus segera membayar utangnya kepada orang yang memberinya utang. Menunda membayar utang merupakan bentuk menzalimi orang lain. Sebagaimana telah diterangkan oleh Rasulullah dalam hadis Bukhari, “Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman.”
Semoga tulisan singkat ini dapat menjadikan kita selalu berhati-hati dalam berutang. Dan yang pasti, saat kita memiliki utang, jangan sampai kita lari atau sengaja menghilang, karena yang namanya utang itu harus dibayar lunas. Wallahu a’lam bish-shawaab.
Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.