Cerpen S. Prasetyo Utomo
TANGAN Kiai Najib direntangkan serupa sayap malaikat. Berdiri di mimbar masjid, lepas subuh, Kiai Najib memberi tausiah di hadapan jemaah yang setia menyimaknya. Di mata Aryo, Kiai Najib serupa malaikat turun ke muka bumi. Aryo, yang kini selalu salat ke masjid tiap kali mendengar alunan azan, seringkali takjub menatapi Kiai Najib. Kali ini ia melihat kiai itu serupa malaikat yang berdiri anggun di mimbar, wajah bercahaya, tercurah dari lampu di atap mihrab.
Kiai Najib mengibas-ngibaskan tangannya, saat melakukan tausiah Ahad pagi sebagaimana biasa dilakukan lepas salat subuh. Gerakan tangan yang terentang itu membersitkan cahaya. Tidak cuma sekali ini Aryo melihat Kiai Najib merentangkan tangan, membiaskan cahaya tipis menyelubunginya. Lama-kelamaan cahaya itu berpendar namun tak menyilaukan.
Aryo takjub mengikuti ceramah Kiai Najib. Tak pernah bosan mendengar kisah-kisahnya. Di sisi Aryo, duduk penjaga masjid yang menampakkan kekaguman pada kiai setengah baya itu. Penjaga masjid kadang tersenyum, mengerutkan kening, mengangguk-angguk—gerakan yang tak pernah dilakukan jemaah yang lain.
- Iklan -
Subuh masih berkabut ketika Kiai Najib turun dari mimbar, meninggalkan mihrab. Kiai Najib menghampiri Aryo.
“Kau punya waktu pagi ini?”
Aryo tercengang. Belum pernah Kiai Najib mengajukan pertanyaan serupa ini. “Saya menunggu perintah Kiai.”
“Temani aku menjala ikan.”
Mata Aryo membelalak. Penjaga masjid yang duduk di sisi Aryo juga tak menduga, bila Kiai Najib suka menjala ikan. Ia berharap Kiai Najib mengajaknya menyusuri sungai, menebar jala, dengan kembu menggelantung di pinggang. Ia membayangkan kembu itu penuh ikan-ikan wader yang tersangkut jala. Tapi Kiai Najib tak mengajaknya menjala ikan, bahkan memintanya, “Kau bersihkan rerumputan di pelataran masjid. Kotor sekali!”
Penjaga masjid yang tak punya beras untuk dimasak istrinya hari ini, tak berani membantah permintaan Kiai Najib. Ia membersihkan rerumputan liar di sekitar pelataran masjid.
***
MELANGKAHKAN kaki pelan-pelan meninggalkan mobil yang diparkir di ujung desa, Aryo mengiringi langkah Kiai Najib melintasi desa lereng pegunungan, mencapai tepi hutan jati. Menyusuri tanah berumput liar, ladang yang kosong, Kiai Najib menuruni tebing. Memanggul jala di pundak kanannya, menyusup rerumputan liar berduri yang menutupi jalan setapak ke sungai. Aryo melangkah di belakang Kiai Najib, membawa kembu, dan tak lagi melihat sosok Kiai Najib yang biasa dihadapinya di mimbar dengan wajah tersepuh cahaya, serupa malaikat. Ia tampak sebagaimana seorang penebar jala.
“Biar saya yang membawa jala itu, Kiai,” pinta Aryo. Kiai Najib teringat akan kebiasaan ayahnya tiap pagi: menjala di sungai, dan tak pernah habis ikan-ikan terperangkap jaring.
“Tidak pantas ini kaulakukan. Biar aku yang membawa jala ini, dan menebarkannya ke atas permukaan air kali.”
“Apa kata orang nanti kalau mereka melihat, Kiai membawa jala, saya berjalan santai menjinjing kembu kosong.”
“Jangan pikirkan perkataan orang. Dalam mimpi, aku memang mesti menebar jala, mencari ikan ke sungai bersamamu serupa ini.”
“Kiai jangan bercanda.”
“Apa pernah kaulihat aku bercanda?”
Tak menduga Kiai Najib bermimpi menjala ikan ke sungai bersamanya, Aryo tersenyum-senyum.
“Ayahku dulu serorang penjala ikan. Aku sering diajaknya mencari ikan di sungai. Selalu saja, setiap kali menjala ikan, Ayah mengajarkanku perbuatan-perbuatan kebajikan yang kuketahui hikmahnya dalam waktu yang lama,” kata Kiai Najib.
“Apa yang Kiai ingin ajarkan padaku?”
“Lihat saja, apa yang akan kita alami setelah ini. Aku tak bisa menjelaskan dengan kata-kata,” Kiai Najib sambil memandangi wajah Aryo, lelaki muda dengan sepasang mata mendamba.
Kiai Najib menuruni batu sungai, mencelupkan kaki kanannya ke air yang menderas kecokelatan, sisa hujan semalam, berkecipak dalam air, berhenti di depan lubuk tenang yang airnya menggenang dalam. Bibirnya lirih membaca doa. Menebarkan jala, mengembang seluas lubuk. Menariknya pelan-pelan. Jala menguncup. Kiai Najib mengangkatnya. Berdiri di atas batu di tepi sungai. Ikan-ikan menggelepar dalam jala. Gugup, Aryo memunguti ikan-ikan yang tersangkut jala. Begitu banyak ikan dipungutinya. Sepertiga kembu terisi. Ikan-ikan menggelepar dalam bakul anyaman bambu itu.
