Cerpen Zainul Muttaqin
Misbah menghentikan langkahnya di depan rumah yang sedang dipenuhi lampion pada setiap sudutnya. Lampion-lampion yang terbuat dari kertas dengan lilin di dalamnya menarik matanya untuk mengamatinya lebih dekat. Ia menyimpan kekaguman dalam dadanya. Berkali-kali ia mengangguk-anggukan kepala.
Setelah sekian lama berada di tempat itu, Misbah kaget dengan suara yang memanggil namanya. Keras sekali suara itu memanggilnya agar segera bergegas ke masjid. Misbah tidak menyahut, hanya mengangguk. Ia belum juga berangkat untuk melaksanakan jamaah salat Magrib sampai akhirnya orang yang memanggilnya itu menyeret Misbah.
“Cepat ke masjid, ngapain kau lihat lampu-lampu itu!” Haji Karim, ayah Misbah menarik lengan anak lelakinya yang berusia dua puluh empat tahun itu seperti anak kecil.
- Iklan -
Dengan langkah goyah, Misbah berjalan di belakang ayahnya. Orang-orang duduk bersila di masjid menunggu Haji Karim, salah satu imam masjid di kampung Tang-Batang. Letak rumah Haji Karim sekitar lima ratus meter dari masjid, rumahnya dipisah oleh jalan raya. Masjid berada di sebelah selatan jalan, sedangkan rumah Haji Karim berdiri di bagian utara jalan raya yang menghubungkan ke kota.
Menaiki tangga masjid, Haji Karim menoleh ke belakang melihat tingkah pola Misbah yang masih terpukau dengan keindahan rumah Gambing. Rumah itu dihuni oleh keluarga Cina yang entah sejak kapan sudah ada di sebelah timur rumah Haji Karim. Dan itu adalah pertama kalinya Misbah melihat lampion-lampion menaburkan cahaya warna merah menghiasi rumah Gambing.
Selepas salat Magrib, berkumpul para jamaah masjid di teras depan. Berbagai obrolan mengalir bagai air dari hulu ke hilir. Sebagian lagi ada yang berzikir di dalam. Semuanya menunggu Isya untuk salat jamaah kembali. Misbah menikmati obrolan mereka, tanpa berani menimpali apa pun. Haji Karim hanya menggeser posisinya ke belakang dari tempatnya semula, ia melanjutkan salat sunah dan berzikir.
“Kalau saja di beberapa sudut masjid ini lampunya diganti lampion seperti di rumah Gambing, pastilah menarik dan terlihat indah.” Misbah tiba-tiba bersuara. Orang-orang melihat ke arah Misbah dengan tatapan melotot hingga membuat kening mereka berkerut terombang-ambing.
“Maksudmu?”
“Ya, lampion seperti di rumah Gambing.”
“Ngawur!”
“Apanya yang ngawur?” Misbah tidak terima.
“Gambing itu memasang lampion di rumahnya karena sedang merayakan imlek. Apa kau mau ikut merayakan imlek? Ini masjid bukan kelenteng.”
“Bukankah Allah menyukai sesuatu yang indah.” Misbah berpendapat. Ia menekan suaranya.
“Tapi itu bertentangan dengan agama.”
“Apanya yang bertentangan?” Misbah mengejar jawaban dari mereka. Tapi tak ada satu pun yang menanggapi pertanyaan Misbah.
Mereka justru mengomel tidak jelas, menyebut nama Misbah sebagai laki-laki yang tak tahu agama. Padahal, kata mereka dengan nada bicara dipelankan, ayah Misbah adalah seorang haji dan seorang imam masjid. Tapi Misbah seperti anak yang tak pernah diajari agama. Mereka sinis memandang Misbah.
Keberadaan keluarga Gambing di lingkungan yang mayoritas menganut agama Islam memang tidak pernah diusik. Mereka biasa bertegur sapa dengan Gambing. Lelaki berkulit putih itu juga tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada suara azan, suara anak-anak mengaji melalui pengeras suara masjid. Tidak pernah protes Gambing.
Semua orang mengenal Gambing sebagai lelaki baik. Begitu pun sebaliknya, Gambing selalu mengatakan kepada anak-anaknya agar berbuat baik kepada semua tetangga yang kulitnya berbeda dengan keluarganya.
