Cerpen Latif Nur Janah
Abdullah terduduk murung di kursi tunggu. Baru sejam yang lalu, Fahira, istrinya meminum obat sebelum tidur. Ia sudah pulas sekarang. Tampak napasnya yang teratur dari gerak perutnya yang turun naik. Kondisi Fahira semakin baik. Abdullah mendesah. Posisi duduknya mulai melorot. Matanya juga mulai lelah, namun bayangan ibunya semakin mendesak-desak ingatan.
Kenapa di dunia ini harus ada janji? Batin Abdullah setengah mengumpat. Janjinya pada Fahira barangkali bukan yang besar dan sulit bagi orang lain. Tetapi, permintaan Fahira itu sungguh di luar dugaan Abdullah. Sejauh ini, Fahira sama sekali tak pernah mengusik hubungan Abdullah dengan ibunya. Apalagi sampai meminta Abdullah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.
“Tidak ada yang salah di antara kita. Keadaan yang membuatnya begini.” Nada bicara Fahira tak seperti biasa. Abdullah berpikir, pastilah karena persalinan Fahira yang menguras tenaga.
- Iklan -
Dua hari lamanya, perut Fahira mengalami kontraksi cukup hebat. Abdullah tak pernah tahu atau memang tak mau tahu bahwa setiap kontraksi itu terasa mengempas tulang-tulang rusuknya, yang Fahira pikirkan hanya ibu Abdullah, Umayah. Ia sendiri tak tahu bagaimana Umayah begitu saja muncul dalam pikirannya belakangan ini. Namun, ia tak memungkiri jika setiap kali bayangan Umayah muncul, ada setitik rasa tenang yang hening merayapi hati dan perasaannya.
“Aku tidak pernah menyalahkan siapa pun,” Abdullah berkata datar. Kata-kata yang justru membuat hatinya riuh akan sesuatu tanpa bisa ia jelaskan.
Tangan Fahira menyusup ke celah jemarinya. Pandangan Fahira membuatnya sedikit gugup. Ketika jemari mereka merenggang, tapak tangan Fahira berganti mengelus punggung tangannya.
“Relakanlah yang sudah. Sudah kulupakan semua yang dulu terjadi.”
Dua tahun yang lalu, usia pernikahan Abdullah dan Fahira sampai di angka tujuh. Tujuh yang tak berarti banyak. Tujuh yang sama heningnya dengan angka-angka sebelumnya. Terlebih, pandemi membuat segalanya remang dan meredup. Status pegawai kontrak Abdullah terpaksa diputus oleh perusahaan. Dua tahun yang terasa mencekik dirinya. Perasaan Abdullah pecah. Harapan akan buah hati yang dinanti selama tujuh tahun pun meredup begitu saja. Perasaan Abdullah, barangkali tak akan bertambah kacau kalau saja orang tua Fahira tak datang petang itu.
“Sebaiknya Fahira ikut pulang dengan kami.” ucap ayah Fahira.
Abdullah terdiam. Sebulan sudah ia tak punya penghasilan sebab belum bisa mengerjakan apa pun. Ia pandangi wajah istrinya yang tenang. Mereka tengah duduk di ruang keluarga dengan canggung. Pandemi tak hanya membuatnya kehilangan pekerjaan, namun juga mengempas kelelakiannya di depan orang tua Fahira.
“Aku akan tetap di sini, Pak,” tatapan mata Fahira tampak tenang namun sangat yakin.
“Bahkan jika dia tak bisa memberimu makan?”
“Saya tahu, Abdullah tak seperti itu,”
“Bagaimana tidak? Hah? Sekarang saja keadaan kalian kacau begini.”
“Ini tak akan berlangsung lama, Pak. Insyaallah.”
Sejurus, mata ayah Fahira beralih ke wajah Abdullah. “Bagaimana kamu bisa menjamin segalanya akan baik-baik saja dengan kamu yang seperti sekarang?”
Abdullah mengerti, itu bukan suatu pertanyaan yang perlu jawaban.
“Saya tak pernah memaksa, Pak. Andaikata Fahira ingin ikut Bapak, saya bisa berbuat apa?”
Dan, kini pandangan semua orang mengarah ke Fahira.
“Saya akan tetap tinggal. Bagaimana pun keadaannya.”
Kata-kata Fahira itu melahirkan kekecewaan orang tuanya.
“Kenapa kau tak ikut pulang saja?” tanya Abdullah setelah orang tua Fahira pamit.
“Sebab di sinilah rumahku. Segalanya akan baik-baik saja, Dul.”
Tangan Fahira melingkar di pundak suaminya. Tak hanya itu, rupanya, dalam tangannya itu tergenggam sesuatu yang membuat hari-hari mereka selanjutnya rekah serupa kuning kemilaunya matahari saat fajar mulai merangkak.
Abdullah segera meraih pengetes kehamilan dari tangan Fahira. Perasaannya membuncah.
“Kenapa kau tak bilang pada orang tuamu?”
“Percuma. Segala yang ada pada kita adalah kesalahan di mata orang tuaku. Bahkan jika kamu tak melakukan apa pun.”
Itu benar adanya. Sembilan tahun lalu, Abdullah tak pernah menyangka mendapat perlakuan tak mengenakkan dari orang tua Fahira. Itu kali pertama ia datang ke rumah mereka. Layaknya anak-anak yang ingin memamerkan mainan barunya, maka Abdullah dikenalkan pada orang tua Fahira sebagai laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya. Namun, semua yang diharapkan sungguh di luar perkiraan. Sebelum Abdullah pulang, ayah Fahira menemuinya. Ia harus meninggalkan Fahira. Begitu pesan ayah Fahira sebelum Abdullah pulang.
