Oleh Ferry Fitrianto
Siapa yang tidak mengenal sosok kiai karismatik satu ini, namanya sudah tenar seantero negeri lebih-lebih di dunia pesantren sudah tidak asing dengan namanya. Beliau merupakan seorang wali atau kekasih Allah yang memiliki banyak karamah.
Sosok wali yang satu ini tidak hanya dikenal sebagai ulama namun juga seorang pejuang kemerdekaan. Namanya sangat dikenal di kalangan Laskar Hisbullah dan Fisabilillah; sebab beliau pendekar sakti yang tergabung dalam dua laskar tersebut.
Beliau pernah terlibat dalam perang 10 November 1945 di Surabaya. Beliau menantang pasukan Sekutu yang ingin kembali menguasai bumi Nusantara, khususnya Jawa.
- Iklan -
K.H. Abbas Buntet, begitulah orang-orang memanggil namanya. Beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Beliau dilahirkan pada Jumat, 25 Oktober 1879 di Desa Pekalangan, Cirebon. Beliau merupakan putra dari K.H. Abdul Jalil. Kiai Abdul Jalil sendiri putra dari K.H.Mutaad, yaitu menantu dari K.H. Muqayyim, seorang pendiri pertama Pesantren Buntet, Cirebon.
Kiai Muqayyim ini dulunya seorang mufti pada masa Kesultanan Cirebon yang waktu itu diperintah Sultan Khairuddin I. K.H. Abbas merupakan putra sulung sehingga ketika K.H.Abdul Jalil wafat maka beliau diberikan amanah untuk memimpin Pesantren Buntet.
Dari sini kita bisa tahu bahwa K.H. Abbas Buntet merupakan seorang yang tumbuh dan besar dari keluarga ulama, sehingga tidak heran jika di kemudian hari beliau menjadi alama besar bahkan berstatus wali.
Kiai Abbas sebagai seorang anak kiai beliau memperoleh pendidiknya yang pertama dari ayahnya sendiri. Dari ayahnya inilah Kiai Abbas belajar ilmu-ilmu dasar agama dengan baik.
Ketika usianya menginjak remaja beliau mulai melakukan pengembaraan dari satu pesantren ke pesantren lainnya guna menimba ilmu kepada para ulama sepuh pada waktu itu. Pada awalnya beliau nyantri di Pesantren Sukasari, Pleret yang diasuh oleh K.H. Nasuha. Setelah merasa cukup menimba ilmu di Pesantren ini beliau izin kepada K.H. Nasuha untuk mondok ke Pesantren Salaf yang ada di daerah Jatisari di bawah asuhan K.H. Hasan.
Maka K.H. Nasuha pun mengizinkan Kiai Abbas untuk menimba ilmu di Pesantren tersebut. Setelah beliau menyelesaikan pendidikanya di Jawa Barat, kemudian beliau melanjutkan pendidikanya di Jawa Tengah, tepatnya di daerah Tegal Pekalongan. Beliau nyantri di Pesantrennya K.H. Ubaidillah.
Setelah nyantri di Pesantren K.H. Ubaidillah, Kiai Abbas tertarik kepada kealiman K.H. Hasyim Asy’ari terutama dalam bidang ilmu hadis. Sehingga beliau memutuskan diri untuk nyantri di Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
K.H. Hasyim Asy’ari waktu itu usianya lebih tua delapan tahun dari Kiai Abbas. Jadi seperti kakak beradik, namun status di sini hubungannya antara guru dan murid. Di pesantren ini Kiai Abbas mengaji bersama dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syansuri dan K.H. Abdul Manaf atau Mbah Abdul Karim Lirboyo. Semua santri K.H. Hasyim Asy’ari di kemudian hari menjadi tokoh ulama besar dan pejuang kemerdekaan.
Setelah nyantri di Tebu Ireng, Kiai Abbas melanjutkan pendidikannya ke Tanah Suci Mekah dan di sana beliau juga berhaji. Saat di Mekah beliau sempat belajar kepada Syekh Mahfudz at-Tarmisi seorag ulama ahli hadis asal Termas, Pacitan, Jawa Timur yang saat itu usianya sudah senja.
Syekh Mahfudz ini adalah guru dari K.H. Hasyim Asy’ari dan beberapa ulama asal bumi Nusantara. Bersamaan dengan itu Kiai Abbas belajar juga pada Kiai Bakir, seorang ulama ahli hadis dari Yogyakarta dan Kiai Abdillah dari Surabaya. Beliau bermukim di Tanah Suci Mekah al-Mukarramah dan memperdalam ilmu-ilmu keislaman sekaligus mengajarkannya kepada para penuntut ilmu yang baru datang ke negeri Mekah. Di antara muridnya di Mekah yaitu Kiai Khalil Balerante dari Palimanan dan Kiai Sulaiman Babakan Ciwaringin dan mereka kebetulan juga berasal dari Cirebon.
Sebagai seorang yang dekat dengan Allah, tampaknya beliau diberikan banyak karamah, sehingga beliau diyakini sebagai waliyullah dan disegani kalangan pesantren di tanah Jawa.
Di antara karamahnya yaitu beliau memiliki kesaktian ilmu bela diri. Selain itu pada saat peristiwa serangan umum 10 November 1945 K.H. Abbas berangkat dari Buntet menuju Surabaya tanpa menggunakan transportasi apa pun sebagaimana orang pada umumnya. Akan tetapi beliau menggunakan karamahnya dengan cara menghentakkan kaki dan memejamkan mata; dengan izin Allah beliau dapat sampai Surabaya dalam sekejap mata.
Dikisakan juga waktu Kiai Abbas berperang melawan pasukan sekutu beliau hanya berbekal batu kerikil. Saat beliau melemparkan batu kerikil yang sudah beliau ijazahi itu tiba-tiba terdengar suara seperti ledakan bom dan mampu menghancurkan musuh. Sehingga para musuhnya selalu merasa kewalahan menghadapinya.
Hingga kini kesaktian Kiai Abbas menjadi perbincangan yang hangat di kalangan santri Jawa dan menjadi tradisi cerita turun-temurun, terutama pada saat berbicara soal perang 10 November 1945 Surabaya. ***
*FERRY FITRIANTO, Mahasiswa Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakata.