Oleh Ilham Wahyudi
“Mimpimu kelewat tinggi Abdul Jamil. Marlina itu anak orang terpandang. Lagi pula engkau pun tak pantas, dia wanita berpendidikan, sedangkan engkau? Sudahlah Abdul Jamil, lebih baik engkau kubur dalam-dalam mimpi itu! Sampai kapan pun Tuan Tambi tidak akan setuju engkau dengan Marlina.”
Abdul Jamil tersadar. Buru-buru dia perbaiki posisi berdirinya. Sekiranya semenit saja dia masih tenggelam dalam lamunannya, Tuan Tambi akan mendapatinya berdiri dalam posisi yang tidak seimbang. Kalau sudah begitu, maka alamat Abdul Jamil akan berlumur maki Tuan Tambi.
Tuan Tambi memang tidak pernah senang kalau melihat Abdul Jamil berdiri dalam posisi tidak seimbang. Menurutnya itu adalah sebuah sikap yang tidak hormat. Tapi bukan ingin Abdul Jamil berdiri dalam posisi seperti itu. Takdir sejak lahirlah yang membuat itu terjadi. Abdul Jamil memang terlahir dalam kondisi kaki yang panjang sebelah. Sehingga kalau ingin terlihat berdiri dalam posisi seimbang, dia harus sedikit menjijitkan kaki kirinya. Kondisi fisik itu pula yang sering membuat Abdul Jamil merasa rendah diri jika Marlina berdiri di hadapannya.
- Iklan -
“Abdul Jamil…”
Marlina?
Benar itu suara Marlina. Abdul Jamil segera membalikkan badan, mencari muara suara yang memanggilnya. Dia hafal betul suara Marlina. Bagaimana Abdul Jamil tidak hafal dengan suara Malina, selain karena kecantikan Marlina yang acap kali berkunjung dalam mimpi dan lamunan Abdul Jamil, gadis cantik nan pintar itu pun adalah anak majikan Abdul Jamil sendiri. Majikan yang selalu marah kalau Abdul Jamil berdiri dalam posisi tidak seimbang.
“Ya, Tuan Putri,” jawab Abdul Jamil sambil sedikit membungkukkan badannya.
“Sudah berulang kali aku katakan jangan panggil aku seperti itu Abdul Jamil. Panggil saja namaku, Marlina!” kata Marlina sedikit kesal.
“Tapi kalau Tuan Tambi mendengar, saya pasti akan dihukum Tuan Putri,” jawab Abdul Jamil beralasan.
“Apa engkau melihat ayahku ada di sini, Abdul Jamil?” tanya Marlina.
“Tidak, Tuan Putri…”
“Marlina! Panggil aku Marlina, Abdul Jamil!” potong Marlina.
Abdul Jamil terdiam. Ditatapnya mata Marlina. Seketika darah dalam jantungnya terpompa sangat kencang. Begitu pula dengan Marlina. Cukup lama dua insan itu saling memandang. Angin sepoi-sepoi sore itu semakin menambah keintiman tatapan mereka. Keduanya pun tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Sudah sering peristiwa seperti itu terjadi. Dan bila sudah seperti itu, biasanya Abdul Jamil yang akan menjadi tokoh antagonis: ia akan membungkukkan badan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Marlina yang masih belum puas menyelami mata Abdul Jamil.
Sesungguhnya Marlina bukan tidak ingin menahan Abdul Jamil lebih lama: berbicara tentang banyak hal, bukan hanya perdebatan soal nama panggilan yang selalu saja berulang setiap kali Marlina menyapa Abdul Jamil. Akan tetapi bayangan murka Tuan Tambi selalu saja membuat Marlina tak tega menahan Abdul Jamil.
Begitulah, waktu pun terus berputar bagai roda pedati. Marlina pun semakin mabuk pada tatapan mata Abdul Jamil, dan Abdul Jamil semakin kepayang pada paras Marlina yang bak kerumunan putik mangga. Kedua insan itu semakin jatuh dan tenggelam dalam kobaran cinta yang menyala. Sungguh tak ada lagi yang dapat menolong mereka kecuali cinta itu sendiri.
