Cerpen Latif Nur Janah
Kutinggalkan istriku yang masih duduk di kursi dapur. Kuempas tubuh ke dipan kayu di teras rumah. Angin yang berembus dari selatan tak membawa kesejukan berarti seperti biasanya. Barangkali karena hati dan pikiranku sedang kusut sehingga angin sepoi yang menggerakkan dedaunan itu tak begitu terasa.
Kuhela napas panjang beberapa kali. Kusut pikiran kuharap bisa terurai dengan begitu. Meski ini bukan kejadian pertama, aku selalu bergidik jika melihat emosi istriku meluap-luap. Seolah-olah tak ada sesuatu yang bisa meredakannya kecuali dirinya sendiri.
“Menjenguk cuma alasan saja, kan, Mas?” selidik istriku. Bola matanya menghunjamku dengan segera.
- Iklan -
“Bagaimana aku bisa membuatmu percaya?” sergahku. Nada suaraku terdengar meninggi.
“Memang lebih baik kau tidak pergi ke rumah Ibu.”
Sampai pada kalimat itu, aku tak berniat lagi berkata-kata. Mengatakan apa pun ketika istriku marah adalah kesia-siaan belaka. Maka aku lantas duduk. Mataku mengarah jauh ke luar jendela.
Aku pulang dari rumah Ibu beberapa hari yang lalu. Itu hanya kunjungan seperti minggu-minggu sebelumnya. Semenjak Bapak meninggal, yang kulihat dari wajah Ibu hanyalah kesedihan. Karenanya, aku merasa harus mengunjunginya setiap minggu. Lagi pula, jarak tempuh rumah kami hanya sekitar tiga jam. Tidak jauh, hanya saja, aku perlu mencari waktu yang tepat di antara kesibukanku. Dan, kurasa Ibu sangat menghargai usahaku itu. Begitulah Ibu. Ia selalu merasa apa yang dilakukan anak-anaknya adalah sesuatu yang bernilai dan layak untuk dihargai. Apalagi sesuatu itu menyangkut dirinya.
Suatu waktu, aku pernah memberi Ibu sejumlah uang. Tidak banyak, hanya sebagai rasa syukurku setelah mendapat pekerjaan di kantor yang baru. Jika dibanding saudaraku yang lain, uang itu tak ada nilainya. Bakal amblas diempas nominal saudaraku yang lebih berpunya. Tetapi, Ibu menerima pemberianku dengan terbuka. Aku terima dengan bahagia. Kalian semua anakku. Tak pantas jika kutolak atau kuterima hanya dari salah satu. Itulah kalimat Ibu yang selalu kuingat. Kalimat yang kusimpan dan akan kukatakan kepada anak-anakku nanti ketika dewasa.
Namun, kunjunganku ke rumah Ibu yang terakhir, membuat istriku meradang. Sebelumnya, aku tak tahu pasti apa penyebab dirinya begitu emosi ketika aku baru saja turun dari motor. Sampai ketika ia bercerita bahwa ia tahu aku mengunjungi salah seorang teman lamaku dulu di kampung: Asmina. Ketika aku menjenguk Asmina, rupanya istriku menelepon Ibu, bertanya di mana aku.
Saat itu, bersama tiga temanku, aku memang berada di rumah Asmina. Dari salah seorang di antaranya, aku mendapat kabar bahwa Asmina sakit. Bagaimana aku bisa menolak ajakan untuk menjenguk Asmina sementara di waktu-waktu tertentu, Asmina-lah yang kadang juga mengunjungi Ibu ke rumah? Ketika kukatakan itu pada istriku, emosinya semakin melebar. Ia menganggap Ibu juga membuka gerbang masa laluku dengan Asmina.
Berhari-hari setelah itu, aku dan istriku tak banyak bicara. Sepertinya, ia memulai perang dingin. Emosinya memang tak meluap-luap lagi, namun ia enggan berbicara denganku meskipun ia tetap menyiapkan segala keperluanku sehari-hari. Walau aku tahu itu tidak baik, kubiarkan saja. Toh aku memang butuh sedikit ketenangan. Aku sudah lelah dengan semua kecurigaannya.
Di tengah lamunanku, ponselku berdering. Ada nama Ibu di layar. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya.
“Assalamualaikum,” sapa Ibu dari seberang.
“Waalaikumsalam, Bu. Ibu baik-baik saja, kan?” tanyaku. Kudengar sendiri ada nada panik dalam suaraku.
“Iya, alhamdulillah, Ibu baik-baik saja,” Ibu diam sejenak, “Tumben sudah hampir dua minggu tidak ke sini,” sambungnya.
Aku diam dan mengingat-ingat sesuatu. Memang benar, hampir dua minggu ini aku tidak mengunjungi Ibu.
“Aku sedang sibuk, Bu. Maksudku, pekerjaanku di kantor sedang menyita banyak waktu,” suaraku rendah. Lagi pula, aku memang berbohong.
“Bagaimana kabar istri dan anakmu?”
“Baik, Bu.”
Kami diam. Suara napas Ibu terdengar berat.
“Katakan sesuatu pada Ibu, Nak, jika ada yang tengah memberatkanmu,”
Aku masih diam. Kata-kata Ibu barusan justru semakin membuatku tak bisa mengucapkan sesuatu.
Hening.
