Oleh Setyaningsih
Anak-anak merayakan kemerdekaan secara kolektif, tapi tidak ingin menganggap peristiwa dengan luhur amat atau terlalu serius-partriotis. Di bulan Agustus, anak-anak menjadi pihak yang riang, membayangkan lomba-lomba pitulasan, aksi menghias kelas berhadiah, jalan sehat berundian, tirakatan kampung, pentas seni, pasar malam, dan bahkan upacara. Mereka mungkin diingatkan pada ketabahan bangsa menghadapi penjajahan masa lalu. Biarlah kemurungan milik masa lalu. Meski anak-anak selalu dinasihati sebagai penentu nasib dan penerus bangsa, mereka tetap mengartikan kemerdekaan itu perayaan dan kegembiraan.
Tubuh kanak sering punya cara berdamai pada instruksi pemerintah lewat agenda bersekolah dalam peringatan hari kemerdekaan. Di lapangan yang akbar, biografi sebagai warga negara yang mengingat jasa para pahlawan dimulai dalam barisan rapi. Sesekali, pawai-pawai berisi sorai-sorai kemenangan memenuhi jalan. Panas dan lelah tidak patut ditampakkan sebagai keluhan. Peringatan kemerdekaan tidak disangka jadi hiburan. Anak-anak sekolah dan para pejabat berupacara. Masyarakat sekitar yang belum atau tidak lagi memikul identitas sebagai pelajar melihat sebagai penghiburan dan nostalgia.
- Iklan -
Dalam buku pelajaran bahasa berjudul Bahasa Kita untuk kelas IV (1970) garapan Baidilah Halian dkk, muncul cerita “Pawai 17 Agustus”. Barisan anak-anak sekolah berwajah gembira, berjalan bersama dengan deru genderang serta seruan panji-panji dan kibaran bendera. Diceritakan, “Pukul tudjuh lontheng berbunji. Anak-anak berkumpul dihalaman muka. Mereka berbaris empat-empat. Dimuka sekali pandji-pandji sekolah dan dikanan-kiri Sang Merah Putih. Dibelakang pandji-pandji berbaris pemukul genderang. Mulailah mereka berbaris menudju kealun-alun.” Pawai harus berjalan dengan segenap heroisme tanpa kelelahan dan muram.
Sebaliknya, anak-anak dalam cerita “17 Agustus” di bacaan anak berbahasa Jawa Sekar Mekar (1966) garapan Reksoprodjo, O. Dharmobroto, dan Soemardjo menjadi penonton pawai tentara. Sekolah, kantor, dan toko-toko libur untuk hari raya Proklamasi Kemerdekaan. Berlatar di Solo diceritakan, “Botjah-botjah pada dandan, arep nonton arak-arakan menjang ngarep Sriwedari lan nonton defile ing ngalun-alun. Defile ngono upatjarané tentara baris ndendeng nganggo musik barang lan didjenengi para panggedé.” Pawai berhasil menerbitkan kekaguman kolosal anak-anak di desa dan kota. Kesan militeris dari musik, lagu, dan kendaraan militer justru jadi hiburan. Menonton pertunjukan sama semaraknya dengan mengikuti aneka lomba di kampung-kampung. Mereka tidak pernah merasa wajib mencari relasi patriotis antara kemerdekaan dengan kelereng, balap karung, botol, kerupuk, atau pecah air. Yang penting menang dan merdeka!
Buku-buku
Orde Baru tidak hanya mengukuhkan perayaan kemerdekaan lewat upacara kolosal berkesan wajib. Penerbitan buku-buku bacaan anak bertema perjuangan, kepahlawanan, perlawanan terhadap penjajah, dan imajinasi atas tokoh kebangsaan memiliki misi sama penting. Buku-buku bacaan anak program pengadaan buku Inpres sejak tahun 1970-an menyapa anak-anak di desa dan kota serta mengalami cetak ulang selalu. Kemerdekaan tidak cukup diterakan jejaknya dalam upacara atau pawai berkesan ragawi tapi juga agenda membaca sekalipun buku membawa doktrin kepahlawanan yang amat militeris dan politis. Pahlawan dari masa ke masa selalu digambarkan berjasa, berani mati, pantang menyerah, dan cinta tanah air. Sifat-sifat ini secara tidak langsung harus diteladani anak-anak Indonesia.
Kita bisa menziarahi buku-buku bertema patriotisme; Jiwa Patriot (Pustaka Jaya, 1992) garapan Moerwoto, Cinta Museum (Indopad Prima, 1995), Kereta Pagi Jam 5 (Balai Pustaka, 1994) garapan Hamsad Rangkuti. Buku seri biografi pahlawan digarap atas restu pemerintah sebagai bacaan pengenalan ataupun pelengkap buku sejarah; 9 Srikandi Pahlawan Nasional (UP Indonesia Jogja, 1984) garapan Kamajaya, Nyi Ageng Serang (Roda Pengetahuan, 1992) garapan Bambang Sokawati Dewantara, R.A. Kartini (Mutiara Sumber Widya, 1992) oleh Sutrisno Kutojo dan Mardanas Safwan, Tuanku Imam Bonjol (Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1985) garapan Mardjani Martamin, R.M. Suryopranoto (Roda Pengetahuan, 1983) garapan Bambang Sokawati Dewantara.
Sebuah buku kumpulan puisi perjuangan pun jadi lawatan kemerdekaan, Untukmu Bangsaku (Tiga Serangkai, 1985) garapan Seno Subro. Meski terkesan agak dipaksakan dan terkadang kurang enak didengar seolah pelajaran sejarah dialihkan dalam bait-bait, puisi perjuangan menjadi dokumentasi zaman. Kita cerap pernyataan dari penulis, “Dalam buku ini disajikan puisi atau sajak perjuangan. Bentuk sajian ini dipilih karena anak-anak dengan mudah dapat membaca dan membawakannya. Dibawakan di atas pentas, di muka kelas atau hanya dibaca di rumah.”
Peristiwa, waktu, tempat, dan tokoh memasuki anak-anak yang hidup di masa berbeda. Sukarno dan Hatta selalu muncul sebagai dua bapak utama kemerdekaan. Puisi melanjutkan tugas buku pelajaran untuk menjabarkan dan guru menjelaskan. Puisi “Proklamasi Kemerdekaan” berbunyi, Berakhirlah belenggu perjuangan/ tibalah saat bersejarah,/ bagi bangsa Indonesia,/ proklamirkan kemerdekaannya./ di Pegangsaan Timur Jakarta,/ Sukarno-Hatta wakil bangsa,/ proklamirkan kemerdekaan Indonesia./ Bendera pusaka Merah Putih mengangkasa,/ berkibar di tiang perkasa./ Siapa berani menurunkan?/ Serentak rakyat membela,/ pertaruhkan jiwa raga!
Rentetan biografi kanak dan kemerdekaan menjadi pembalikan nasib masa lalu di antara masa kini. Kesulitan-kesulitan melahirkan kemerdekaan harus diganjar dengan perayaan serba senang, serba kenyang, dan sering berhadiah. Pengingatan penting setahun sekali memang mengingatkan anak-anak pada jasa para pahlawan, kekejaman penjajah, kematian pahlawan, atau kelaparan yang melanda selama pendudukan. Namun, semua tetap menjadi cerita yang harus berlalu tanpa ratap tangis. Merdeka dengan gembira!
-Esais dan penulis Kitab Cerita (2019), Mengelola Penerbit Babon