Lagi pula, makhluk apa yang dapat memadamkan serta menahan laju seseorang untuk terjun ke dalam kobaran cinta yang menyala? Kobaran yang telah membakar semua rasa takut yang selama ini melilit-menghimpit hati dan pikiran mereka. Kini semua rintangan terlihat ringan di hadapan Abdul Jamil dan Marlina. Setiap kesempatan mempertemukan keduanya—tidak sekalipun mereka sia-siakan. Meski dalam kesempatan itu mereka hanya saling memandang.
Sebilang jelang matahari terbenam, ketika Tuan Tambi sedang asyik menghitung laba perniagaan, Marlina dan Abdul Jamil sering bertemu di taman belakang rumah Tuan Tambi—melepas rindu. Mereka senang berbicara, utamanya tentang puisi-puisi Abdul Jamil kepada Marlina. Namun sering pula mereka hanya diam membisu; saling bertukar senyum.
Sampai pada suatu senja sewarna gading, Abdul Jamil yang baru saja selesai mengutarakan niat membawa Marlina kabur, tiba-tiba saja dikagetkan dengan kehadiran Tuan Tambi. Entah makhluk apa yang membisikkan Tuan Tambi sampai akhirnya ingin beristirahat di taman belakang rumah.
Tuan Tambi murka. Saudagar mana yang akan senang bila melihat anak perawan semata wayang duduk berkasih-kasih dengan pembantu yang bertahun-tahun ia pelihara. Apalagi saat Tuan Tambi memergoki, Abdul Jamil sedang mengelus rambut panjang Marlina yang terurai. Darahnya pun meninggi dan kemudian meletuskan beragam makian dan sumpah serapah.
“Bangsat! Parasit lajang! Manusia tak tahu untung engkau Abdul Jamil! Aku pungut kau dari kotornya jalanan, sekarang kotoran itu pula yang hendak engkau campakkan ke wajahku,” teriak Tuan Tambi.
Abdul Jamil dan Marlina terkejut bukan kepalang. Spontan mereka berdiri. Marlina yang sangat mengerti tabiat ayahnya langsung meminta Abdul Jamil segera pergi. Tetapi Abdul Jamil bergeming. Ia ingin menghadapi kenyataan itu, yang lambat laun pasti akan diketahui Tuan Tambi. Marlina tentu tidak setuju pada pilihan Abdul Jamil. Ia bersikeras ingin Abdul Jamil pergi. Tanpa pikir panjang, Marlina mendorong Abdul Jamil agar segera meninggalkannya. Namun karena posisi berdiri Abdul Jamil tidak seimbang—saat Marlina mendorongnya—dia pun jatuh tersungkur. Tuan Tambi semakin dekat.
“Pergilah kekasihku! Kalau tidak, engkau akan mati dan itu akan membuatku semakin hancur!” pinta Marlina dengan derai air mata.
Abdul Jamil luluh. Tak tega melihat orang yang sangat dia cintai menangis mengiba, dia pun berusaha berdiri. Namun Tuan Tambi yang telah tersulut api amarah sudah berjarak beberapa sentimeter dari Abdul Jamil. Tangannya yang besar-lebar siap menghancurkan batang leher Abdul Jamil yang kecil-pendek. Marlina yang menyadari hal itu, tentu saja tidak tinggal diam. Ditabraknya tubuh kekar Tuan Tambi hingga ia dan ayahnya itu tersungkur di tanah. Abdul Jamil pun lolos.
Melihat Abdul Jamil kabur, Tuan Tambi segera berdiri mencoba mengejar Abdul Jamil. Tapi sekali lagi, dengan sekuat tenaga Marlina memeluk kaki ayahnya itu. Tuan Tambi semakin muntab. Tak berhasil melampiaskan marahnya pada Abdul Jamil, Marlina pun menanggung ledak amarah Tuan Tambi.
“Dasar anak tidak berbakti engkau Marlina! Sebegitu cintanya engkau pada lelaki pincang itu?” teriak Tuan Tambi sambil menampar pipi anaknya sendiri. Marlina pun tersungkur tak sadarkan diri.