Aku menyelami pikiranku sendiri. Dan, kukira, Ibu tengah membiarkan aku menenangkan diri. Benarlah dugaanku sebab beberapa saat kemudian, Ibu menutup teleponnya dengan alasan hendak pergi ke pengajian rutin di langgar.
Kuambil napas dalam-dalam. Entah mengapa dadaku terasa semakin sesak. Kutarik napas lagi. Kuembuskan kuat-kuat dan berharap apa yang tengah membebani hatiku sedikit berkurang. Tetapi ingatanku malah tertuju pada langgar, Ibu, dan … Asmina. Oh, andai istriku tahu bagaimana masa kecilku dan Asmina.
Aku dan Asmina adalah kawan masa kecil. Umur kami sepantaran. Hanya saja, Asmina lebih pandai mengaji daripada aku. Saat kecil, kami kerap menghabiskan waktu selepas Magrib di langgar bersama teman-temanku yang lain. Termasuk tiga temanku yang beberapa waktu lalu menjenguk Asmina bersamaku. Mereka adalah Rukayah, Jalali, dan Imran. Ibulah yang menjadi guru kami. Oleh sebab itu, Asmina dan tiga temanku itu masih kerap bersilaturahmi ke rumah Ibu. Terkadang, jika kesibukanku tak bisa dihindari, aku sangat bersyukur masih ada yang mengunjungi Ibu. Aku sangat bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka.
Dua hari lalu, aku mendapat kabar dari Jalali bahwa kesehatan Asmina semakin memburuk. Katanya, Asmina hanya tergolek di ranjang. Sebagian besar bagian tubuhnya tak dapat bergerak. Ia dan Imran baru saja menyampaikan santunan dari beberapa orang untuk Asmina. Kebetulan, aku memang sudah berencana mengunjungi Ibu akhir pekan ini. Sungguh kebetulan yang patut disyukuri. Aku juga akan mengajak istriku menjenguk Asmina.
Kususul istriku yang tengah duduk di teras. Meski sudah tak ada perang dingin di antara kami, ia masih minim bicara. Seakan-akan ia sengaja menghemat kata-katanya untukku.
“Ibu ingin kita mengunjunginya. Ibu menanyakanmu beberapa waktu lalu.”
Istriku tak mengacuhkan kata-kataku. Ia masih berjibaku dengan buku yang tengah dibacanya.
“Bukan karena Asmina?”
Aku masih dalam posisi berdiri. Dan, mendengar kalimat istriku barusan, seolah membekukanku begitu saja.
“Bisakah …,” kuhirup napas dalam-dalam. Aku berusaha mengumpulkan kesabaran, “Asmina ingin bertemu denganmu.”
Tentu saja aku berbohong. Kata-kata itu spontan saja keluar dari mulutku. Sekarang, giliran istriku yang membeku di posisi duduknya.
*
Pada sore yang berbalut gerimis, kami sampai di rumah Ibu. Aroma basah tanah dan segarnya dedaunan hijau menyambut kedatangan kami. Meski masih ada sisa-sisa perang dingin di antara aku dan istriku, kami berusaha untuk bersikap biasa saja di depan Ibu. Setidaknya, itu cara kami untuk menghargai Ibu. Kami tidak mau, Ibu terlalu banyak pikiran.
Tetapi, kuatnya naluri seorang ibu memang sepertinya tak bisa dibantah. Ketika aku dan istriku berada di teras, Ibu menyusul kami. Sebetulnya, kami tidak sengaja berada di teras saat itu. Istriku habis menerima telepon dari temannya sementara aku baru saja mengambilkan bola anakku yang melayang keluar jendela.
Dan, begitulah Ibu. Dari tutur katanya, selalu mampu menjelma tangan yang menyentuh hati kami berdua dengan lembut. Ia tak pernah menghakimi. Ia pun memaklumi sikap istriku yang dilanda cemburu. Semua wajar belaka sebagai manusia, katanya.
“Jenguklah ia. Percaya Ibu, Asmina hanyalah teman masa kecil suamimu,” kata Ibu. Tangannya masih mengelus tangan istriku.
Istriku mengangguk.
Sore masih gerimis. Dengan oleh-oleh ala kadarnya, aku dan istriku datang ke rumah Asmina yang sederhana. Disambut suaminya, kami berbincang beberapa saat di beranda. Mendengar cerita suami Asmina, sepertinya istriku tak dapat menyembunyikan rasa prihatinnya. Ia lalu meminta izin untuk bertemu Asmina di kamar. Memang, selama aku menjenguk Asmina, aku tak pernah bertemu secara langsung dengannya. Hanya Rukayah yang menemaninya di kamar. Sementara aku, Jalali, dan Imran, hanya di beranda bersama suaminya.
Sepanjang perjalanan pulang, aku dan istriku tak banyak bicara. Baru ketika aku duduk di teras rumah Ibu, istriku mendekatiku. Ia meminta maafku. Asmina merasa bersalah telah membuat hubungan kami buruk beberapa waktu terakhir. Permintaan maaf Asmina padanya, membuat istriku percaya bahwa antara aku dan Asmina memang tak ada apa-apa.
Gerimis mulai menebal. Hujan yang turun menjadikan sore semakin temaram. (*)
Gemolong, Januari 2022
*Latif Nur Janah, lahir dan besar di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah. Gemar menulis fiksi. Cerpennya berjudul ‘Awan di Pelupuk Mata’ terpilih sebagai juara pertama lomba menulis Gebyar Kedaulatan Santri (Oktober, 2021).