Oleh: Vito Prasetyo
Budaya adalah salah satu patron sejarah. Bahasa dan sastra merupakan replika budaya dari suatu bangsa. Maka bila budaya hilang atau punah dari perjalanan peradaban, catatan sejarah juga akan hilang. Kita sangat prihatin dengan beberapa bahasa daerah, terutama dari sub-suku adat, tidak pernah lagi terbaca atau menjadi alat komunikasi di beberapa masyarakat, terutama pada masyarakat terdalam dan terpencil.
Sejauh manakah peran bahasa saat ini, dalam mengangkat persoalan-persoalan dimensional dalam membentuk kerangka kebangsaan!? Rasa pesimistis (tidak berpengharapan) dan skeptis (keraguan) yang muncul, ini karena salah satu penyebabnya ketakutan kita dalam menangkal perubahan-perubahan sosial yang terus-menerus terjadi lewat informasi yang keliru. Terutama dari media sosial, yang sangat menjamur.
Terhadap dampak iklim ini yang berdampak pada kepekaan masyarakat adalah beredarnya bahasa-bahasa yang penuh istilah di luar jangkauan pengetahuan umum. Sering disebut sebagai bahasa gaul. Di satu sisi, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat dinamis, sementara perawatan bahasa dan sastra daerah, sedikit demi sedikit makin tergerus, nyaris punah.
- Iklan -
Ini tidak mudah, dengan membiarkan struktur budaya yang juga meliputi bahasa dan sastra lokal berkembang secara alami. Harus ada kepekaan dari pelbagai pihak, yang menjembatani untuk menjaga ekosistem budaya, terutama pada unsur budaya etnis. Bagaimana pembangunan sarana fisik di daerah-daerah 3T (Terpencil, Terjauh, Terdepan), -dalam fokus tulisan ini- tentunya semakin modern dan mengikuti konsep desain dari perubahan sosial. Apakah nilai-nilai budaya berbanding lurus mengiringinya?
Kenapa menjadi penting, untuk selalu mengingatkan keberadaan bahasa dan sastra di daerah, terutama di beberapa sub-suku yang hampir punah? Sebagai contoh yang kita lihat di pedalaman Papua dan Sulawesi, dalam kurun waktu 20 tahun ke depan terancam punah. Secara logika, jika salah satu unsur budaya etnis hilang, maka mengakibatkan hilangnya budaya suatu suku.
Apakah kemudian di beberapa daerah (suku adat), juga tidak memiliki potensi terjadinya penggerusan dan menuju kepunahan. Seiring perubahan era atau zaman, ini sangat mungkin terjadi. Gejala ini muncul akibat perilaku sosial yang berbeda. Dengan kondisi sosial-ekonomi yang berbeda seperti saat ini, akibat tekanan penyebaran pandemi, ada banyak catatan-catatan sejarah bermuatan lokal seakan terputus.
Jika kita menyimak tentang keberadaan kantor bahasa yang sekarang oleh pemerintah digiatkan dimana-mana, artinya peran dan fungsi bahasa lokal menjadi tonggak untuk membangun kerangka bangsa dalam melestarikan peninggalan catatan sejarah. Hal-hal semacam ini tentunya juga memperhatikan kearifan lokal, agar permasalahan yang ada di daerah tidak selalu bergantung pada kebijakan pusat.
Konsep pembentukan kantor bahasa di daerah-daerah adalah bentuk perwujudan dari eksistensi pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya lokal. Dimana potensi daerah memang sudah saatnya untuk digalakkan kembali, bukan hanya sekedar bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat lokal, sehingga potensi dikotomi (pembagian) menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Dan akhirnya dapat menimbulkan empati masyarakat, karena menganggap sesuatu yang kurang penting dibandingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menyoal pengembangan dan pemahaman linguistik bahasa, tentu juga tak bisa meninggalkan peran pemahaman literasi, yang saat ini sangat terbuka lebar bagi siapa saja untuk berperan serta. Jika kita menelisik kajian dalam inventarisasi balai bahasa, tentunya sumber-sumber bahasa daerah dan sastra sebagai warisan bagi generasi berikut. Hanya sayangnya, kita sangat minim untuk SDM yang bekerja dalam tugas-tugas riset dan penelitian terhadap kajian bahasa dan sastra daerah.
Dalam patron (pola) sejarah, kita tentu tak akan bisa melepaskan adat-istiadat sebagai pegangan dalam bermasyarakat. Tetapi tekstur budaya ini semakin lama terkikis karena generasi muda terutama pada tingkat pendidikan formal, kurang mendapat informasi yang akurat. Apalagi dengan sistem edukasi pendidikan yang mulai menghilangkan muatan lokal. Kita sangat prihatin, misalnya saja seorang anak yang kelahiran dan dibesarkan dalam suku adat daerah, tetapi sangat terbatas pengetahuannya tentang bahasa daerah tersebut.
Selama ini, ragam bahasa dan sastra dianggap sebagai modal untuk mengangkat aspek-aspek dan karakter budaya. Tetapi sekarang sudah sangat berbeda, karena pemahaman akulturasi budaya dihadapkan pada pembenaran yang boleh digunakan selama tetap menjaga etika moral. Konsep estetika dalam bahasa dan sastra menjadi perujuk adat istiadat versi modern. Sikap ini muncul tentu karena kurangnya rasa ketertarikan (minat) pada generasi kini dan akan datang yang lebih mementingkan untuk menjawab tantangan era/zaman.
Seperti kita ketahui, di negeri ini terdapat 746 bahasa etnik dari pelbagai suku daerah. Sementara jumlah bahasa yang terancam punah sebanyak 163 bahasa etnik (berdasarkan data balai bahasa Kemendikbud RI). Pada etnik tersebut jika dirata-ratakan jumlah penuturnya kurang dari 500 orang. Artinya, potensi kepunahan dalam beberapa tahun akan datang menjadi sangat rentan.
Maka, jika kita menyoal tentang tradisi, persoalan kini yang dihadapi adalah “perkawinan antar suku adat” yang berisiko terhadap makin punahnya bahasa ibu dan adat istiadat. Bisa jadi, hal semacam ini terjadi di beberapa suku adat lokal. Kenapa makin punah, karena berpotensi untuk memunculkan adat istiadat baru. Bukan berarti masyarakat harus menentang perkawinan antar suku. Tentunya harus dicarikan solusi, tanpa meninggalkan peran modernisasi. Ini salah satu sebab, di antara sebab yang lain.
Untuk mengangkat kembali, kemudian tetap menjadi acara atau peringatan secara konsisten, kita berharap sastra lisan, khususnya pada adat istiadat sub-suku lokal tidak sampai punah. Sastra lisan ini, sudah sejak ratusan tahun silam digunakan dalam acara adat perkawinan, penyambutan tamu, dan acara-acara lainnya. Apakah peringatan bulan bahasa dan sastra hanya menjadi stigma budaya yang hanya menonjolkan sisi seremoni belaka, atau hanya menjadi arca yang tersimpan dalam galeri budaya? Ini tantangan kita bersama.
Dalam ikatan emosional, penulis seakan membayangkan bagaimana di ufuk senja pantai, daya pandang masyarakat kita memaknai zaman ini sebagai zaman nalar yang mengedepankan logika nalar sebagai batas garis dalam cakrawala. Dan dimensi perubahan sosial tertelungkup digaris ufuk nyanyian senandung laut, yang mampu memupuskan dikotomi bahasa menjadi sebuah fatamorgana linguistik dan literasi bahasa nasional. Harapan ini tentunya bukan tanpa alasan, sebab momen sumpah pemuda adalah tonggak nasionalisme dalam menjaga cagar alam budaya. ***
*) Penulis adalah sastrawan dan peminat budaya, tinggal di Malang