***
“Mimpimu kelewat tinggi Abdul Jamil. Marlina itu anak orang terpandang. Lagi pula engkau pun tak pantas, dia wanita berpendidikan, sedangkan engkau? Sudahlah Abdul Jamil, lebih baik engkau kubur dalam-dalam mimpi itu! Sampai kapan pun Tuan Tambi tidak akan setuju engkau dengan Marlina. Beruntung Tuan Tambi belum menemukan engkau, kalau tidak engkau pasti sudah jadi bangkai Abdul Jamil,” kata Mahli mengagetkan lamunan Abdul Jamil.
Abdul Jamil merapikan duduknya. Dirabanya meja pelan-pelan mencari letak gelasnya. Ya, mata Abdul Jamil memang tidak bisa melihat lagi. Sejak peristiwa di taman belakang rumah Tuan Tambi yang memilukan itu, mata Abdul Jamil perlahan mengalami penurunan fungsi hingga akhirnya benar-benar tidak berfungsi. Tapi kebutaan Abdul Jamil bukanlah bersebab air mata kesedihan akibat berpisah dari Marlina. Sebab tatkala seorang tabib didatangkan Mahli untuk memeriksa Abdul Jamil, tak satu pun penyakit ditemukan sang tabib yang menyebabkan mata Abdul Jamil buta.
“Mahli, bolehkah aku meminta tolong kepada engkau?” tanya Abdul Jamil setelah diteguknya air dalam gelas.
“Perihal apakah itu, Abdul Jamil?” tanya Mahli penasaran.
“Aku ingin menulis surat untuk Marlina. Tadi malam aku bermimpi melihat Marlina bersedih. Aku hanya ingin mengabarkan kepadanya kalau aku baik-baik saja. Aku juga ingin memintanya menerima pilihan Tuan Tambi, sebab cintaku padanya melebihi sebuah ikatan pernikahan.”
“Tapi dari mana engkau tahu kalau Marlina akan dinikahkan Tuan Tambi?” Mahli semakin penasaran.
“Dia memberitahuku dalam mimpi. Kulihat Marlina ingin mengakhiri hidupnya. Tentu aku tidak menginginkan hal itu. Aku ingin dia hidup dan terus berdoa agar kelak kami dipersatukan dalam sebuah ikatan suci tanpa syarat kecuali cinta itu sendiri.”
“Mengapa engkau tidak kecewa, Abdul Jamil?”
“Untuk apa, Mahli? Kekecewaan bagiku adalah wujud terendah dari cinta—itu hanya akan membekaskan sebuah luka. Sedangkan cinta yang aku pahami tidak pernah melukai sesiapa pun. Jadi mengapa aku harus kecewa?”
“Baiklah sahabatku Abdul Jamil, aku akan menuliskan surat untuk Marlina. Bacakanlah isi suratnya, biar aku tuliskan sekarang juga!”
Marlina, tali jantungku. Apa kabar engkau wahai kekasihku? Semoga engkau selalu dalam keadaan sehat dan diliputi bermacam ragam kebahagian. Surat ini bukan aku yang menuliskan, melainkan sahabat karibku Mahli. Sejak peristiwa senja yang memisahkan tubuh kita, aku tinggal dan bersembunyi di rumah Mahli.
Marlina, rembulan malamku. Aku ingin mengabarkan sebuah berita gembira kepada engkau wahai kekasihku. Saat ini kedua mataku telah buta. Aku tak tahu apa yang menyebabkan kebutaan ini. Namun aku sungguh sangat bersyukur Marlina, bersyukur karena aku sudah tidak perlu lagi melihat kepalsuan, kebusukan dan kemunafikan yang bertebaran di dunia fana ini. Biarlah mata ini hanya mengingat wajah engkau seorang Marlina. Bagiku itu sudah cukup.
Marlina, pucuk rinduku. Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan engkau. Dalam mimpi itu engkau mengabarkan padaku jika Tuan Tambi ingin menikahkan engkau dengan seorang pria pilihannya. Engkau begitu bersedih memberitahukannya kepadaku. Dan itu sungguh membuatku lebih-lebih bersedih. Percayalah Marlina, aku baik-baik saja dan tak kekurangan satu apa pun. Mahli begitu tulus membantu serta mengurus hidupku. Dan jika engkau ingin menyempurnakan kebahagianku, maka terimalah pilihan Tuan Tambi.
