Oleh Hamidulloh Ibda
Jika kita membaca beberapa literatur, santri diadopsi dari berbagai bahasa atau idiom. Santri berakar dari shastri.
Raditya (2019) menyebut santri dari bahasa Sanskerta, “shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan.
Menurut kiai Muslim Assalamy (2021), Santri itu bisa diartikan antara lain “Saatirul uyuub” yang berarti menutup banyak aib.
- Iklan -
Aib dirinya, aib orang lain, aib siapapun. Pokoknya bersikap menutup cacat zahir batin siapapun. Dirinya, orang tua, keluarga, sahabat bahkan musuhnya sekalipun.
Santri bukan penyebar aib. Tidak menyebar dan menebar aib, fitnah, berita bohong, hoaks, perundungan dan ujaran kebencian.
Santri itu “Naaibu dzawil quluub”, yang menggantikan para ulama yang memiliki hati baik, bersih dan meneruskan dakwah Rasulullah shallallahu alaihi Wasallam.
Santri itu “Taaibun anidz dzunuub” yang bertobat dari dosa, bertobat dari segala kesalahan dan kemaksiatan, dan tidak putus asa.
Santri itu “Roojiu aalimil ghuyuub”, segara urusannya diserahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, percaya diri bahwa Allah yang menentukan segalanya.
Santri itu “Yaaquutun bainal ahjaari wal hubuub”, permata di antara bebatuan dan biji-bijian.
Epistemologi di atas hakikatnya menguatkan pemahaman bahwa santri adalah penjaga. Bisa penjaga diri, keluarga, bangsa, agama dan masyarakat luas. Sangat logis ketika santri diidentikkan sebagai penjaga NKRI.
Jika ada santri kok berkhianat pada NKRI, maka hakikanya ia terkelupas dari genealogi santri itu sendiri. Apalagi kita tahu bahwa latar belakang Hari Santri Nasional yang sudah ditetapkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta itu berangkat dari peristiwa besar Resolusi Jihad.
Maka tidak berlebihan jika Hari Santri Nasional spiritnya adalah sebagai pengingat dan meneladani semangat jihad para santri merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digelorakan para ulama. Tanggal 22 Oktober merujuk pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh Pahlawan Nasional yang juga pendiri NU yaitu Hadratusyaikh KH. Hayim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kala itu.
Spirit Hari Santri Nasional 2021
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah merilis tema dan logo Hari Santri 2021, pada Selasa, 21 September 2021, di Auditorium HM Rasjidi, Kantor Kementerian Agama Jakarta. Perwakilan Kementerian/Lembaga, ormas-ormas Islam, dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Efendi, Ketua Komisi VIII Yandri Susanto, serta lainnya.
Tema yang diusung dalam Hari Santri 2021 ini adalah Santri Siaga Jiwa dan Raga. Spirit ini memang berangkat dari spirit untuk mengawal dan melawan pandemi covid-19. Santri memiliki sikap andil menjaga kesehatan NKRI. Jangankan kesehatan, penjajah saja diusir dari bumi pertiwi ini. Maka menjadi santri memang serbaguna, karena memiliki andil besar dalam kemajuan bangsa Indonesia.
-Penulis adalah Ketua Pengelola Kegiatan Asrama Pondok Pesantren Mahasiswa INISNU Temanggung