Cerpen Moh. Romadlon
Sebut saja tokoh kita Suyud. Begitu memang nama sebenarnya. Suyud. Tetapi warga kampung Dukuh Waru lebih suka memanggil lelaki tua berwajah tanah itu dengan nama Kopong atau Suyud Kopong. Mereka memanggil begitu lantaran mereka yakin kalau kepala Suyud hanya sejenis balon karet; kosong tanpa ada isinya sedikit pun. Beda jauh dengan kepala mereka yang penuh oleh otak lengkap dengan kabel-kabel syaraf.
Polah Suyud Kopong memang terbilang ganjil. Malam hari, di rumahnya, tepatnya gubuknya yang bersebelahan dengan area makam kampung ia sering melengkingkan lelagu-lelagu Jawa. Suaranya sering terdengar aneh, kadang melengking-lengking, kadang datar nan lembut, terkadang menyanyat-nyayat. Seperti suara dari luka paling luka dan pedih paling pedih. Sementara kabar yang tersiar antar warga, itu adalah suara kesintingan paling sinting.
Ada yang bilang kekopongan dan kesintingan Suyud itu lantaran hidupnya yang terlampau miskin. Ada yang menduga karena kesepian. Semiskin apa pun kalau memiliki orang lain dalam hidupnya tidak akan sinting. Sebaliknya, sekaya apa pun bila selalu merasa sendiri sepanjang waktu lama-lama akan sinting juga. Dan Suyud Kopong tampaknya menjalani kedua-duanya; kemiskinan dan ketersendirian. Namun banyak juga yang yakin kalau kekopongan Suyud adalah bawaan lahir, sudah dari “cetakannya”. Konon orang tuanya tak jauh beda dengan Suyud Kopong. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu warga menyimpulkan. Karena itu mereka enteng saja ketika melontarkan ejekan dan olokan padanya. Tapi dasar Suyud Kopong. Apa pun kata orang tidak pernah ditanggapi serius. Ia tidak peduli pada apa dan siapa. Ia terus asyik dengan dirinya sendiri, dengan menciptakan dunia sendiri yang tidak tersentuh orang lain. Dan tetap gembira dengan caranya sendiri tentunya. Entahlah. Yang jelas bagi Tamat dan Sudra, otak Suyud itu kopong. Titik!
- Iklan -
“Dasar Kopong,” celetul Tamat suatu malam saat melintas dekat gubuk Suyud Kopong dan iseng mengintip ke dalam lewat celah dinding ayaman bambu. Suyud Kopong tampak sedang meliuk-liukan tubuh dengan kecang sembari mulutnya keras melantunkan bait-bait syair yang tak begitu jelas antara bait kasidah, selawat, atau malah sekadar celoteh-celoteh tak karuan.
“Ayo cepat pergi. Kalau lama-lama di sini, bisa-bisa kita ketularan sinting.” Sudra segera menyeret lengan Tamat. “Kamu mau?”
“Hii. Ogah!” Tamat segera menarik matanya.
Keduanya pun menjauh dan melupakan apa yang barusan dilihat. Otak mereka kembali fokus pada tujuan semula, pada “kenikamatan” di warung remang yang letaknya tinggal beberapa meter di depan mereka. Hampir tiap malam Tamat dan Sudra menuntaskan nafsu di sana untuk berjudi dan minum-minuman. Dan tiap pergi ke warung remang itulah keduanya melintasi jalan samping rumah Suyud dan mendengar keganjilan itu.
Sebenarnya bukan sekadar iseng, kalau lagi beruntung saat mengintip, keduanya menemukan isyarat angka dari ocehan Suyud. Kalau sudah begitu mereka girang dan segera membeli nomor togel sesuai isyarat dari Suyud. Meski baru sekali tembus setelah ratusan kali gagal, dua gedibal itu tidak juga kapok.
***
“Wah dapat banyak, nih, Pong,” goda Tamat saat melihat Suyud Kopong muncul dan tampak kepayahan memanggul goni. Sepertinya goni itu memang sudah betul-betul terisi penuh.
Oh ya, siang hari Suyud Kopong kerjanya ngelayap selayak pemulung atau bahkan seperti orang kurang waras. Sebelum matahari berhasil naik setombak, saat orang-orang masih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing ia sudah meninggalkan rumah. Dengan menenteng goni dan sebilah pengait, ia terus mengikuti ke mana kaki melangkah hingga tiba di kampung-kampung yang jauh. Ketika matahari bersiap tenggelam ia kembali dengan sekarung beban tersampir di pundak. Selalu begitu saban hari. Dan setiap berjalan melintas dekat pos ronda pasti Tamat dan Sudra menggodanya.
“Iya, kelihatan berat begitu,” imbuh Sudra. Tangannya lincah mengocok domino. Begitulah, bila siang kerjaan dua gedibal itu hanya tidur atau main domino. “Apa sih isinya, Pong?”
Suyud Suyud Kopong sudah hafal. Biasanya hanya nyengir lalu lekas menyingkir. Namun kali ini berbeda. Suyud menanggapi. “Macam-macam,” saut Suyud Suyud Kopong. “Ada sifat pongah, iri, dengki, riya, sombong, takabur, sumpah serapah, sampai rerupa kata-kata bijak yang sudah peot terinjak-injak.”
“Apa?” ujar Tamat dan Sudra kompak lalu tawa mereka meledak. Tentu siapa pun akan menertawai dan melecehkannya. Bagaimana mungkin sifat-sifat buruk macam itu bisa dimasukkan ke dalam goni layaknya besi tua atau kardus busuk. Kalaupun bisa, tentu hanya orang tidak berotak yang mau memungutinya.
“Dasar Kopong,” cibir Tamat.
“Tidak percaya?” Suyud Kopong membuka dan mendekatkan mulut goni ke arah mereka. Seketika bau bacin menguar dan jutaan belatung terlihat merayapi mulut goni. Seperti berasal dari aneka bangkai.
Tamat dan Sudra buru-buru meloncat menjauh sambil memencet hidung kuat-kuat.
“Gila, itu sih bangkai!” teriak Sudra.
“Pergi. Sana pergi. Cepat pergi,” usir Tamat sembari mengendalikan perutnya yang mulai mual.
Giliran Suyud Kopong yang terkekeh-kekeh kegirangan. Lekas Goni disampirkan di pundak lalu melangkah menjauh sembari bersiul-siul. Sementara Tamat dan Sudra mengiringi dengan kata umpatan dan serapah.
Begitulah. Suyud Kopong terus asyik dengan dunia sendiri dan tetap gembira dengan caranya sendiri. Tidak mau terusik oleh apa pun dan siapa pun. Tetap menari dan menari pada malam hari, dan ngelayap di siang hari.
***
Suatu siang yang terik, serombongan orang berkendara bus dari Utara memasuki kampung dukuh Waru. Sebuah pemandangan yang bisa dibilang teramat ganjil bagi kampung pinggir hutan yang cukup terpencil. Mereka mengaku mencari Abah Sayyid.
“Abah Sayyid?” Kiai Ali terkejut. Kiai Ali adalah satu-satunya tokoh agama di kampung Dukuh Waru. Oleh beberapa warga, rombongan itu diantarkan ke rumahnya. Warga yakin Kiai Ali mengenal tentang Abah Sayyid. Sebelumnya rombongan itu memang sudah bertanya ke beberapa warga, tetapi tidak ada yang tahu. Rombongan itu diterima Kiai Ali di serambi masjid yang diimaminya. “Siapa beliau?”
“Beliau seorang sayyid, cucu Nabi. Beliau itu guru kami,” jawab salah satu dari rombongan yang mengaku bernama Usman.
“Selama bertahun-tahun beliau rutin datang ke kampung kami, mengajar dan membimbing kami. Bukan sebagai tokoh agama melainkan sebagai pemulung….”
“Pemulung?” sela Kiai Ali, kaget.
“Iya, beliau itu laksana pemulung. Tutur kata dan lelaku beliau seperti pengait yang memunguti satu demi satu kesalahan-kasalahan kami, keburukan-keburukan perilaku dan hati kami, sampah-sampah yang membukit di benak kami. Kami yang dulunya tidak kenal Tuhan, yang menyembah harta, tahta, dan angkara, yang gemar menipu, mencaci, dan korupsi, perlahan-lahan pun sadar dan insyaf. Dua hari lalu beliau terakhir datang kepada kami dan mengundang kami ke sini, hari ini. Mohon Panjenengan berkenan mengantar kami.”
“Dengan senang hati,” kata Kiai Ali, “tetapi mungkin kalian telah salah alamat. Di kampung ini tidak ada yang bernama Abah Sayyid.”
“Tidak. Kami tidak salah alamat.” Usman lalu mengulangi ucapan Abah Sayyid dua hari lalu mengenai nama dan ciri-ciri kampung yang harus mereka datangi. “Menurut beliau, kami harus pergi ke kampung Dukuh Waru, kampung yang terdapat dua pohon waru kembar di pintu masuk dan dua di perbatasan. Bukankah ini kampungnya?”
“Iya, betul, tetapi….”
Usman lalu menyorongkan ponsel pada Kiai Ali. “Ini foto-foto Beliau.”
Kiai Ali sangat terkejut melihatnya. “Benar ini orangnya!!?”
Usman mengangguk mantap. “Beliau memang begitu. Kalau datang tidak pernah berjubah, cukup memakai kaus dan celana kumal. Tidak pernah berkopiah dan berserban hanya memakai topi belel. Beliau bilang, untuk apa megah di luar bila di dalamnya kopong melompong.”
“Apa Bapak mengenal Beliau?”
Tentu mengenalnya. Kiai Ali dan bahkan semua warga tentu sangat mengenal sosok dalam foto tersebut, sosok yang selalu mereka remehkan dan hanya dijadikan bahan olokan.
Cukup lama Kiai Ali terdiam dengan mata tak lepas dari sosok dalam ponsel itu. Kiai Ali tak pernah menyangka kalau ia adalah seorang sayyid, keturunan Kanjeng Nabi. Benar-benar lihai memendam dalam-dalam kealiman dan derajatnya sehingga yang tampak adalah sosok miskin otak. Rasa khilaf mendesak-desak dada hingga butir-butir penyesalan bergulir menuruni pipi cekung Kiai Ali. Sesaat hening. Lalu dengan terbata-bata Kiai Ali menjelaskan semuanya
“Sayangnya, beliau telah wafat sekitar setahun lalu.”
Ya, Suyud alias Abah Sayyid sekarang sudah tiada. Sudah wafat sekitar setahun lalu. Tubuh ringkihnya ditemukan telungkup dalam posisi sujud di gubuknya. Semenjak itu nama dan kisahnya tertimbun lunas bersama jasadnya.
Namun bagaimana orang-orang dari Utara bilang bahwa dua hari lalu mereka masih bertemu? Giliran mereka yang terkaget-kaget. Mereka tidak menyangka kalau orang yang datang pada mereka dua hari lalu telah lama wafat. Akhirnya mereka pun hanya diantar sowan ke makam Suyud yang ternyata sudah dirimbuni belukar.
Sejak itu Suyud alias Kopong alias Abah Sayyid seperti hidup kembali. Ikhwal tentang dirinya tak pernah surut diperbincangkan. Makamnya dipugar dan tak pernah sepi dikunjungi. Warga kampung Waru banyak mendapat berkah karenanya, termasuk Sudra dan Tamat yang sekarang memilih menjadi penjaga makam sekaligus tukang parkir. ***
*MOH. ROMADLON, beberapa tulisanya berupa cerpen, cernak, dan resensi sudah dimuat di berbagai media seperti Radar Banyumas, Koran Merapi, Harian Republika, Tabloid Cempaka, Radar Surabaya, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Rima news, Koran Jakarta, Annida online, Okezone, Kompas.com, Radarseni, Wawasan, Malang Post, Koran Jakarta, dll.