Demikianlah Marlina surat ini ditulis Mahli sahabatku. Semoga kelak sang kekasih sejati mempertemukan kita kembali. Amin.
***
Surat itu akhirnya sampai ke tangan Marlina. Tumpah tangis Marlina berhari-hari setelah membaca surat Abdul Jamil. Suhu badan Marlina pun naik. Setiap malam ia mengigau menyebut nama Abdul Jamil. Tuan Tambi tentu saja khawatir. Dia pun memanggil tabib kepercayaannya.
Namun setelah diperiksa, ternyata Marlina tidak mengidap satu penyakit apa pun melainkan hanya sebuah rindu yang sangat berat. Marlina yang menyadari sang tabib mengetahui masalahnya, akhirnya bersepakat untuk berpura-pura membawanya pergi berobat. Sang tabib pun menganjurkan Tuan Tambi agar mengijinkannya membawa Marlina berobat ke sebuah negeri. Tuan Tambi setuju.
Sesampainya di depan rumah Mahli, keraguan terbit di hati Marlina. Ia pun mendadak bimbang di antara dua pilihan, masuk atau tidak. Di depan pintu, Marlina seolah patung. Akan tetapi sebuah peristiwa aneh terjadi: dari dalam rumah, Abdul Jamil menyilakan Marlina masuk.
“Masuklah Marlina! Masuklah kekasih hatiku! Aku tahu engkau ada di depan pintu. Tak usah engkau ragu, aku sungguh bahagia engkau akhirnya datang,” kata Abdul Jamil sedikit mengiba.
Marlina terkejut. Bagaimana mungkin Abdul Jamil yang buta tahu ia ada di depan pintu?
“Mengapa engkau heran Marlina? Kebutaan ini sesungguhnya hanya membebaskanku dari menyaksikan hal-hal buruk di dunia ini. Tapi wajah dan wangi tubuh engkau sampai kapan pun tidak akan pernah hilang dari ingatan mata dan hidungku,” sambung Abdul Jamil yang sudah tak sabar ingin mendengar suara Marlina.
Marlina pun akhirnya memutuskan masuk. Tak kuat ia menahan beban rindu yang sudah di ubun-ubun. Namun betapa terkejut Marlina, lelaki yang begitu ia cintai itu ternyata hampir-hampir sudah seperti tengkorak hidup. Tubuh Abdul Jamil bagai tak berdaging lagi—kulit dan tulangnya seolah bersepakat tak ingin dipisahkan oleh daging.
Tidak tahan melihat kondisi Abdul Jamil, Marlina pun memutuskan pergi meninggalkan Abdul Jamil yang sudah begitu rindu ingin mendengar suaranya. Marlina sungguh-sungguh bersedih. Lebih sedih dari saat pertama mereka harus terpisah. Sepanjang jalan, air matanya terus saja tumpah membasahi tanah. Ia pun bersumpah tidak akan menikah, sekalipun harus mati di tangan ayahnya sendiri.
“Marlina…” teriak Abdul Jamil.
Mahli tersentak mendengar teriakan Abdul Jamil.
“Mengapa engkau berteriak Abdul Jamil?” tanya Mahli sambil berjalan keluar dari kamarnya.
“Marlina, Mahli… Marlina… Ia datang, Mahli,” balas Abdul Jamil penuh semangat.
“Jangan mengigau engkau Abdul Jamil! Tidak ada siapa-siapa di sini!” bantah Mahli sambil menutup pintu. Angin berhembus sangat kencang. Menutup pintu tentu pilihan yang tepat, sebab di rumah itu tak sehelai pun sisa kain yang bisa dijadikan selimut.
Abdul Jamil tak menjawab. Dan Mahli kembali masuk ke dalam kamar melanjutkan tidurnya: ia sungguh-sungguh buta memahami cinta Abdul Jamil. (*)
Akasia 11CT
*ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan ada yang ditolak. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.