Oleh: Slamet Makhsun*
Gus Dur mengakui bahwa sejak era 1960-an ke atas, terdapat pergeseran yang sangat berarti dalam motif-motif gerakan keagamaan, di mana aspirasi-aspirasi keagamaan dipadukan dengan ideologi sehingga bersifat revolusioner, terutama oleh sebagian umat Islam. Ideologi yang revolusioner ini, pada hulunya membawa umat Islam kepada jurang perpecahan. Bagaimana tidak? Banyak dari ajaran kelompok tersebut mempertentangkan antara agama dengan budaya, antara agama dengan negara, sehingga, masyarakat pun pecah dan terombang-ambing.
Hal itu dikarenakan sifat keras kepala oleh sebagian kelompok umat Islam yang menghendaki berdirinya ‘kerajaan Tuhan’ di bumi. Dogma yang mereka amini, bahwa “Mendirikan kekhilafahan Islam adalah wajib. Memberlakukan hukum Allah SWT adalah wajib. Barang siapa yang menolak, walaupun dia mengaku Muslim, maka wajib hukumnya untuk dibunuh, karena dianggap telah menghalangi dakwah Islam.”
- Iklan -
Sependek itulah pemikiran mereka, pemikiran Muslim yang radikalis-tekstualis-fundamentalis. Pemaknaan Islam yang mereka dapat, hanya sebatas literal. Maksudnya, dalam menafsirkan Al-Quran, mereka cenderung sama persis, saklek—hanya berdasar terjemahan kata per katanya. Padahal, menafsirkan Al-Quran tidak semudah itu. Butuh banyak pertimbangan dan kajian, semisal dari segi asbabun nuzul-nya, keterangan Nabi SAW dan sahabatnya, maqashid-nya, serta keterangan-keterangan lainnya.
Dampak dari itu, lalu melahirkan sosok Muslim yang frontal. Muslim yang mudah menyalahkan, tidak mau berdiskusi, menang sendiri. Ideologi seperti itulah, yang dalam dua dekade terakhir, telah mengkader banyak teroris yang menggerogoti negeri ini. Menciptakan beragam konflik keagamaan.
Sejatinya, Indonesia sudah cukup banyak memiliki undang-undang yang mengatur terorisme dan hubungan kerukunan antar umat beragama. Seperti undang-undang No. 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, undang-undang No 5 tahun 2006 tentang pengesahan International Convention for The Suppression of Terrorist Bommbing, 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris, 1997), undang-undang No. 6 tahun 2006 tentang pengesahan International Convention for The Suppression of The Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Teroris, 1999), dan masih banyak lagi.
Kenyataannya, itu semua tidaklah berhasil dalam mencegah radikalisme agama. Problem yang terjadi di lapangan adalah, mereka yang menjadi teroris, berani mati demi tercapainya cita-cita golongannya. Tersebab, mereka selalu membawa nama Tuhan dalam setiap agendanya, sehingga, seakan-akan perbuatan keji mereka itu ‘didukung dan diridhai’ Tuhan. Cuci otak seperti itu, memang sulit diberantas.
Pada taraf ini, pemikiran Gus Dur menjadi penting sebagai konter narasinya. Apa yang menjadi titik pokok Gus Dur dari relevansi agama dalam kehidupan kontemporer ialah bahwa agama diturunkan untuk manusia dengan segala kandungan kemanusiaannya, termasuk pluralitas kehidupan sosial dan kulturalnya. Oleh karena itu, penerjemahan teks-teks agama dalam realitas kehidupan, janganlah “mengatasnamakan Tuhan” atau “demi kehendak Tuhan”, apalagi “untuk membela Tuhan”. Melainkan atas dasar kepentingan manusia dan untuk manusia sendiri.
Oleh karenanya, Gus Dur melontarkan adagium yang sangat terkenal, “Tuhan tidak Perlu Dibela”. Maksudnya bahwa Tuhan dengan kemahakuasaan-Nya, sama sekali tidak butuh bantuan dari manusia. Malahan, manusia yang sering membawa-bawa dan mengatasnamakan Tuhan, justru malah merendahkan derajat Tuhan sendiri. Sejatinya, ke-Esa-an dan ke-Maha Kuasa-an Tuhan sama sekali tidak akan terganggu atau tergoyahkan hanya gara-gara ucapan ‘kerdil’ manusia.
Para teroris yang setiap kali membuat rusuh negeri ini, kerap kali menggunakan alasan bahwa perbuatan keji mereka itu, dianggap sebagai pelaksanaan dari perintah Tuhan—demi berjuang dan membela agama Tuhan. Sebenarnya, justru hal-hal semacam ini yang mencemarkan ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Merebaknya Islamophobia di Eropa dan Amerika, merupakan bukti nyata atas penyalahgunaan penggunaan nama Tuhan oleh sebagian Muslim radikal tersebut.
Dan boleh jadi, orang-orang yang bergulat dengan permasalahan kemanusiaan seperti kelaparan, kemiskinan, atau kebodohan, yang berangkat dari ekspresi semangat keagamaan dan keikhlasan, justru merekalah yang sebenar-benarnya “membela Tuhan”. Dalam salah satu esainya, Gus Dur mengutip perkataan Imam Al-Hujwiri;
“Bila engkau menganggap Tuhan ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Tuhan tidak perlu disesali kalau ‘Ia menyulitkan’ kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Tuhan, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.”
Kutipan dari Imam Al-Hujwiri di atas, secara tersirat dimaknai bahwa ekspresi keagamaan setiap Muslim, seharusnya berwujud kebaikan dan ketulusan cinta kepada semua orang, tanpa terkecuali. Jika pun ada perkataan atau perbuatan orang lain yang kiranya melukai dan memancing emosi seorang Muslim, sebenarnya tidak perlu dilayani. Cukup diimbangi dengan ekspresi dan informasi yang positif, lalu dudukkanlah perkaranya secara dewasa dan biasa-biasa saja.
Kebenaran Tuhan tidak berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan manusia terhadap-Nya. Jika seperti itu, maka umat Islam tidak akan mudah emosi-an dan bisa bersikap dewasa. Tidak akan ada lagi umat Islam yang akan menjadi teroris dan merugikan orang atau pihak lain.
*) Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Turut pula bergabung dengan PMII Rayon Pembebasan dan anggota IPNU PAC Mlati, Sleman. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.