Cerpen Gunoto Saparie
Sore itu hatiku berdebar ketika melihat Rodhiyah. Putri Kiai Mahirin itu sedang mengambili pakaian yang dijemur di halaman. Gadis itu memang memikat. Wajahnya bersih. Matanya bening bercahaya. Bibirnya kemerahan. Kulitnya putih. Ia menjadi dambaan para santri di pondok pesantren Bahrul Ulum ini.
“Kau harus hafal Alfiyah,” kata Hasyim, santri senior yang akrab denganku.
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
- Iklan -
“Kau naksir Rodhiyah kan?”.
Aku hanya tertawa. Mencoba menyembunyikan perasaanku. Hasyim tersenyum, sedikit mengejek.
Di pesantren tradisional memang ada slogan bahwa pemuda yang hebat adalah mereka yang mampu menghafal dan memahami Kitab Alfiyah. Para santri putri akan lebih tertarik kepada pemuda yang mampu menghafal nazam Alfiyah yang terdiri 1002 bait itu.
“Mengapa nggak pakai mahabbah saja? Baca surat Yusuf, misalnya?” candaku.
“Jangan main-main dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Itu kalam Ilahi,” tegurnya.
Aku terdiam. Hasyim, sebagaimana santri senior kepada juniornya, memberi nasihat agar aku tidak mengabaikan Al-Qur’an sebagai kitab suci, sebagai petunjuk dan pedoman hidup, di dunia dan akhirat.
“Jangan memperlakukan kitab suci sebagai mantra atau aji-aji pengasihan,” tandasnya.
Aku ingat bagaimana Kiai Mahirin berulang-ulang mengatakan bahwa menghafal dan memahami Alfiyah itu sangat penting. Ia merupakan ilmu alat untuk memahami kitab kuning. Untuk bisa membaca Al-Qur’an kita harus mengerti tajwid. Namun, untuk bisa membaca kitab kuning protokol yang dipakai nahwu dan sharaf.
“Itu ada di Alfiyah,” tandas Kiai Mahirin.
“Tapi ingat ya … siapa pun orangnya, yang menghafal Alfiyah jangan merasa sombong. Bisa jadi hafalannya hilang dan tidak akan selesai sampai akhir bait,” katanya lagi.
Nazam Alfiyah karya Ibnu Malik memang sebuah karya yang sangat fenomenal. Ia tidak akan pernah terhapus dalam khazanah intelektual pesantren, khususnya pesantren salaf. Kitab ini berisi kaidah-kaidah gramatika bahasa Arab, seputar nahwu sharaf. Di antara keunikan dari kitab ini adalah penempatan kata-kata dan contoh dalam nazam yang tidak sembarangan, melainkan mempunyai maksud dan isyaroh tersendiri: kalam-kalam hikmah, falsafah dan nasihat hidup. Ibnu Malik yang aslinya bernama Muhammad bin Abdullah bin Malik Ath-Tha’i Al-Jayyani adalah seorang pemuda yang mampu mengarang Kitab Alfiyah yang memadukan sastra Arab dan teori gramatika bahasa Arab. Kitab ini disusun di negara yang bukan jazirah Arab, yaitu Andalusia, Spanyol.
“Bagiku Alfiyah itu kitab yang paling susah dihafal. Meskipun demikian, aku berusaha keras menghafal Alfiyah. Aku terus mencoba menghafal setiap malam, meski tak hafal-hafal. Padahal aku telah tiga tahun mondok di pesantren ini.”
“Alfiyah itu memang favorit di dunia santri. Jangankan hafal, paham sedikit-sedikit isinya saja sudah bisa membikin pemiliknya menjadi raja di pesantrennya,” kata Hasyim yang sudah telah hafal 600 bait nazam Alfiyah.
Dalam lomba menghafal Alfiyah tingkat kabupaten beberapa waktu lalu, Hasyim tidak mampu menyelesaikan hafalannya. Ia hanya hafal 600 bait saja, padahal semalam sebelumnya konon ia telah mampu mendendangkan 1000 bait lebih di luar kepala.
“Tiba-tiba aku lupa. Aku kehilangan ingatan. Astaghfirullah…,” katanya.
“Padahal aku telah berusaha menghafal sambil berpuasa bertahun-tahun,” ujarnya lagi.
Hari-hariku sendiri memang lebih disibukkan untuk menghafal Alfiyah. Karena ia merupakan kewajiban yang harus ditempuh oleh santri yang sudah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an. Sebenarnya aku menikmati hal ini. Apalagi Alfiyah merupakan kitab yang sangat unik dan nazamnya sangat indah.
“Tapi kau hebat, Kang Hasyim. 600 bait bukan jumlah sedikit. Aku 100 bait saja belum hafal,” kataku.
“Aku memakai beberapa cara atau teknik untuk menghafal Alfiyah. Aku membaca berulang-ulang materi yang akan dihafal. Kemudian menutup kitab sambil dihafal kembali. Begitu terus- menerus hingga benar-benar hafal,” kata Hasyim.
“Tapi aku jenuh….”