Lagi, Kiai Najib—yang terlihat sebagai lelaki kebanyakan—melangkah ke lubuk sungai, melawan arus air. Tenang, gerakannya sangat lembut menebar jala. Dibiarkan jala mengendap dalam air. Ditarik pelan-pelan. Ikan-ikan menggelepar dalam jalanya. Aryo gemetar memunguti ikan-ikan itu, memasukkannya dalam kembu. Kini kembu itu terisi dua pertiga.
Langkah Kiai Najib pelan-pelan, di antara bebatuan berlumut dan air kecokelatan. Aryo mengikuti langkah Kiai Najib. Tak berani berkata-kata. Kiai Najib baru menebar jala dua kali, kembu terisi dua pertiga. Ikan-ikan menggelepar di dalamnya. Berhenti di lubuk yang ketiga, dengan genangan air yang lebih tenang, Kiai Najib menebar jala. Lubuk itu tertutup tebaran jala, dan dengan hati-hati kiai itu menariknya. Kali ini tak seekor ikan pun tersangkut pada jerat jala itu. Hanya kepiting sungai yang bergayutan.
Tangan Aryo mencari-cari barangkali menemukan seekor ikan tersangkut pada anyaman jala. Yang ditemukannya daun-daun kering dan ranting kayu melapuk.
“Kita pulang sekarang,” kata Kiai Najib.
“Sebentar lagi kembu ini penuh, Kiai. Kenapa mesti pulang?”
“Jangan serakah.”
Menunduk, Aryo mengikuti langkah Kiai Najib, menaiki jalan berumput, mencari arah kembali ke tanah berumput di tepi hutan jati. Mendaki tebing sungai dengan celana basah. Aryo semakin sungkan bertanya pada Kiai Najib. Ia terus membungkam. Di dalam mobil yang dikendarai Aryo dengan pakaian basah, ia tetap membungkam. Wajah Kiai Najib masih memancarkan cahaya.
Tiba di rumah Kiai Najib, seluruh ikan dalam kembu itu diserahkan pada penjaga masjid. Sekarung beras dipanggul Kiai Najib ke rumah lelaki setengah baya itu. Orang-orang memandangi Kiai Najib yang memanggul sekarung beras dari rumahnya, mengikuti langkah Aryo yang menjinjing kembu berisi ikan tangkapan dari sungai. Dalam kembu ikan-ikan terus menggelepar dan menetes-neteskan air. Aryo membayangkan nasi hangat mengepul, gurih goreng ikan wader dan sambal terasi. Lelaki penjaga masjid itu bersama istri yang tengah hamil dan dua anaknya akan makan bersama-sama. “Beberapa hari ini keluarganya tak makan,” lirih kata Kiai Najib, dekat telinga Aryo. “Lagi pula, istri penjaga masjid akan melahirkan anak lelaki.”
Bagaimana mungkin Kiai Najib tahu, istri penjaga surau itu akan melahirkan anak lelaki? pikir Aryo. Kandungan perempuan itu belum mencapai empat bulan. Kiai Najib juga memahami keluarga penjaga masjid kelaparan. Lelaki penjaga masjid itu sangat kegirangan menerima sekarung beras dan ikan-ikan segar yang masih menggelepar.
***
LEPAS salat subuh, tinggal Kiai Najib dan Aryo yang berzikir di masjid. Biasanya Kiai Najib terlebih dulu menyelesaikan zikirnya, dan pada saat langit rekah cahaya, Aryo meninggalkan masjid. Ia mematikan lampu dan menutup pintu pagar masjid, ketika orang-orang meninggalkan rumah berangkat bekerja. Ia melangkah lambat-lambat pulang.
Kali ini Kiai Najib sengaja menanti Aryo menyelesaikan zikirnya. Kiai Najib masih duduk bersila di mihrab masjid, dan Aryo berhadap-hadapan dengannya. Menunduk. Aryo sedikit tengadah, dan tak berani memandangi wajah Kiai Najib.
“Coba kau tengok rumah penjaga masjid. Apa istrinya sudah melahirkan?” pinta Kiai Najib. Aryo segera beranjak meninggalkan masjid, menyelinap ke rumah penjaga masjid. Ia terbelalak. Ia tak menduga sama sekali, memandangi jenazah istri penjaga masjid terbujur di meja, dan di amben, bayi lelaki yang baru dilahirkan dengan tangis yang kencang. Penjaga masjid terduduk lesu di sisi jenazah istrinya.
Aryo kembali ke masjid, dan mengabarkan kematian istri penjaga masjid saat melahirkan. Kiai Najib tersentak, dan bergegas mengunjungi rumah penjaga masjid. Bayi lelaki yang tergolek di amben itu menangis melengking.
“Uruslah pemakaman istrimu. Aku yang menanggung semua biaya,” pelan, kata Kiai Najib pada penjaga masjid.
“Terimakasih,” balas penjaga masjid. “Tapi, Kiai, bagaimana nasib bayi laki-laki yang tak berhenti menangis ini?”
“Kalau kamu tak keberatan, biar kuangkat dia jadi putraku,” kata Kiai Najib “Aku tak punya anak laki-laki. Kelak kalau besar, akan kuajak dia menjala ikan.”
Aryo terbelalak takjub memandangi Kiai Najib menimang-nimang bayi lelaki anak penjaga masjid. Bayi laki-laki itu terdiam dalam buaian Kiai Najib. Masih memejamkan mata. Bibir mungilnya tersenyum. Menikmati ayunan lembut tangan kiai. ***Pandana Merdeka, Juni 2021
Pandana Merdeka, Juni 2021
*S. PRASETYO UTOMO, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes. Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa. Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Kumpulan cerpen yang terbaru adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).