Rumah Gambing berdekatan dengan rumah Haji Karim. Rumah keduanya hanya dipisah oleh pagar tembok yang cukup tinggi. Tembok itu mengelilingi rumah Gambing. Itu semata-mata, kata Gambing kepada orang-orang yang kerap bertanya, kenapa rumahnya dipagari tembok. Jawaban Gambing mengejutkan si penanya, itu karena Gambing memelihara anjing. Dan anjing itu dibiarkan berkeliaran di dalam rumahnya.
Dengan adanya tembok yang mengepung rumahnya, maka secara otomatis anjing itu tidak akan berkeliaran ke tetangga. Selain itu, Gambing khawatir anjing piaraannya itu juga tiba-tiba masuk ke dalam masjid. Gambing memang sempat bertanya-tanya kepada Haji Karim soal mengapa tetangganya banyak yang tak menyukai anjing.
Lingling, anak dari Gambing tiba-tiba muncul dari utara membawa beberapa bungkus nasi. Gadis itu usianya sepantaran dengan Misbah. Keduanya pun memang sudah saling kenal. Bahkan kabar yang beredar di antara keduanya itu terjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Diam-diam keduanya sering bertemu. Melihat kedatangan Lingling dengan rambut terurai sebahu membuat degup jantung Misbah seirama dengan detak jarum jam dinding di atas kepalanya.
“Ada apa Ling?” Misbah bertanya. Gemetar suaranya.
“Ini ada makanan.” Lingling menyerahkan beberapa bungkus nasi itu. Gadis berparas bulan purnama itu tersenyum dan langsung pergi. Orang-orang di masjid mengucap terima kasih kepada Ling-ling, juga menyampaikan pesan kepada Gambing yang dikenal dermawan.
Bukti kedermawanan Gambing yang lain, yang tak akan pernah hilang dalam ingatan jamaah masjid adalah ketika lelaki bermata sipit itu membantu pembangunan masjid hingga selesai. Gambing menjadi satu-satunya orang yang menyumbangkan hartanya paling banyak.
Memang setiap malam imlek, Gambing pasti membagi-bagikan makanan kepada tetangga. Setelah menyelesaikan salat Isya berjamaah, orang-orang itu melahap makanan pemberian dari Gambing. Melihat cara mereka makan seperti baru menikmati makanan lezat selama hidupnya.
“Apa tidak bertentangan dengan agama, makan pemberian dari orang Cina?” Pertanyaan Misbah lebih menyerupai sindiran kepada jamaah masjid. Haji Karim melihat Misbah dengan mata tajam. Sebagian membawa kotak nasi dari Lingling itu ke rumahnya, sebagian lagi dimakan bersama di teras masjid.
Pada saat lebaran, Haji Karim juga pasti mengantar makanan ke rumah Gambing. Bahkan pernah Gambing diajak makan bersama di masjid usai salat id. Keakraban keluarga Gambing dengan keluarga Haji Karim sudah terjalin sejak lama. Gambing sering berkunjung ke rumah Haji Karim dengan membawa serta Lingling.
Misbah mengenal Lingling sejak kecil. Cinta tumbuh di antara keduanya waktu itu. Orang tua mereka menganggap pertemanan Misbah dan Lingling mulai tersirami gelora asmara. Walaupun begitu, mereka menganggap cinta keduanya hanyalah cinta monyet. Keduanya tidak bertemu cukup lama, dipisahkan oleh cita-cita keduanya yang sama-sama melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di kota yang berbeda.
Misbah dan Lingling kini sudah kembali, cinta mereka pun kembali ke hati masing-masing. Pertemuan-pertemuan rahasia dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Sebagai seorang gadis, Lingling diliputi rasa cemas. Kepada Misbah, selalu Lingling bertanya, sebuah pertanyaan yang diulang-ulang.
“Apakah perbedaan yang begitu banyak di antara kita bisa disatukan?”
“Bisa. Tidak ada yang tidak mungkin.” Misbah berusaha menghilangkan kekhawatiran dalam benak Lingling.
“Kenapa kau begitu yakin?”
