Oleh Moch Arifin
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Dalam artian, untuk menjaga kelangsungan hidupnya, ia tidak serta-merta bisa hidup hanya seorang diri tanpa adanya hubungan timbal balik antar sesama manusia. Mereka sama-sama saling membutuhkan, baik dalam hal kebutuhan primer maupun sekunder. Dari sinilah manusia hidup saling beradaptasi dan bermasyarakat.
Hidup bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari tidaklah semudah yang kita bayangkan. Ada saja celotehan atau nyinyiran dari sebagian orang yang mengarah pada sikap atau perilaku yang kita ejawantahkan. Sekalipun aktivitas yang kita jalani itu sejalan dengan norma agama, hukum-hukum negara, dan kode etik bertetangga, tetap saja nyinyiran itu terkadang datang berseliweran menyoal tentang kita.
Nyinyiran biasanya terealisasi melalui majelis ghibah yang lakonnya tidak lain adalah emak-emak (kaum wanita) atau bibir laki-laki semi emak-emak. Bisa juga nyinyiran terkadang diposting melalui media sosial (whatsapp, facebook, twitter, instagram, dan sejenisnya), atau bahkan yang lebih ekstrem disampaikan langsung kepada orang yang dinyinyiri. Meski demikian, kita semisal sebagai orang yang dinyinyiri jangan langsung tergesa-gesa emosi dan lantas melabraknya. Sikapilah dengan pikiran yang jernih dan arif. Anggaplah semua itu ladang pahala bagi kita kelak lantaran telah dizalimi dari sisi kehormatan diri.
- Iklan -
Syekh Abdul Qadir al-Jailani pernah menyampaikan dalam karya tafsirnya, Tafsīr al-Jailānī, bahwa “di antara alasan mengapa manusia diciptakan di dunia ini adalah untuk menerima berbagai macam ujian, baik yang menyenangkan maupun tidak”. Jadi, anggaplah nyinyiran itu sebagai bagian dari ujian yang menyenangkan. Jika kita telah mampu memposisikan nyinyiran itu sebagai ujian yang menggembirakan, maka sejatinya kita telah mendesain hati nurani kita untuk kebal atas berbagai macam ujian kehidupan di masa mendatang.
Terkait fenomena nyinyiran ini, ada sebuah kisah inspiratif yang datang dari Lukman al-Hakim dan putranya. Kisah itu bermula saat Lukman berpesan kepada putranya yang kurang lebih kisahnya terekam sebagai berikut:
“Wahai anakku! Lakukanlah apa saja yang membuat bagus urusan agama dan duniamu. Teruslah beraktivitas demi kemaslahatanmu hingga paripurna. Janganlah mempedulikan nyinyiran orang. Maafkanlah mereka, sebab memang tidak ada cara untuk memuaskan mereka semua dan tidak ada cara pula untuk menjinakkan hati mereka.” Pesan bijak Lukman kepada putranya.
Tahap pertama, Lukman menyuruh putranya untuk mengambil seekor keledai yang hendak dijadikan teman berkelana sembari memperhatikan bagaimana reaksi masyarakat terkait ihwal perjalanan yang dilakukan bersama putranya.
Sang putra dengan penuh takzim membawa keledai ke hadapan ayahandanya. Lukman kemudian menaiki keledai itu dan memerintahkan putranya untuk berjalan kaki sambil menuntun keledai. Saat perjalanan melewati kerumunan orang, seketika itu mereka bersikap sinis kepada Lukman dan putranya dengan berujar, “Anak kecil itu kok dibiarkan jalan kaki, sementara ayahnya yang gagah perkasa justru malah menaiki keledai. Sungguh tega dan kejamnya orang tua seperti itu.”
Lukman lantas bertanya kepada putranya, “Wahai anakku! Bagaimana respons masyarakat tadi kepada kita?”. Sang putra menjawab dengan pernyatan sebagaimana yang dilontarkan oleh masyarakat tadi kepada dirinya dan ayahnya.
Tahap kedua, Lukman mengubah posisi. Ia turun dan menuntun keledainya, sedangkan putranya disuruh naik di atas keledai. Di tengah-tengah perjalanan berjumpa lagi dengan segerombolan orang. Mereka rupanya juga mencibir Lukman dan putranya dengan mengatakan, “Aneh, anak itu mengendarai keledai, sedangkan ayah atau orang tuanya malah dibiarkan berjalan kaki. Betapa kurang ajar dan tak sopannya anak itu kepada orang tuanya.”
Lukman kemudian bertanya lagi kepada putranya, “Wahai anakku! Bagaimana tanggapan orang-orang itu kepada kita?”. Sang putra menjawab sebagaimana cibiran orang-orang tadi yang dilayangkan kepada dirinya dan ayahandanya.
Tahap ketiga, tak lama kemudian, Lukman dan putranya melanjutkan perjalanan. Namun, kali ini mereka berdua menaiki keledai secara bersamaan. Di tengah-tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan penduduk setempat. Tiba-tiba penduduk itu mencerca Lukman dan putranya sembari berkata, “Alangkah kejam dan sadisnya dua musafir itu! Mereka berdua berboncengan menaiki seekor keledai, padahal keduanya sehat bugar. Alangkah sadisnya dalam memperlakukan hewan.
Lukman sontak bertanya langsung kepada putranya, “Wahai anakku! Bagaimana reaksi penduduk setempat tadi kepada kita?”. Sang putra menjawab dengan ujaran kata sebagaimana celotehan penduduk tadi yang mengarah pada dirinya dan ayahnya.
Tahap keempat atau terakhir, Lukman dan putranya turun dari atas keledai. Mereka berdua berjalan bersama-sama sambil menuntun keledainya, dan bersimpangan untuk yang ke sekian kalinya dengan orang banyak. Orang-orang itu dengan entengnya mengatakan, “Maha suci Allah, ada seekor keledai berjalan, padahal ia sehat dan kuat. Sementara dua orang yang menyertainya juga berjalan kaki. Alangkah baiknya jika salah satu dari dua orang itu menaikinya.”
Lukman bertanya untuk yang terakhir kalinya kepada putranya, “Wahai anakku! Bagaimana tanggapan orang-orang tadi kepada kita?”. Sang putra lalu menyampaikan secara persis tanggapan orang-orang tadi kepada ayahnya. Dari sini Lukman sebetulnya hendak menunjukkan bukti nyata kepada putranya melalui kejadian-kejadian negatif yang dialaminya saat perjalanan terkait berbagai macam omongan orang. Lukman juga menegaskan kembali dengan mengulangi nasihat yang pernah disampaikan di awal, yakni “Wahai anakku! Bukankah aku sudah pernah bilang kepadamu: “lakukanlah apa saja yang dapat berpotensi positif bagi agama dan duniamu. Jangan pernah engkau menanggapi komentar atau nyinyiran orang lain.” Tersebab, semua itu hanya akan membuat hidupmu terombang-ambing, tanpa adanya keteguhan hati yang justru lebih membimbing.
Peristiwa yang dialami Lukman dan putranya di atas sesunggunya telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Iya, dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kita, baik mulai yang berkedudukan sebagai public figure hingga yang mengganggur, hampir dapat dipastikan tidak akan pernah luput dari nyinyiran orang. Entah nyinyiran itu tersampaikan dengan ekspresi yang menyayat hati, atau bahkan justru meruntuhkan reputasi diri.
Sebagai muslim sejati, menyikapi fenomena nyinyiran seperti itu tentu ada seninya tersendiri. Lukman telah membeberkan bahwa jika hal semacam itu menimpa diri kita, maka segeralah hiraukan dan jangan pernah menanggapinya. Teruslah beraktivitas yang terbaik sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Bukankah Nabi Muhammad Saw. telah bersabda bahwa di antara tanda Islam seseorang itu dianggap baik tatkala dirinya meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah bagi dirinya sendiri.
Bersikap apatis terhadap berbagai macam nyinyiran orang merupakan solusi terbaik bagi kelangsungan kualitas keislaman kita. Sebab, menanggapinya sama sekali tidak akan mendatangkan nilai faedah dan hikmah yang signifikan bagi kita. Nabi Muhammad juga mengingatkan kepada kita bahwa barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah bertutur kata yang baik atau diam. Meladeni nyinyiran orang sama halnya kita berpartisipasi dalam menebar omongan-omongan kotor. Maka berhentilah dari hal-hal semacam itu. Wallāhu A’lam bi al-shawāb.
*MOCH ARIFIN, Penulis buku 10 Tema Fenomenal dalam Ilmu Al-Qur’an, wakil ketua ranting NU Deru Sumberrejo Bojonegoro.