Oleh: Mohammad Sholihul Wafi
Kehadiran Nahdlatul Ulama (NU) di NKRI yang kini berusia 99 tahun hijriah sejak berdiri pada 16 Rajab 1344 H, tidak bisa dipisahkan dari pesantren. Tokoh-tokoh awal dalam pendirian NU adalah kiai-kiai pesantren. Rahim NU ialah pesantren. Pesantren adalah rumah kecil sedangkan NU adalah rumah besar. Oleh karena itu, keduanya akan selalu menjadi satu kesatuan dalam membangun moderasi Islam di Indonesia.
Pesantren lebih tua dibandingkan NU atau bahkan negara Republik Indonesia. Kendati demikian, Nahdlatul Ulama melalui jejaring pesantren dapat terus eksis di NKRI sebagai sebuah jam’iyyah, yang terus memperjuangkan cita-cita untuk menjadi pendulum bagi terciptanya Islam yang membawa rahmat bagi semesta. Sejak awal berdiri, NU telah menetapkan qanun asasi atau aturan dasar yang meliputi aspek teologi (akidah), jurisprudensi (fiqh) serta etika (akhlak – tasawuf) dengan memilih ajaran Islam moderat, terutama moderat di antara wahyu dan nalar. Jalan tengah inilah yang sering didengungkan oleh NU melalui konsep tawassuth (moderasi).
NU, sebagaimana pesantren-pesantren di Indonesia, selalu mendengungkan beragama secara inklusif, bukan eksklusif. Artinya, sekalipun NU meyakini bahwa Islam dan ahlussunnah waljama’ah sebagai kebenaran, namun tetap berkarakter moderat, toleran, dan akomodatif terhadap aliran-aliran keagamaan lain selama tidak membayakan persatuan, kesatuan dan kemanusiaan.
- Iklan -
Itulah sebab, NU selalu melestarikan kekayaan budaya lokal yang disinari nilai agama. Bahkan, banyak pula ulama-ulama jebolan pesantren yang tergabung dalam jam’iyyah NU juga memakai pendekatan kearifan lokal untuk tujuan dakwah Islam. Sebab, menolak dan bahkan menyesatkan kearifan tradisi keagamaan lokal sama saja dengan memicu permusuhan. Sementara, menurut prinsip yang diyakini kalangan pesantren dan NU: dar’u al mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbi al mashaalih (mencegah kerusakan harus lebih didahulukan daripada menarik mashlahat).
Tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh NU dan pesantren sebenarnya serupa, yakni mampu mengembangkan dua potensi: pendidikan dan kemasyarakatan. Maka itu, kehadiran Undang Undang Pesantren (UUP) no. 18 tahun 2019 tentang Pesantren menjadi angin segar bagi pesantren sebagai pilar negara sekaligus ujung tombak dakwah NU untuk lebih fokus lagi dalam menanamkan karakter nasionalis dan moderat dalam beragama. Terlebih, menurut data BNPT (2022), kini terdapat 198 pondok pesantren (ponpes) terafiliasi dengan kelompok-kelompok radikal seperti Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Jamaah Islamiyah (JI), dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Tanggung jawab pesantren pun menjadi semakin besar untuk bersih-bersih diri dari ancaman radikalisme.
Menjadi Benteng dari Radikalisme
Di tengah ancaman kebinekaan karena persebaran ideologi radikalisme dan terorisme yang kian marak, seyogyanya NU dan pesantren memerankan peran sentral untuk menyemai perdamaian dengan meneguhkan prinsip moderasi Islam. Dua institusi penting ini harus selalu mengedepankan watak fleksibel dan akomodatif, serta mengutamakan stabilitas dan harmoni dalam masyarakat. Karena itu, menjadi katalisator dan fasilitator bagi persatuan dan kesatuan umat Islam, sesama warga negara dan umat manusia secara universal ialah keniscayaan.
Pesantren dan NU harus menjadi cahaya penerang dari maraknya aksi bengis teror, sukuisme, primordialisme, dan fanatisme berlebihan sebagian anak bangsa, yang acap kali mendatangkan konflik horisontal di NKRI. Ini bisa dilakukan dengan menjadi katalisator juru damai yang berada di garis tengah dalam menghadapi setiap konflik. Kendati demikian, bukan berarti tidak dapat berpihak. Ketika harus berpihak, pesantren dan NU harus mengarusutamakan kemaslahatan. Tidak mudah melabeli ‘kafir’ dan ‘sesat’ kepada yang berbeda, atau mudah memberikan fatwa yang bersifat ‘hitam-putih’ yang dapat memicu pertengkaran.
Bagaimanapun, radikalisme, primordialisme, fanatisme berlebihan, pertengkaran, teror, saling serang, permusuhan, dan perpecahaan ialah sama sekali tidak dapat dibenarkan karena berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia. Harus diingat, NKRI harus bersatu, kuat dan berdaulat. NKRI harus selalu Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu. Harmoni dalam kebinekaan dan kemajemukan NKRI harus selalu menjadi roh dalam setiap perjuangan pesantren dan jam’iyyah. Maka itu, segala ancaman kebinekaan yang datang, seperti men-thagut-kan Pancasila serta ingin menggantinya dengan khilafah Islam menjadi hal yang harus ditentang bersama karena berpotensi memecah-belah kebinekaan yang sudah matang.
Dalam konteks tersebut, pemeluk Islam di Indonesia harus bisa menjaga keseimbangan antara ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa) dan ukhuwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia) – dikenal dengan trilogi ukhuwah. Islam ialah agama yang tidak mengenal sekat-sekat. Islam meyakini keberbedaan kita ialah untuk saling mengenal satu sama lain. Bukan saling bertengkar, saling bermusuhan, saling menebar teror dan ancaman atau saling menjatuhkan satu sama lain. Islam ialah agama yang mengajarkan untuk selalu mencintai kemanusiaan.
Atas dasar misi membumikan trilogi ukhuwah itulah, pesantren dan NU harus senantiasa berjejaring untuk membumikan moderasi beragama secara kaffah (paripurna) di Indonesia. Pesantren, memiliki misi dakwah untuk mendidik santri selain agar menjadi ‘alim juga berkarakter moderat dan menghargai kemanusiaan. Sementara NU, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, berperan untuk mempraktikkan moderatisme beragama dalam kehidupan berbangsa dan beragama di tengah masyarakat kita.
Yakinlah, jika upaya-upaya tersebut dilakukan secara maksimal, radikalisme dan terorisme akan minggat dari NKRI. NKRI akan aman dari bahaya perpecahan oleh ancaman-ancaman kebinekaan. Wallahu a’lam bish-shawaab.
-Alumnus PP. Ishlahusy Syubban Kudus