“Cinta akan mengalahkan semuanya. Cinta yang akan menyatukan perbedaan-perbedaan itu.” Lingling meneteskan air mata haru. Ia ingin memeluk Misbah, hanya saja mengurungkannya karena ia tahu belum saatnya itu dilakukan.
***
Gerimis tipis serupa helai rambut jatuh dari langit malam bulan Ramadan. Gambing duduk di samping Lingling. Haji Karim menarik napas pelan-pelan. Perbincangan mereka bermuara pada persoalan apa dan bagaimana kelanjutan hubungan Misbah dan Lingling. Dingin membelai tubuh mereka melalui desir lirih yang dibawa angin.
Misbah duduk di kursi yang berlawanan dengan Lingling. Sesekali keduanya saling curi pandang. Diam-diam pula keduanya saling berdoa agar cerita asmara mereka berakhir bahagia. Gambing memegang tangan Lingling yang berembun. Misbah menundukkan wajah sejak tadi.
Pagi tadi Lingling menangis dalam pelukan ayahnya. Ia menguras air matanya hingga kering. Lingling mengatakan, laki-laki yang sangat menghormatinya sebagai perempuan hanyalah Misbah. Tidak pernah sedikit pun Misbah menyentuh, apalagi sampai mencium Lingling. Karena itulah Gambing menuruti keinginan Lingling, siap menerima Misbah sebagai menantunya. Kini hanya menunggu persetujuan dari Haji Karim. Lelaki yang mengenakan serban itu baru membuka mulutnya setelah obrolan hampir satu jam setengah.
“Saya siap menerima Lingling sebagai menantu. Keduanya segera dinikahkan saja.” Ucapan Haji Karim membuat binar-binar kebahagiaan di mata pasangan kekasih itu. Misbah tersenyum ke arah Lingling. Bunga-bunga tumbuh bermekaran di wajah gadis itu.
“Saya siap juga mengikuti agama calon suami saya.” Haji Karim kaget. Gambing tersenyum.
Pernikahan keduanya akan digelar tepat pada malam lebaran. Kesepakatan dua pihak keluarga sudah disetujui. Orang-orang yang mendengar kabar rencana pernikahan Misbah dan Lingling tercengang. Ini adalah yang pertama dalam sejarah kampung Tang-Batang, seorang anak laki-laki asli Madura akan menikah dengan seorang gadis keturunan Cina.
Misbah memohon kepada ayahnya, Haji Karim, agar para jamaah masjid membuat lampion bermacam-macam bentuk. Itu semata-mata agar pernikahannya terlihat meriah sekaligus untuk menyambut malam lebaran. Haji Karim berpikir. Ia khawatir akan diprotes oleh para jamaah masjid karena ikut-ikutkan budaya yang dilakukan Gambing.
Akhirnya Haji Karim meminta para jamaah masjid untuk membuat lampion. Tak ada yang protes dengan perintah Haji Karim. Mereka mengerjakannya dengan senang hati. Lampion-lampion itu dibuat dengan bermacam-macam model, ada yang berbentuk kubah masjid, ada yang mirip bulan dan bintang. Semua lampion itu berjejer sepanjang jalan menuju masjid.
Malam akad pernikahan yang akan dilangsungkan di dalam masjid akan dimulai sebentar lagi. Misbah memakai jas setelan warna hitam, lehernya berkalung melati, sarungnya berwarna hijau muda. Ia berjalan hati-hati didampingi Haji Karim. Di belakang, seorang gadis mengangkat kakinya berjalan gemulai. Gambing mengenakan sarung, kopiah hitam bertengger di atas kepalanya.
Setelah akad nikah selesai dilaksanakan, Lingling mencium tangan Misbah. Orang-orang bertakbir masuk malam lebaran. Lampu-lampu lampion menyala mengerjap-ngerjap mengikuti alunan suara takbir lebaran. Dan sebuah lampion raksasa diterbangkan ke udara di halaman masjid. Haji Karim dan Gambing saling lempar senyum. ***
Pulau Garam, Februari 2019-2020
*ZAINUL MUTTAQIN, lahir di Sumenep, 18 November 1991 dan kini tinggal di Pamekasan Madura. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep Madura. Cerpen-cerpennya dimuat pelbagai media nasional dan lokal. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, 2019).