Oleh Gunoto Saparie
Siang itu aku sedang sibuk mengetik berita reportase pementasan Teater Lingkar di Taman Budaya Raden Saleh semalam ketika Pak Cip memanggilku ke ruang kerjanya. Pak Cip adalah Pemimpin Redaksi Swara Mahardika, tempat di mana aku bekerja sebagai wartawan di Semarang. Kutinggalkan pekerjaanku dan segera menemuinya.
“Gun, kau siap ke Turki?” kata Pak Cip ketika aku duduk di hadapannya.
“Turki? Maksudnya?”
- Iklan -
“Kantor menugasimu untuk meliput pengalihfungsian Museum Hagia Sophia menjadi masjid.”
Aku terdiam, tertegun, tidak segera menjawab. Ketika perusahaan pers tempatku bekerja ini membayar gaji wartawan saja sering terlambat, bagaimana penjelasannya akan mengirimku melaksanakan tugas jurnalistik ke Turki? Apakah yang terjadi sebenarnya?
“Ada sponsor yang akan membiayai. Tak perlu kusebutkan,” kata Pak Cip seakan membaca apa kata hatiku.
“Siap, Pak. Terima kasih atas penugasannya,” kataku, takzim.
“Temui Hasto di lantai bawah agar segera menyiapkan segala sesuatunya,” ujar Pak Cip. Hasto adalah sekretaris redaksi yang biasa melayani keperluan redaktur dan reporter.
Beberapa hari kemudian aku sudah berada di dalam pesawat Turkish Airlines dari Jakarta ke Istanbul. Perjalanan 12 jam pasti akan melelahkan, meskipun Boeing 777-300ER sesungguhnya cukup nyaman meski di kelas ekonomi. Sejak lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 21.30, aku mencoba memejamkan mata ingin menghilangkan rasa capai setelah tadi terburu-buru agak berlari ke Terminal 2D, karena terjebak kemacetan dalam perjalanan.
Tiga pramugari yang cantik, semampai, dan ramah penuh senyum memang menyegarkan suasana di dalam kabin. Salah seorang dari mereka mendekatiku, menunjukkan fasilitas selimut dan bantal. Ada lampu untuk membaca terdapat di sisi kanan atas kursi. Di depan kursi terdapat layar hiburan dengan aneka musik hingga film. Namun, suasana kabin yang tenang dan suhu tidak terlalu dingin membuatku jatuh tertidur. Bangun-bangun ketika sarapan dibagikan sekitar dua jam sebelum mendarat di Istanbul.
Malam pun jatuh di Istanbul ketika aku duduk-duduk di lobi Green Park Hotel. Meskipun bukan sebagai ibukota negara, tetapi Istanbul tetap menjadi primadona utama wisata di Turki. Kota tua tersebut seakan nyaris tidak pernah tidur. Suasana hiruk pikuk akibat lalu lalang ribuan orang turis dan remaja setempat sangat terasa di Taksim dan Istiklal Center.
“Hallo, sir. Are you Malaysian?” tiba-tiba perempuan yang duduk di depanku bertanya.
“No, I’m Indonesian,” jawabku.
Aku berharap ia tidak bertanya lagi. Sehabis perjalanan dari Jakarta ke Istanbul, metabolisme tubuhku mungkin terganggu. Aku lelah dan agak penat. Oleh karena itu, aku ogah-ogahan dan rada malas menjawab sapaan perempuan itu. Aku baru saja tiba di Green Park Hotel, tempat penginapanku di kawasan Topcu Caddesi, Taksim. Aku sengaja duduk-duduk di lobi membolak-balik Habertürk, surat kabar Turki bersirkulasi cukup besar, sambil menikmati suasana malam.
“Holiday or bussiness?” perempuan itu bertanya lagi.
“I’am journalist,” jawabku.
“Ooo,” ia mengangguk-angguk sambil mulutnya membulat.
“My name is Sarila,” katanya lagi.
Sebenarnya perempuan itu cantik. Mirip Sharon Stone. Tubuhnya tinggi semampai. Kulitnya putih bersih. Diam-diam aku meliriknya. Rambutnya hitam panjang tergerai. Namanya pun indah: Sarila. Bukankah arti Sarila adalah air terjun?
“Istanbul, is nice city, right?” ujarnya.
Aku hanya mengangguk seraya tersenyum. Sebelum berangkat ke Turki, aku telah diingatkan Udin, teman sekantor, agar hati-hati dengan para perempuan Istanbul.
“Ada apa dengan mereka?”
“Bidadari di surga saja diambilkan dari sana.”
Kami pun tertawa bersama.
“Jangan sampai kau menjadi korbannya. Kau harus hati-hati bertemu orang yang bersikap ramah, mengajakmu untuk sekadar minum teh atau kopi. Apalagi jika orang itu perempuan cantik. Kau pasti akan masuk perangkap,” kata Udin serius.
“Oke, oke…”
Nasihat Udin membuatku waspada terhadap perempuan itu. Apalagi Udin menambahkan jika banyak turis dikerjain oleh mereka. Mereka bisa saja bagian dari jaringan bisnis seks di sana. Konon sejak akhir abad ke-19, Turki memang sudah marak dengan bisnis seks. Fuhus, begitu orang menyebut prostitusi di Turki, berkembang pesat, terutama di Istanbul. Prostitusi itu sendiri dilegalkan pemerintah saat Turki telah menjadi negara republik modern pada 1923. Genelev atau rumah-rumah bordil sampai biro jasa escort women atau wanita pendamping banyak berdiri.