Abdullah termenung. Benar adanya yang dikatakan ayah Fahira tentang ibunya. Tentang dirinya yang lahir dari seorang ibu tanpa ayah. Kenyataan yang sudah ia benarkan bertahun-tahun lamanya, nyatanya goyah oleh ucapan orang tua Fahira. Perkataan itu pula yang membuka luka masa kecil Abdullah kembali terbuka. Sakit hati yang dirasakannya bertahun-tahun kembali terasa menusuk.
Sampailah hari ketika mereka menikah. Atas permintaan ayah Fahira, Umayah tak boleh datang. Ia tak mau jika teman-teman sepekerjaannya mengenali Umayah, wanita yang dulu kerap mereka temui saat penertiban keamanan di kawasan prostitusi.
Selama delapan tahun, Abdullah dan Umayah tak pernah bertemu. Pada tahun pertama mereka menikah, Umayah datang di suatu sore yang berangin. Angin dingin dari dataran tinggi Dieng menerbangkan anak-anak rambut Umayah yang mulai memutih. Wanita itu duduk menunggu di teras rumah Abdullah. Namun, puluhan menit yang dilaluinya tak membuahkan sesuatu yang berarti. Abdullah menemuinya sangat sebentar. Dengan dalih menyelesaikan urusan, Abdullah buru-buru mengakhiri pertemuan itu.
Kini, ketika beberapa saat lalu Fahira baru saja melewati proses persalinan yang berat dan panjang, wajah Umayah mulai timbul tenggelam. Ia masih bisa mengingat jelas bagaimana wajah Umayah ketika Abdullah menyuruhnya pulang. Akankah ia merasakan sakit yang demikian jika ia punya anak kelak? Akankah ia sekuat Umayah ketika menghadapi segala percobaan hidup?
Ketika Abdullah masuk, Fahira terjaga dari tidurnya.
“Sudah kamu pikirkan?”
Abdullah mengangguk tanpa berkata-kata. Sesaat kemudian, dengan suara bergetar, ia berkata, “Jika bukan karena kamu dan anak kita, aku mungkin tak akan melakukannya.”
“Abdullah, sejahat itukah Ibu kepadamu? Ia bahkan tak pernah melakukan kesalahan pada kita.”
“Ia telah salah melahirkanku.”
Tangan Fahira menggapai kisi ranjang, mencari-cari tangan Abdullah. Dengan halus, ia mulai mengelus tangan suaminya.
“Ia adalah surgamu sebagaimana aku menjadi surga anakmu. Anak kita.”
Napas Abdullah berembus panjang. Bukan ia tak percaya akan surga dan neraka, tetapi yang dilakukan ibunya, bagi Abdullah adalah menodai surga miliknya sendiri dengan melahirkan dirinya tanpa kejelasan siapa yang menghamilinya.
“Kita telah melewati masa-masa sulit dua tahun ini. Aku hanya memintamu melakukan itu. Hanya itu andaikata itu menjadi permintaanku yang terakhir.”
“Jangan bicara seperti itu. Aku tak ingin merusak kebahagiaan ini.”
“Maka pergilah.”
Abdullah mengangguk.
Pandemi memberikan banyak pengajaran pada Abdullah. Bagaimana ia bisa menyangka bahwa Tuhan memberikan kejutan di masa-masanya yang sulit? Sembilan tahun penantiannya usai justru ketika masa sulit itu datang. Buah hati yang baru saja keluar dari rahim Fahira adalah sebentuk bukti baginya bahwa Tuhan benar-benar mengirimkan sesuatu pada saat yang tepat. Saat di mana hari-hari Abdullah berangsur keruh.
Sepanjang perjalanannya ke kampung halaman adalah perjalanan menyibak lembar-lembar kenangan masa kecilnya. Setiap kali pikiran untuk berhenti berjalan datang, Abdullah teringat Fahira. Ia ingat bagaimana sebuah kebahagiaan muncul di saat ia kehilangan sesuatu. Fahira-lah yang memberinya kekuatan untuk bertahan bahwa segala yang berawal pasti akan berakhir. Sama halnya dengan pandemi yang mengusik setiap orang.
Abdullah berdiri termangu di depan sebuah rumah bambu. Bilah-bilah bambu di salah satu sisi menampakkan deretan rayap yang setiap saat bisa membuat bambu-bambu itu terkikis dan roboh.
“Siapa?” tanya seseorang dari dalam.
Seorang perempuan renta keluar. Ia tertegun menatap Abdullah. Seolah mencari-cari sesuatu atau berusaha menggapai satu ingatan. Perempuan itu menyerah pada akhirnya. Lalu, dengan gerakan lambat ia mendekati Abdullah. Pada saat itu, ada sesuatu yang berdesakan di hati Abdullah. Semacam rasa sesak yang tak terjelaskan.
Tangan Umayah menggapai lengan Abdullah. Satu tangan lain berusaha menyibak rambut putihnya yang berantakan. Barangkali, dengan begitu, akan terlihat jelas siapa laki-laki yang berada di depannya.
“Siapa?” ulangnya. Umayah tersenyum.
“Saya Abdullah. Saya pulang, Bu.” suara Abdullah bergetar.
Sekali lagi, Umayah mengelus lengan Abdullah. Menekuni lekuk wajahnya. Ia menemukan satu kenangan di wajah itu. Kenangan akan masa kanak-kanak yang kurang bahagia.
Dalam rengkuhan tangan ibunya, Abdullah berbisik, “Saya pulang, Bu. Saya pulang.” ***
Gemolong, Oktober 2021
*Latif Nur Janah, lahir Oktober 1990. Menggemari fiksi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Beberapa karyanya terbit di media cetak maupun online. Menetap di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah.