Oleh Nurun Najwa
Hari Kamis menjadi hari yang paling dinantikan seluruh santri di pondok pesantren karena hari itu menjadi tanda bahwa santri akan berlibur keesokan harinya dan rehat sejenak.
Hari Kamis juga menjadi tanda bahwa hari ini semua santri SMA/MA di Pondok Pesantren Rahmatul Asri akan belajar pelajaran ekstra, yakni pelajaran Bahasa Mandarin.
Tidak ada yang spesial dari pelajaran Bahasa Mandarin, bahkan tidak jarang banyak santri yang bolos dalam mata pelajaran tambahan ini karena merasa pelajaran Bahasa Mandarin merupakan pelajaran yang sulit sekaligus rumit karena tulisan dan pengucapannya yang sulit dimengerti. Namun ada yang istimewa dari pelajaran ini dan bahkan akan sulit ditemukan di pesantren-pesantren lainnya, yaitu pengajarnya.
- Iklan -
Coba tebak apa yang akan istimewa dari guru Bahasa Mandarin ini? Apakah sosoknya yang rupawan? Atau sosoknya yang sangat cerdas? Semuanya benar. Namun yang tidak kalah menakjubkan yakni pengajar Bahasa Mandarin itu adalah seorang pendeta. Ini yang spesial menurutku, bagaimana seorang pendeta jauh dari kota menempuh perjalanan sekitar 40-an km untuk mengabdi di sebuah pesantren yang sangat berbeda dari lingkungannya. Bagaimana seorang pendeta mengajar santri dengan gaji yang tidak seberapa padahal untuk guru Bahasa Mandarin di sekolah swasta atau lembaga les privat ia bisa digaji 3-5 juta per bulannya.
Sekali lagi ini yang istimewa; seorang pendeta mengajar santri selama puluhan tahun dengan kemurahan hatinya.
Sosok luar biasa itu bernama Andy Setiawan atau kami biasanya menyebutnya Laoshi yang artinya guru dalam bahasa mandarin. Ia merupakan pribadi yang lembut, ramah, tenang dan rendah hati.
Umurnya mungkin sudah tidak muda lagi namun semangat mengajarnya patut diacungi jempol. Beliau jarang sekali mengeluh padahal jarak dari tempat tinggalnya ke pesantren ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam dan tentunya perjalanan itu cukup melelahkan.
Belum lagi ia harus berangkat lebih cepat karena harus menunggu angkutan umum yang tidak pasti kapan datangnya. Namun sesampainya di kelas ia tidak pernah memperlihatkan betapa melelahkannya perjalanan itu. Justru ia akan menyambut kami para santri dengan senyumannya.
Mungkin santri yang pernah diajar olehnya akan tahu bagaimana senyuman tulus itu selalu terlihat pada saat ia mengajar atau berjalan di koridor sekolah dan menyapa santri-santri. Sungguh dia adalah sosok yang menenangkan.
Pak Andy Setiawan telah mengajar di Pesantren Rahmatul Asri selama puluhan tahun. Awalnya ia diminta oleh Ketua Yayasan Rahmatul Asri untuk menambah kemampuan bahasa santri-santri di pesantren ini dan terus berlanjut hingga sekarang.
Selama mengajar dan berinteraksi dengan santri dan juga guru-guru di pesantren dalam kurung waktu puluhan tahun rasanya belum pernah ada masalah yang terjadi. Tidak ada gesekan-gesekan dan ujaran kebencian yang terjadi.
Rasanya semua interaksi berjalan harmonis tanpa melihat latar belakang agama yang dianut. Ini merupakan salah satu level toleransi tertinggi yang pernah saya dapatkan. Bagaimana seorang pendeta yang kita kenal sebagai seorang guru agama dalam agama Kristen bisa berdampingan dengan harmonis dalam lingkungan pesantren yang biasa dikenal sebagai tempat memperdalam ilmu agama Islam.
Ini merupakan dua kutub yang sangat berbeda namun bisa bersatu karena penerapan sikap toleransi yang sungguh apik.
Pada saat beliau mengajar, kami tidak merasakan adanya perbedaan. Rasa sayangnya kepada kami muridnya juga tidak perlu diragukan lagi.
Kami tidak pernah mendapati beliau berkata kasar atau menyakiti murid-muridnya, bahkan pernah suatu ketika beliau bercerita di dalam kelas bahwa pada malam hari sebelum beliau mengajar ia berdoa kepada Tuhan agar murid-muridnya diberi kesuksesan dan dimudahkan dalam memahami pelajarannya.
Bukan hanya di malam hari, sebelum berangkat ia juga tidak lupa mengulang doanya yakni agar murid-muridnya sukses dan dimudahkan dalam belajar. Doa inilah yang membuat saya kagum akan betapa tulusnya beliau dalam mengajar.
Terkadang beliau juga memberikan angpau bagi murid-murid yang dapat menjawab kuis dengan cepat dan benar. Hal itu merupakan momen yang sering kami tunggu-tunggu, rasanya menunggu angpau bagaikan menunggu THR saat hari raya Idul Fitri melalui interaksi antara santri dengan Pak Andy.
Para santri sudah mendapatkan pelajaran toleransi yang amat sangat berharga. Hal itu juga sudah mewakili semua teori-teori toleransi yang sudah kami pelajari dalam pelajaran agama Islam dan dan kitab-kitab yang dikaji. Dan secara tidak langsung santri telah menerapkan ajaran tolerasi tersebut.
Di masa sekarang ini keyakinan menjadi hal yang paling sensitif untuk dibahas dan seringkali mengundang pertikaian. Hal itu membuat saya ingin menunjukkan kepada masyarakat akan kisah yang indah ini. Di mana masing-masing pihak (santri, guru, dan Pak Andy) bisa teguh dalam keyakinan akidah masing-masing namun mereka tetap saling menghargai satu sama lain.
Tidak ada upaya menjelek-jelekkan keyakinan yang berbeda, tidak perlu ada sekat yang membatasi kita untuk melakukan kebaikan, tidak perlu ada perasaan merasa paling benar dan menjatuhkan keyakinan yang berbeda dari kita.
Yang ada hanyalah ikatan persaudaraan sesama manusia dengan dasar ketulusan dan kasih sayang. Dari Pak Andy saya bisa mengambil pelajaran bahwa kebaikan tetaplah kebaikan meskipun di tempat yang sangat berbanding terbalik dengan kita ia tetaplah harus dilaksanakan karena kebaikan merupakan kata benda yang tidak memandang latar belakang seseorang atau suatu kelompok.
Di akhir tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga terkhusus pada Pak Andy Setiawan dan Asatidz Pondok Pesantren Modern Rahmatul Asri untuk pelajaran toleransi yang akan sulit saya dapatkan kembali. Semoga bermanfaat. (*)
*NURUN NAJWA, Santriwati dan Mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.