Aku harus menghindari Sarila. Aku pun memutuskan untuk keluar dari lobi menuju jalan di depan hotel. Sambil memasukkan dua tangan ke dalam saku jaket aku mencoba menikmati suasana malam di Topcu Caddesi, Taksim.
Suasana malam di Topcu Caddesi memang menyenangkan. Di Jalan Istiklal banyak bangunan toko dan restoran bergaya Eropa. Bangunan antik beragam corak di masa kejayaan Ottoman, dari gaya Neo-Classical, Neo-Gothic, Beaux-Arts, Art Nouveau, dan Art Deco. Ada trem merah putih melintas di tengah jalan dengan belnya yang khas. Nostalgic Tram memang masih beroperasi, membawa pengunjung dari Taksim Square hingga ke ujung jalan Istiklal yang bersimpangan dengan jalan menuju Menara Galata.
Istiklal merupakan satu dari kawasan yang laris dikunjungi para turis saat berada di Istanbul. Kehidupan malam menjadi magnet yang menawarkan hiburan serba ada. Lokasinya berdekatan dengan Taksim Square, dan Tarlabasi Boulevard. Di sinilah kafe, restoran, toko buku, galeri, bioskop, pub, hingga klab malam dengan live music berada. Tentu saja, menawarkan beragam sajian yang penuh daya pikat bagi penikmat hiburan malam. Tak banyak mobil lalu lalang di jalan ini. Agaknya Istiklal Street ini memang diperuntukkan bagi pejalan kaki dengan panjang jalan sekitar 1,4 kilometer.
Takbir pun menggema di Masjid Hagia Sophia. Aku berada bersama ratusan umat Islam di Turki yang memadati bagian dalam dan area sekitar masjid. Kedatangan mereka bermasker dan membawa sajadah sendiri ke Hagia Sophia. Mereka seakan tak ada habisnya menjelang pelaksanaaan salat Jumat pertama setelah sebelumnya masjid ini berstatus museum selama 86 tahun. Ruas-ruas jalan yang berada di sekitar masjid dibanjiri para jemaah. Mereka berduyun-duyun mendatangi bangunan bersejarah yang dibangun dari tahun 532 sampai 537 Masehi itu.
Bangunan berusia 1.500 tahun ini semula adalah katedral yang dijadikan masjid, lalu berubah sebagai museum dan kemudian menadi masjid lagi. Hal itu membuat Paus Fransiskus “sangat sedih.” Pada 1934, di bawah kepemimpinan Presiden Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Turki modern setelah jatuhnya Ottoman, masjid itu dijadikan museum. Lukisan dan ornamen Kristiani ditutup tirai dengan menggunakan mekanisme khusus selama waktu salat, tetapi tetap akan dipajang. Bangunan ini didirikan pada abad keenam sebagai katedral, namun dijadikan masjid pada 1453 ketika Ottoman, biasa disebut juga dengan Kekhalifahan Utsmaniyah di bawah Mehmed II atau Sultan Muhammad Al Fatih, menaklukkan Konstantinopel yang kemudian berganti nama menjadi Istanbul.
Khotbah disampaikan oleh Ali Erbas, Kepala Direktorat Keagamaan Turki. Dalam khotbahnya, Erbas mengatakan bahwa hari Jumat ini persis seperti 60 tahun lalu, saat 16 muazin menara Masjid Sultan Ahmet, yang terletak tepat di seberang Hagia Sophia, mengelilingi tempat itu dengan azan, setelah jeda 18 tahun. Hari ini adalah hari ketika umat Islam berdiri melaksanakan salat dengan air mata sukacita, sujud dengan penuh rasa tunduk dan syukur. Hari ini juga adalah hari kehormatan dan kerendahan hati.
Salat Jumat ini terbuka untuk muslim dan muslimat. Tradisi yang dianut masyarakat Turki memang demikian, salat Jumat terbuka untuk laki-laki dan perempuan. Karena sedang dalam kondisi pandemi virus corona, tempat salat difokuskan pada ruang terbuka di luar masjid. Ada lima ruang terbuka untuk pelaksanaan salat. Dua ruang untuk perempuan dan tiga ruang untuk laki-laki.
Tempat salat untuk laki-laki terkonsentrasi di Lapangan Ayasofya, Lapangan Sultanahmet, dan Jalan Yerebatan. Sedangkan para jemaah perempuan ditempatkan di Sultanahmet Turbesi dan Lapangan Parkir Mehmet Akif. Namun, ya Allah, aku terkejut dan setengah tidak percaya ketika tiba-tiba melihat Sarila, perempuan yang kemarin kutemui di lobi Green Park Hotel, ternyata berada di antara mereka. Subhanallah! Allahu Akbar! Hatiku pun terasa sejuk meskipun di tengah lapangan yang panas menyengat. (*)
Semarang, Akhir 2020.
*GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, 22 Desember 1955. Pendidikan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Kumpulan puisinya Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esainya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1987). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019). Saat ini menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara Jawa Tengah. Tinggal di Jalan Taman Karonsih 654, Semarang.