“Kau bisa menghafal di area persawahan sambil menikmati pemandangan segar ketika pagi ataupun sore hari. Kau bisa menghafal sambil jalan-jalan. Kau bisa memanfaatkan waktu menghafal ketika ke pasar untuk belanja kebutuhan dapur, aktivitas di luar pondok, bahkan ketika perjalanan pulang ke rumah.”
Ternyata motivasiku menghafal Alfiyah bertambah setelah Hasyim menyemangatiku. Perasaan ingin dikagumi Rodhiyah karena hafal Alfiyah membuat mulutku selalu komat-kamit menyenandungkan nazam atau syair-syair itu.
Namun, beberapa malam ini aku mendadak tak bisa menguasai kata-kata yang kuhafal ketika berada di depan Kiai Mahirin. Saat itu aku menyampaikan apa yang telah kukuasai lewat hafalan kepada Kiai Mahirin lewat sorogan. Aku menghafalkan apa yang sudah kupelajari dari Alfiyah di hadapan Kiai Mahirin secara langsung. Tapi aku selalu grogi. Entah kenapa selalu terdapat kekeliruan dalam hafalanku, baik dari bait-bait Alfiyah, terjemahan, dan kandungannya. Meskipun Kiai Mahirin membetulkannya dengan sabar, keringat dingin membasahi tubuhku.
“Mungkin karena kau melihat Kiai Mahirin adalah ayah Rodhiyah. Kau tegang jadinya, sehingga hafalanmu kacau,” kata Hasyim ketika aku menyampaikan pengalamanku yang konyol.
“Waktu itu aku akan setor hafalan Alfiyah lima bait. Tapi ketika berada di depan Pak Yai, satu bait pun gagal kuhafal.”
Hasyim tertawa, terbahak.
“Kamu nggak santai sih. Bayangkan terus wajah cantik Rodhiyah. Jangan kaulihat wajah Kiai Mahirin itu….”
“Mengapa harus hafal ya? Bukankah yang lebih penting memahami isinya? Buat apa kita hafal tapi nggak tahu apa yang dihafalkan?” aku memprotes.
“Proses pembelajaran Alfiyah memang dengan metode hafalan. Hafalan santri itu akan sangat berpengaruh terhadap pemahaman terhadap maksud dari bait-bait Alfiyah. Santri yang hafal Alfiyah akan lebih mudah memahami isinya ketimbang santri yang tidak menghafalnya.”
“Aku jadi malas….”
“He, jangan begitu. Ataukah impianmu mendapatkan Rodhiyah akan kandas?”
Kami pun tertawa. Menertawakan hal-hal sederhana dalam kehidupan kami di pesantren.
“Untuk Kang Hasyim saja dia.”
“Hah? Apa? Ada-ada saja.”
Kali ini tertawa Hasyim meledak.
“Kamu tahu, untuk mempelajari dan memahami kitab kuning bukan persoalan mudah. Sebagian besar kitab kuning itu tak menggunakan tanda baca dan harakat alias gundul. Karena itu diperlukan sebuah alat untuk mempermudah para santri dalam mempelajari dan memahami kitab kuning itu. Alat itu adalah nahwu sharaf, antara lain Kitab Alfiyah itu,” Hasyim menjadi serius.
“Dengan Alfiyah memberikan peluang kita memiliki keahlian dalam bahasa Arab. Selain itu memudahkan kita mengambil referensi dari kitab-kitab utama ilmu keislaman,” katanya lagi.
Aku hanya mengangguk-angguk.
Siang itu sehabis salat zuhur berjamaah aku duduk di serambi masjid pesantren. Aku suka menatapi para santri putri yang selalu melewati jalan depan masjid pulang dari sekolah. Mereka lewat beramai-ramai. Ada yang menoleh dan tersenyum. Ada yang menundukkan kepala. Ada yang tersipu. Ada yang sibuk dengan kitab di tangannya. Ada yang menyenandungkan nazam. Ada yang tertawa berderai. Tapi ada pula yang berani melambaikan tangan, menggodaku.
Namun, sampai rombongan para santri pulang sekolah menuju pondok itu habis, ternyata aku belum melihat Rodhiyah. Ada apa dengannya? Ke manakah dia? Aku bertanya-tanya dalam hati. Adakah sesuatu yang terjadi dengannya? Mungkin sakit? Tanda tanya itu terbawa terus di pikiranku sampai aku makan siang dan beristirahat.
Tanda tanya itu akhirnya terjawab sehabis salat isya. Kiai Mahirin, tidak seperti biasanya, absen menjadi imam. Berita dari mulut ke mulut di kalangan santri menyebutkan bahwa Rodhiyah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Entah ke mana. Ia tidak mau dijodohkan dengan salah satu santri ayahnya. Namun, sang ayah, Kiai Mahirin, tetap bersikeras, karena orang tua santri tersebut adalah temannya sepondok waktu di Tebu Ireng. Mereka bersahabat lama dan sepakat untuk menjodohkan anak mereka masing-masing. Aku terkejut setengah mati ketika santri yang dijodohkan dengan putri sang kiai itu ternyata adalah Hasyim. ***
Semarang, Juni 2021.
*GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, 22 Desember 1955. Lulusan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Kumpulan puisinya Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020). Kumpulan esainya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1987). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019). Kini menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah.